Apa
khabar dumaay?
Rasanya
sudah long-long time ago ga nyentuh
tuts keyboard buat nulis. Alhamdulillah, ternyata saya kuat juga ya ga curcol
di dumay, xexe… padahal sih pengen banget cerita panjang-panjang, gitu. Banyak,
segubrak yang ingin saya ceritakan. Waktunya aja yang ga ada – jiah, sok sibuk!
Tau
kan, Aning dan suami tuh dari bertahun-tahun silam ngebet pengen punya adik
bayi. Dan berkali2x dengan tegas saya menolak. Banyak faktornya. Yang saya
bilang, ‘sekarang susah nyari mba2x pengasuh, biaya perawatan bayi mahal, biaya
pendidikan mahal, rumah masih ngontrak, bla-bla-bla… yang intinya ga gampang
ngurus bayi dalam situasi sekarang.
Karena
saya orang keuangan, wajar dong jika saya memandang segala sesuatunya dari
tolok ukur finansial. Daripada punya banyak anak tapi terlantar, mending satu anak
tapi tercover dengan baik – itu prinsip saya. Lihat saja di tv, ada seorang ibu
yang rela menjual bahkan membuang anaknya karena ketidaksiapan secara
financial, bukankah si ibu tadi – maaf, lebih tidak bernurani daripada saya?
Dimana letak tanggung-jawabnya sebagai orang tua? Ya kan, ya kan? Jadi, saat
itu saya memutuskan untuk menunda punya momongan lagi.
Tapi
suatu hari, saya dihadapkan pada dialog kecil yang mau tak mau membuat saya
jadi berpikir,
Aning
: (pulang
sekolah cemberut sambil mengajukan selembar formulir) Ini, dari Bu Guru suruh
ngisi.
Saya : Apaan?
Aning : Biodata
siswa.
Saya : Ya
udah, diisi.
Aning : (cemberut,
lalu mendekati saya dan mengeluarkan jurusnya – merengek) Ibu…. (ga langsung
ngomong, melainkan cemberut)
Saya : Dihh,
apaan sih?
Aning : (manyun)
Masak teman-teman ngisi biodatanya nama kakak-adik keisi semua, aku nggak?
Saya : Maksudnya?
Aning : Aurel,
nama adik satu-dua-tiga keisi semua. Angel-Latifa, nama adik juga ada. Zizah
malah, nama kakak ada tiga. Aku doang yang isinya satu. Masak aku nggak punya
sodara?
Saya : (garuk2x
pala) Kan banyak sodara di kampung? (nahan geli)
Aning : Sodara
sekandung Ibuuu. Yang dari perut Ibuuu. Buatin aku adek ya Bu, please… Satuuu aja.
Tuh kan, jurus cuplisnya keluar kalo
minta sesuatu. Memangnya bikin kue, pakai adonan tepung – aduk2x - panggang, jadi deh kuenya.
Malamnya, saya ceritakan percakapan
kami ke suami, begini tanggapannya.
Suami : Kamu,
memang nggak kasihan apa? Anak semata-wayang nggak punya sodara. Nanti kalo
kita tua, dia besar mau curhat ke siapa?
(Nah lho, sebenarnya saya kan bisa jawab, bisa curhat ke kita orang
tuanya kan? Tapi saat itu saya diam seribu bahasa. Mungkin maksudnya kalau
orang tuanya meninggal kali J) Kalau dia punya sodara, dia akan
belajar berbagi, mereka akan belajar saling melindungi. Kamu takut rejekinya
nggak cukup? (ya iyalah – kata saya dalam hati. Sekarang saja masih
sungsang-sumbal begitu?) Padahal setiap anak membawa rejekinya sendiri2x.
(kalau orang tuanya nggak usaha dapat rejeki dari mana – kata saya dalam hati
lagi) Rejeki, jodoh, maut sudah ada yang menentukan.
Jiaah, dia mulai lagi…. Kalau suami sudah
menyinggung soal surga dan neraka, saya lebih memilih diam daripada panjang urusannya
(selalu dia yang surga dan saya neraka). Sampai kiamat pun soal agama dan
keuangan gak bakalan nyambung.
Tapi ajaibnya, saya yang biasanya mampir ke apotek tiap bulannya buat beli pil KB kali ini saya lewati. Percakapan saya dengan Aning – dengan suami
juga sih membuat saya berpikiran lain. Saya pasrahkan kepada yang Maha Tau. Kalau
memang saya ditakdirkan punya anak lagi, alhamdulillah… berarti saya masih
dipercaya untuk mengasuh dua anak. Tapi kalau saya tak kunjung hamil juga –
mengingat usia saya sudah tak muda lagi, alhamdulillah juga… berarti saya
diberi kesempatan untuk menikmati waktu luang saya dengan satu anak yang sudah
menginjak remaja.
Saya nikmati hidup saya dan sejak saat
itu goodbye pil KB.
Tidak ada komentar: