Tayangan :


 
Minuman ini sangat lekat di hati saya. Sejak saya duduk di bangku SMP sampai sekarang, minuman pahit inilah yang selalu menemani hari-hari saya. Tiada hari tanpa kopi, karena saya memang sudah kecanduan kopi. Wah-wah, … saya bisa pusing, mual-mual, muntah bahkan sakau sehari saja tanpa kopi.
Kalau saya sudah bertingkah aneh, biasanya teman-teman saya sudah tau, “Ayo, Mbak Estri ngopi dulu… belum ngopi kan, Mbak?”
Setelah saya ngopi, barulah hidup saya tenang dan normal kembali. Tidak berlebihan, saya dan kopi bisa diibarat paru-paru dengan oksigen.Barang inilah yang selalu saya cari kapanpun dan dimanapun saya berada.
Saya jadi teringat kenangan pahit saya mengenai kopi. Karena ini adalah kenangan yang menggelikan sekaligus memalukan…. jangan ditertawakan ya?! Begini ceritanya....
Suatu hari saya diajak saudara saya kondangan di pinggiran kota Blitar. Saya lupa nama desanya, yang jelas masuk puluhan kilometer melewati jalan-jalan makadam. Bahkan di desa ini belum ada listrik, mungkin waktu itu sekitar tahun 1995-an…. Di situ saya disuguhi banyak sekali makanan. Dari rengginang aneka rasa, kembang goyang, jenang sampai minumannya : teh gula jawa. Saya cari-cari terus nih, kok kopinya nggak keluar-keluar? Karena tuan rumahnya terlalu baik, mungkin lebih-kali, dari 10 jenis penganan disuguhkan, saya jadi sungkan. Jajanan berderet-deret di depan saya, ditata rapi di atas piring-piring putih, tapi tak ada yang menggugah selera saya. Kopiiii…, kopinya mannaaa? Saya terlalu malu meminta kopi pada tuan rumah yang baik ini… nanti, bisa-bisa saya dicap sebagai tamu yang tak tau diri lagi….
Benar saja, ternyata saya bertahan sampai jam 2 siang. Selanjutnya… kepala saya langsung berputar-putar, cenut-cenut, panas, dingin, mual… bahkan nasi daun jarak dan daging kerbau yang sudah saya makan di pagi dan siang hari, seluruhnya terkuras habis. Percaya atau tidak, saya muntah-muntah… karena belum mengkonsumsi kopi.
Orang-orang panik. Tak ada obat apalagi dokter. Untuk membeli 2 bh bodrex saja harus ngojek sekitar satu jam-an karena di desa itu tak ada warung yang menjual obat. Wah-wah, saya jadi merepotkan…. Setelah minum obat dan tiduran sebentar,.. (jangan dikira di desa ini ada kasur, tempat tidurnya adalah tempat tidur kayu jati tanpa kasur), setelah sakit kepala saya sudah mereda… tanpa sungkan dan malu-malu lagi saya langsung bertanya pada tuan rumah, “Maaf Bu, di sini warung kopi di mana ya?”
Tak perlu saya ceritakan bagaimana saya mendapatkan secangkir kopi di desa terpencil itu.
Secangkir kopi pahit….
Hmmm, menghirup baunya saja syaraf-syaraf di kepala saya langsung plong, merespon dengan baik. Saya minum pelan, pelaannn… Nikmatnya tak terkira…. Terbukti, kopi menjadi barang langka dan berharga pada situasi tertentu. Dan kopi dari Blitar ini, digilingnya nggak sampai lembut benar… tiap saya meminumnya, ada saja biji-biji kecil, hitam-hitam nyangkut di gigi saya…. hmmm, sedap sekali! Percaya atau tidak, badan saya langsung segar, bugar, energik….
Sampai sekarang kebiasaan ngopi ini tak bisa saya hilangkan, dan mungkin memang enggan saya hilangkan. Aromanya itu lho. Saya tak rela melepaskan sensasinya…
Bahkan, di kantor saya mendapat julukan sebagai mbah dukun karena kesukaan saya akan kopi ini. Bangga-lah… feeling saya kok mengatakan ya, orang yang biasa ngopi itu pastilah keren… kreatif, nyentrik, nyeni… dan sedikit nganeh-nganehi tentunya, hehehe….. mirip-mirip Mbah Surip-lah…. Bedanya kalau Mbah Surip bisa bergelas-gelas dalam sehari, saya cukup 1 mug sehari, karena saya masih sayang lambung dan ingin berumur panjang tentunya.
Kopi pahit….
Jika ada yang menawarkan pada saya, kopi susu, moka, campuran kremer – sekali-kali boleh-lah, tapi kopi pahit tetaplah favorit saya. Tepatnya, kopi hitam Kapal Api. Saya juga pernah coba kopi ginseng, katanya berkhasiat untuk daya tahan tubuh, tapi… hoekkkk, lebih seperti jamu aroma maupun rasanya. Cukup sekali saya mencobanya, dan saya kembali pada kopi hitam Kapal Api.
Racikannya, OB di kantor saya sudah hapal takaran saya. ‘Thanks, Hasan… kopi buatanmu pas dan nikmat tiada duanya!’.
Kopi saya biasa siap saji jam 10 pagi, aromanya menguar kemana-mana. Jadi bisa dipastikan, kalau mencium aroma kopi di kantor saya sudah pasti lah itu pesenan dari saya. Kecuali mencium-nya pas saya lagi cuti, wiiii… tanpa bermaksud menakut-nakuti, berarti ada sesuatu yang bercokol di kursi saya, hiii….
Kopi pahit,
menurut saya banyak sekali manfaatnya lho. Contoh nyatanya seperti ini : menjadi kebiasaan orang tua jaman dulu, selalu memberikan balita-balita mereka sesruput (istilahnya apa ya, kira-kira sesendok kecil) kopi pahit. Untuk menghindari step kata mereka. Belum terbukti secara ilmiah sih, tapi memang sih kalau dipikir-pikir anak-anak jaman dulu tuh jarang sekali terkena step dibandingkan dengan anak-anak jaman sekarang yang rentan dengan penyakit yang satu ini. Selain itu, ini berdasarkan pengalaman saya sendiri. Dengan ngopi, saya mendapatkan banyak sekali inspirasi… lebih ke kerja cerdas istilahnya. Rasanya saya jadi kreatif. Pekerjaan-pekerjaan yang tadinya terasa berat, mengenai laporan-laporan yang rumit - njelimet, biasanya bisa saya selesaikan atau bisa saya cari jalan keluarnya setelah saya ngopi. Konsentrasi saya langsung meningkat drastis, semangat kerja saya jadi berapi-api… Belum lagi aromanya yang membuat pikiran saya jadi rileks. Aroma hutan cemara, lewaattt…..
Tak percaya? Silakan mampir ke meja kerja saya untuk mencobanya. Saya tak segan berbagi secangkir kopi pahit dengan Anda.
Jadi, siapa bilang kopi pahit merugikan?
EstriShinta Senin, Januari 18, 2010
Read more ...
Saya sempat membacanya sekitar tiga tahun yang lalu. Sebuah novel yang dituturkan demikian bijak dalam bahasa sederhana oleh Bapak Umar Kayam. Terpesona saya. Seolah, saya terbawa ke desa 'Wanagalih' (nama desa dalam novel tersebut). Saya bayangkan juga betapa besarnya pohon nangka yang berdiri kokoh di depan rumah Soedarsono, yang akhirnya tumbang beberapa hari sebelum Soedarsono meninggal. Ceritanya yang 'njawani' itu....
Saya sampai merinding membacanya. Sedikitpun saya tak bisa menebak alur ceritanya, tak terduga dan kadang-kadang mengagetkan. Sehingga saya bertekad, suatu hari saya harus 'mengulas' tentang novel yang menurut saya sangat luar biasa ini.

Inilah sinopsisnya :

Berasal dari keluarga buruh tani, Soedarsono oleh orang tua dan sanak saudaranya diharapkan dapat menjadi "sang pemula" untuk membangun dinasti keluarga priyayi kecil. Berkat dorongan Asisten Wedono Ndoro Seten, ia bisa sekolah dan kemudian menjadi guru desa. Dari sinilah ia memasuki dunia elite birokrasi sebagai priyayi pangreh praja. Ketiga anaknya, melewati zaman Belanda dan zaman Jepang, tumbuh sebagai guru, opsir Peta dan istri asisten wedana. Cita-cita keluarganya berhasil. Benarkah ? Lalu apakah sesungguhnya "priyayi" itu? Status kelas? Pandangan dunia kela menengah elite birokrasi? Sekedar gaya hidup? Atau kesemuanya? Cucu-cucu Soedarsono sendiri kemudian hidup sebagai anak zaman mereka: menjadi anak kelas menengah birokrat yang manja, idealis kiri yang terlibat gestapu dan entah apa lagi. Justru Lantip -anak jadah dari keponakan jauh Soedarsono- yang tampil sebagai hero. Dialah dengan caranya sendiri, menunjukkan makna "priyayi" dan "kepriyayian" itu.

Dari pemahaman saya yang awam ini, banyak sekali 'petuah-petuah' yang saya dapatkan setelah membaca novel ini. Saya mengamini setiap kata yang dituliskan oleh Bapak Umar Kayam, karena... ternyata saya banyak melihat 'priyayi-priyayi' model Soedarsono di kehidupan nyata saya. Priyayi jaman sekarang : 'Priyayi' yang bukan priyayi, karena dia hanya mengaku-ngaku. 'Priyayi' yang karena keturunan, karena bisa jadi mbah-nya atau kerabatnya dulu adalah orang kaya dan terhormat. 'Priyayi' yang ingin diakui sebagai priyayi, karena dia setengah mati menggembleng anak-keturunannya supaya masuk ke 'kelas' priyayi... dengan banyak cara 'nyaru' sebagai priyayi, masuk ke lingkungan priyayi, berkata seperti priyayi, makan dan minum seperti priyayi, berlagak seperti priyayi, bahkan cara tidurpun meniru-niru supaya mirip priyayi.

Ini fakta, lho....

Bahkan mereka menciptakan kerajaan kecil supaya lingkungannya mengakuinya sebagai priyayi.

Tapi saya lega.... akhirnya Bapak Umar Kayam justru menempatkan Lantip - anak haram dari keluarga miskin, tidak terhormat - itulah yang justru dijadikan priyayi yang sesungguhnya. Ternyata - berdasarkan pemahaman saya, seorang priyayi bukanlah dilihat dari pangkat, harta, kehormatan atau keturunan, melainkan dari sikap dan perjuangan hidupnya. Siapapun bisa jadi priyayi, asal... dia haruslah bijak, cerdas, rendah hati dan bersedia mengabdikan hidupnya buat orang banyak. Bukan priyayi kalau hidupnya tidak bermanfaat buat orang banyak. Bukan priyayi kalau tidak bisa 'ngemong' para bawahannya. Bukan priyayi kalau tidak bisa memotivasi dan memimpin orang-orang disekelilingnya.

Terlepas dari konteks priyayi itu sendiri, saya merekomendasikan buku ini menjadi buku yang wajib dibaca. Membuat kita bisa memaknai 'hidup' dari cara pandang yang sangat berbeda. Saya jamin, anda akan lebih bijak setelah membacanya.

EstriShinta Kamis, Januari 14, 2010
Read more ...

Malam tahun baru, enaknya kemana ya? Orang-orang sibuk dengan persiapannya masing-masing. Teman-teman saya malah sudah prepare jauh-jauh hari sebelumnya. Ada yang booking villa di puncak, ada yang pulang kampung memanfaatkan libur 3 hari, yang muda-mudi sudah pasti akan menghabiskan pergantian tahun dengan pacar-pacarnya, bahkan ada yang beli satu ekor kambing untuk bakar-bakar… yang ini acara bos saya, hehehe…

