Tinggal di kampung tuh enak lho. Selain rame - jadi kita nggak bakalan kesepian, kita juga bisa berinteraksi dengan banyak orang, bertukar pengalaman, berbagi masakan atau pinjam-meminjam ini-itu, bisa berbelanja sayur bareng, bisa ngerumpi bareng, bahkan bisa nyuci dan njemur bareng-bareng juga. Enak kan?
(Kata siapa? Nggaklah, bohong banget tuuu… )
Nah lho, mulai bingung menyimpulkan ya? xexe…. Maksud saya, kampung yang saya sebutkan di sini bukan kampung halaman kita nun jauh di sana, yang udaranya masih segar, bebas polusi dan hijau oleh tanaman itu. Tapi kampung di perantauan. Sudut kampung yang terletak di sudut kota, Jakarta pula. Rumah petak, tau kan? Saya tinggal di sebuah kontrakan kecil yang dikeliling rumah petak dengan keluarga yang beranak pinak alias buannnyakkk banget anak kecilnya. Plus ibu-ibunya yang jam 10 pagi sudah bawa piring keluar rumah, ngerumpi nyambi nyuapin anak. Di sini, nyuapin anakpun rame-rame, momongpun rame-rame. Sepanjang hari, tukang bakso-tukang somay-tukang es krim, tukang sate, tukang batagor, tukang bubur ayam, lewat wara-wiri di perkampungan ini. Jadi, rame banget kan?
Pengalaman saya, … saya ceritakan yang hari Minggu saja deh - saya full berada di rumah, supaya mendapat gambaran yang jelas dan detail. Di sini harus saling berbagi. Berbagi suara musik, berbagi suara air, berbagi sendau-gurau bahkan berbagi dampratan kalo ada tetangga yang berantem. Biasa… banyak tetangga menimbulkan banyak kemungkinan, bukan? Ada Jawa, Sunda, Padang, Tegal dan pastinya Betawi punya (kalau yang ini sih induk semangnya). Beragam suku, beragam watak, beragam akar budaya. Harus pandai-pandai menempatkan diri. Kalau nggak, bisa stress sendiri. Atau salah-salah - kalau kita nggak bisa berbaur, kita yang dijadikan bahan gossip seperti selebritis itu lho…. (insya allah, saya terima keadaan ini dengan lapang dada dan senyum mengembang).
Pagi ini saya dikejutkan oleh suara dari speaker tetangga depan rumah, lagu dangdut, kadang-kadang tarling juga. Kalau lagi beruntung, saya mendapatkan lagu-lagu nostalgia yang saya suka. Terdengar keras, seolah lagu itu saya yang memutarnya dengan stereo di dalam rumah. (Mayan, hemat listrik – hibur hati saya). Tak lama kemudian saya mendengar suara guyuran air di kamar mandi tetangga sebelah yang mepet banget dengan kontrakan saya. Gebyar-gebyur plus diiringi suara yang pede abis, dia menyanyi dengan lantang (kali ini saya geli, semangat hidupnya patut diteladani nih – pikir saya). Di tengah himpitan ekonomi dan kerasnya kota Jakarta, mereka masih bisa berdendang. Ya, berdendang dengan kencang, bernyanyi tanpa beban – suaranya memekakan telinga saya (tapi bener, justru membuat saya geli. Kali ini saya tidak dongkol – berarti mood saya lagi bagus).
Begitulah. Lagu dangdut, nyanyian tetangga, suara tangisan bayi, anak-anak berlarian di depan rumah, suara rumpi ibu-ibu menceritakan bahan baku yang melonjak drastis, bercampur baur dengan suara penggorengan saya. Padanan yang sempurna. Membuat saya bersyukur. Hikmah yang saya dapatkan tinggal di sudut kampung ini, ternyata banyak yang hidupnya lebih susah dari saya. Mereka tetap optimis meskipun masa depannya tidak jelas. Hidup memang penuh perjuangan. Jadi tidak sepantasnya saya mengeluh. Saya takan mendapatkan hikmah ini kalau saya tinggal di perumahan elite (hehe… ngarep boleh kan?).
Oya, semalam saya ketemu dengan Bapak Fauzi Bowo. Yup, gubernur DKI Jakarta yang biasa disapa Foke itu… Betul, beneran ketemu! Haaa… beliau berdiri di depan podium sementara saya di pelataran Monas sebagai jamaah tentunya, hehe… dalam suatu majelis tentunya. Jangan menganggap saya orang penting lah. Manalah ada orang penting tinggal di sudut kampung, ya nggak? :D Beliau menuturkan tentang cita-citanya, keinginannya akan Jakarta yang makmur, Jakarta yang anti banjir, anti macet, dijauhkan dari maksiat, narkoba, tindak kriminal! Jakarta yang nyaman, amin….
Nyaman ataupun tidak nyaman tinggal di sudut kampung, di pinggiran Jakarta - pula, inilah realita yang harus saya hadapi. Daripada merutuk, dongkol, kesel dan mendapatkan hal-hal yang membuat tak nyaman hati, nikmati saja apa yang ada. Hidup terus berjalan, kawan. Tergantung bagaimana kita memaknainya, ya nggak?
Tidak ada komentar: