Tayangan :

Setapak demi Setapak...

 

Dok. Pribadi: EstriShinta

Menjelang usia setengah abad, orang lain mungkin mulai milih liburan ke puncak, staycation ke Yogya, atau duduk manis di kafe estetik memesan latte art. Aku? Entah kenapa malah nekat daftar naik Gunung Merbabu via Wekas.

Iya, daftar beneran. Bukan cuma wacana. Aku isi data di website resmi pendakian yang sudah disediakan pengelola Taman Nasional Gunung Merbabu, pilih jalur Wekas, bayar simaksi, dan menerima e-mail konfirmasi dengan deg-degan kayak menunggu hasil audit Laporan Keuangan. (tngunungmerbabu.org)

Di kepalaku, muncul satu kalimat, “Aku ingin men-challenge diriku sendiri.”

Bukan cari sensasi. Bukan juga supaya kelihatan keren di feed. Aku memang suka foto dan membagikannya di medsos, tapi bukan itu poin utamanya. Ada makna lebih dalam yang ingin kucari dari pendakian kali ini.

Tapi tentu saja, dunia dalam hal ini diwakili oleh anak, saudara, dan teman, punya pandangan berbeda.

Sepanjang menyampaikan rencana pendakian, anakku yang biasanya “iya aja deh, terserah Ibu” tiba-tiba berubah jadi buzzer penuh kekhawatiran.

“Lagian, cari temen tuh yang jelas-jelas aja buuuk… nggak tiba-tiba random ngajak naik gunung gini!

Nanti kalau kenapa-napa gimana?

Mending liburan ke puncak kek, ke pantai kek, ke tempat wisata mana gitu…

Ngapain sih naik gunung segala?”

 

Panjang.

Lirih-lirih nyinyir, penuh sayang.

Dan baru kali itu aku sempat merasa bertukar tempat dengan anak, kok jadi dia yang bawel:

“Oh, ternyata ada juga ya, yang peduli sama aku, yang khawatir sama aku.”

 

Di usia yang sering ditempeli label ‘tahan banting’, ‘kuat’, ‘paling bisa ngertiin orang’, kadang kita lupa: terbukti ekspektasi ke Perempuan, apalagi ibu, itu tinggi banget.

Ibu harus selalu baik-baik saja. Nggak boleh ‘macem-macem’. Begitu Ibu mau melakukan sesuatu yang di luar template, barulah kekhawatiran orang-orang terdekat nongol satu per satu. 

Lucu. Sekaligus mengharukan.

Semua kekhawatirannya satu per satu kubantah pelan:

“Tenang… nanti kalau Ibu merasa nggak kuat, Ibu bakal turun lagi, kok.

Kalau mulai migrain, Ibu bisa nunggu di basecamp.

Ibu nggak maksa harus sampai puncak, tapi Ibu mau mencoba.”

Karena memang faktanya, aku bukan tipe orang yang lahir dengan paket ‘outdoor banget’.

Aku punya riwayat migrain, dikit-dikit minum panadol. Capek sedikit, badan langsung panas karena punya riwayat tipes. Tekanan darah cenderung rendah, gampang sempoyongan.
Singkatnya aku bukan sosok ‘perempuan super bugar yang tiap pagi lari 10K’. Dari dulu, dari jaman muda aku sudah punya riwayat sakit-sakitan begini, sedikit-sedikit tumbang, sedikit-sedikit kliyengan, kebayang kan… apalagi sekarang menjelang setengah abad.

Justru karena itulah, ajakan seorang teman yang usianya jauuuh di bawahku terdengar kayak godaan manis. “Mau ikut naik gunung nggak, Mbak?” enteng banget dia ngajak. 

Dan enteng juga, langsung kujawab, “Eh iya, boleh juga tuh!” 

Dok. pribadi: EstriShinta

Sependek itu jalur transaksi ajakan naik gunungnya kuiyakan. Tanpa pikir panjang, tanpa nyadar diri, “Hellooo, umur berapa lu sok-sokan ngiyain naek gunung?”

Singkatnya, setelah resmi daftar, barulah aku nyalain mode Judging-ku.
(Yes, hasil tes kepribadianku: 93% Judging. Artinya: hidupku isinya plan A, B, C, D, sampai Z.)

Aku mulai cari info soal jalur Wekas.

Nggak mau konyol. Nyadar umur. Nyadar kemampuan.

Mulai rutin jalan kaki. Olahraga kecil tiap pagi, peregangan, naik-turun tangga 10 menitan.
Bukan workout hardcore ala influencer gym, ini tuh cuma ‘nego’ sama tubuh, “Please ya, bantu aku dikit.”

Selebihnya, ya kupasrahkan ke Allah.

Niatku jelas, bukan mau maksa, bukan mau gagah-gagahan apalagi nyari sensasi. Kalau dirasa nggak mampu, ya balik badan, ga usah dibikin ribet!

Printilan perlengkapan mulai kusiapkan. Tenda sudah ada yang akomodir, jadi aku fokus ke barang pribadi: jaket, kaos kaki, obat-obatan, headlamp, jas hujan, botol minum, trekking pole (yang ini pinjam teman), topi dan printilan lainnya. Semua kucatat, kucentang, masuk tas. Satu persatu. Rapih. Terstruktur. Wajib. Seperti biasa aku juga punya plan A plan B plan C, dst.


Dokumen pribadi: Estri Shinta

Dari hasil riset, jalur Wekas ini dikenal sebagai salah satu jalur tercepat menuju puncak Merbabu, karena titik awal pendakiannya sudah cukup tinggi, di sekitar Dusun Wekas, Magelang. Jalurnya relatif lebih pendek, tapi dari awal sudah menanjak dan lumayan menguras tenaga. (alera.id)

Merbabu Pass, menjadi titik start pendakian dari jalur Wekas, berada di sekitar 1.800-an mdpl, tepat di pintu hutan. Dari situ jalur masuk hutan, lewat pos seperti Tegal Arum dan area camp di Pos 2 yang ada sumber air. (TelusuRI)

Pos 1 jalur Wekas

Pos 2 Wekas

 Alih-alih ciut nyali, aku malah… penasaran.

Ternyata godaan naik gunung tuh semenarik itu, gaes.

Melihat semangat teman-teman muda ngatur persiapan, guyub koordinasi, share itinerary, bahas konsumsi, bagi-bagi tugas, aku kayak ketularan energi baru yang rasanya beda. Mereka ambil peran secukupnya, nggak ada yang sok paling penting, nggak ada yang merasa sok senior. Yang ada justru saling nge-backup, saling menyemangati. Rasanya, siapapun yang nyemplung ke tim ini bakal merasa aman, nyaman dan diterima apa adanya.

Ada satu suara kecil di dalam diriku yang pelan-pelan nyeletuk:

“Bisalah aku mendaki pelan-pelan.

Toh biasanya gendong daypack 2-3 kilo masih mampu.

Masih bisa empet-empetan di KRL.

Masih kuat begadang nguber deadline.

Masa iya kalah sama ketakutan di kepala sendiri?”

Akhirnya, aku resmi bergabung dengan tim pendakian. Total dari 27 orang, hanya dua orang yang kukenal. Selebihnya wajah baru, energi baru. Dalam hati, kuanggap bonus: itung-itung nambah teman. Dan itu terbukti, komunitas ini terdiri dari pendaki-pendaki keren yang sudah ga butuh validasi.

Malam sebelum pendakian, kami menginap di rumah warga yang menjadi basecamp. Pagi harinya, dari basecamp menuju Merbabu Pass, aku memilih naik ojek. Bukan karena mau gaya-gayaan, tapi karena aku tahu: energi ini harus dihemat untuk jalur atas yang menanjak. Jalannya sempit, menanjak, bercampur antara cor dan paving. Dari yang kutahu, kalau jalan kaki butuh sekitar 15–20 menit, tapi dengan ojek cuma beberapa menit saja. (TelusuRI)

Selain ingin berbagi pengalaman, sebenarnya ada poin besar yang ingin kusampaikan ke teman-teman, bukan sekedar naik gunungnya.

Yang ingin kusampaikan adalah: di titik tertentu dalam hidup, perempuan butuh menantang dirinya lagi, bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri!

Di usiaku yang menjelang setengah abad, komentar-komentar seperti ini bukanlah hal baru:

“Udah tua ngapain sih naik gunung?

Emak-emak tuh liburannya spa, pijat, ngopi cantik aja…

Nanti kalau kenapa-napa, gimana?"

atau kalau aku punya ide baru, 

Nguber apa siiih,  

nyari apa,  

Hidup biasa ajalah

Jangan aneh-aneh, deh…!”

Lucunya, yang jarang ditanyakan adalah:

“Kamu sebenernya pengin apa?

Ada nggak hal yang ingin kamu wujudkan sebagai diri sendiri, bukan cuma sebagai ibu atau istri atau pekerja?”

Jarang banget ada yang nanya:

“Kamu bahagia nggak, dengan hidupmu yang sekarang?

Kapan terakhir kali kamu melakukan sesuatu hanya untuk dirimu sendiri?

Kalau semua label dicopot, ibu, istri, pekerja, dsb, apa masih ada hal yang bikin kamu merasa hidup, sebagai dirimu sendiri?”

Pendakian ke Merbabu bukan soal membuktikan bahwa aku sekuat anak-anak muda. Aku sadar betul aku punya batas: tenaga ga sebugar dulu, ditambah migren, riwayat tipes, tekanan darah rendah, recovery yang nggak secepat dulu. Tetapi justru di sanalah letak tantangannya: berani jujur dengan tubuh sendiri, tapi juga berani memberi tubuh kesempatan untuk tumbuh

Aku belajar menyiapkan fisik pelan-pelan. Belajar mendengarkan napas sendiri. Belajar mengatakan, “Aku istirahat dulu ya,” tanpa merasa malu atau bersalah.

Belajar menerima bahwa kalau aku harus berhenti di tengah jalur, itu bukan kegagalan, itu keputusan sadar untuk menjaga diri.

Dan sebagai perempuan, ini penting banget.

Kita terbiasa diajarin untuk kuat demi orang lain, tapi jarang dilatih untuk kuat demi diri sendiri.

Naik gunung di usia segini memang agak ‘kontroversial’ untuk sebagian orang.
Apalagi untuk perempuan. Tapi di jalur tanah yang menanjak, di antara langkah-langkah yang kadang goyah, aku menemukan bentuk lain dari serpihan diriku yang hilang:

Keberanian bilang, “Aku mau mencoba.”

Ketegasan menjawab kekhawatiran orang terdekat bahwa aku akan baik-baik saja,

Kerelaan menerima bantuan tanpa merasa diri lemah,

dan kebanggaan kecil ketika sadar, “Ternyata aku lebih kuat dari yang kusangka.

Sepanjang perjalanan memberi jeda untuk scrolling terhadap diri sendiri: bisa bersyukur, bisa sholawat, bisa berdialog, bisa pengakuan dosa, bisa menertawakan diri sendiri, bisa mengisi paru-paru dengan energi positif yang melimpah ruah.

Sepanjang perjalanan, ada banyak hal yang bisa dilakukan dalam diam.

Buatmu yang baca ini, entah kamu ibu, pekerja, istri, jomblo bahagia - jomblo ngenes, atau label lain yang tersemat di dirimu: “naik gunung”-mu mungkin berbeda.

Bisa jadi:

Berani daftar kuliah di usia 40+ (ini udah kulakukan ya gaes 😉),

Berani keluar dari hubungan yang diam-diam menguras jiwa,

Berani mulai usaha kecil-kecilan pakai modal tabungan sendiri,

Berani bilang, “Aku capek,” tanpa merasa bersalah,

Berani masuk ke gedung bioskop sendiri dan menikmati filmnya,

atau sesederhana jujur ke diri sendiri:

“Aku bahagia nggak sih dengan hidupku sekarang?”

“Kalau nggak, bagian mana yang pengin pelan-pelan aku ubah?”

Naik gunungmu mungkin berbeda dengan naik gunungku. Dan naik gunungku esok hari bisa jadi beda lagi dengan naik gunungku hari ini.

Intinya:

Tantanglah dirimu, keluar dari rutinitasmu yang membuatmu usang. Jika hidupmu saat ini sudah asik, menarik, happy, lanjutkan! Jika tidak, sempurnakan ceritamu dari “sekadar ini” dan “sekadar itu”.

Kalau aku harus merangkum petualangan Merbabu-ku dalam satu kalimat, mungkin begini:

“Di usia menjelang setengah abad, aku akhirnya sadar, batas terbesar dalam hidupku bukan di puncak gunung, tapi di kepala dan cara pandangku sendiri.”

Dan hari itu, di jalur Wekas yang menanjak, aku pelan-pelan mulai memindahkan batas itu.

Setapak demi setapak.

Puncak Merbabu yang tadinya kelihatan jauuuh, seolah tak terjangkau, akhirnya sampai juga aku di sana. Pelajarannya: kalau tujuanmu terasa sangat panjang, pecah saja jadi perjalanan-perjalanan kecil. Kalau capek, istirahat. Kalau capeknya reda, gas lagi pelan-pelan. Nanti juga sampai. 

Aku di puncak Merbabu dengan background Merapi, ahaaay...!

Dengan napas tersengal, lutut yang protes, tapi hati yang terisi kembali, aku sampai pada satu refleksi: ga ada salahnya berhenti sejenak, menyetel ulang mekanik diri kita, supaya hidup lebih utuh dan mempunyai banyak makna. 💚

  

guyub, rukun, vibe positiiif yang kurindukan 😇

#Sabtu, 17 Mei 2025

#Seminggu setelah turun gunung, menulis sembari mengelus-elus jempol kakiku yang kukunya  kiwir-kiwir copot setengah.

Tidak ada komentar:

Comments system

[blogger]