Saya sendiri sejauh ini belum ada rencana. Tapi bukan berarti tak ada acara lho….
Benar saja, sesampainya di rumah saya mendapat undangan mendadak dari orang-orang terdekat saya. Pertama dari suami saya, “Ayo, ikut tablig akbar Majelis Rasulullah di Senayan. Seluruh habib dari manca-negara datang untuk do’a bersama. Seru lho….”
Lalu yang kedua ajakan dari Aning - anak saya, “Ibu, lihat kembang api saja di Margo, enak nggak empet-empetan!”
Hmmm, nggak kompak….
Akhirnya, saya cari jalan tengahnya. Saya bilang ke Aning, “Kita ikut Ayah dulu saja, Ning… do’a bersama di Senayan. Habis itu, ntar pulangnya baru kita lihat kembang api di Margo. Kan kembang apinya mulai jam 12 malam?”
“Asyiikkk… berarti, ntar naik motor ke Senayan? Jalan-jalan dulu, gitu?”
“Iya, boleh kok bawa terompet….”
Saya lirik suami saya, mulai nggak nyaman, “Masak, tablig akbar bawa terompet?” protesnya.
“Biarin lah, Yah… biarin dia niup terompet di sepanjang jalan, tahun baru ini…. Sekali-kali nyenengin anak. Ntar kalau acaranya sudah mulai saya amankan terompetnya….”
“Asyiikkk….”
“Sini deh Ning, sini dulu….” Benar dugaan saya, ada eksekusi terselubung dari suami saya buat Aning-anak saya, “Sekarang Ayah tanya beneran nih, Aning mau ikut Ayah… atau tinggal di rumah saja nih? Soalnya Ayah ragu nih Ning, ntar kamu sampai di sana malah minta pulang lagi, ntar malah rewel lagi?! Soalnya di sana tuh orangnya ribuan, Ning…. Empet-empetan… buat jalan saja susah, desak-desakan…. Ntar kamu bête, lagi. Ayah juga nggak janji pulangnya bisa jam 12, bisa macet… Di sana tuh, tempatnya bapak-bapak dan ibu-ibu dipisah, Ning… jadi Aning nanti sama Ibu, nggak sama Ayah…. Ntar, Aning rewel lagi?”
Bla-bla-bla…. Saya sudah biasa dengan kondisi ini : sabar, sabar, sabar, …antara Aning dan buapaknya ini memang susah sekali kompaknya.
“Bagaimana?”
Aning mulai berpikir, “Mmm, ya sudah deh, aku di rumah saja.”
Saya kaget. “Bener?!” Saya tidak yakin. “Kamu di rumah sama Mama Rizki?!” Mama Rizki yang saya sebutkan adalah tetangga saya yang biasa menjaga Aning.
“Asyiikkk… berarti aku boleh main-main dong?”
“Ibu ikut ayah lho, ya?”
Di luar dugaan, “Iya, nggak apa-apa. Enakan sama Mama Rizki, lihat kembang api, nggak empet-empetan….”
Saya nggak yakin sama keputusan Aning, soalnya dia sering berubah-berubah. Ini bagaimana sih, saya jadi bingung… jadi ribet gini? Seusai sholat Magrib saya test lagi Aning, “Habis ini ayah sama ibu berangkat lho ya, Ning…bener kamu nggak mau ikut?”
Aning mengangguk mantap. “Iya, aku di rumah saja. Ya sudah – ya sudah, sekarang anterin aku ke rumah Rizki ajah… Asyiikkkk, berarti aku boleh main sampai malam dong, sama Rizki?!”
Saya menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal di hati saya. Kok saya jadi nggak rela ya? Terpana gitu. Anak saya menolak saya. Saya jadi mikir, masak iya, anak semata-wayang saya di tahun baru malah dititipin ke tetangga, sementara bapak-ibunya malah keluyuran berdua-duaan. Apa kata dunia? Whwhwh… nggak bisa! Ini tidak bisa dibiarkan. Masak Aning malah memilih tetangga saya?
“Mmm… gini aja deh.” Akhirnya saya juga memutuskan sendiri. “Daripada Aning ikut Mama Rizki, mending ibu nggak ikut ayah aja deh, mending ibu nonton kembang api sama Aning ajah…”
“Hahh, ibu nggak jadi ikut ayah?!”
Aku menggeleng mantap, “Nggak!”
“Asyyiikkkk…. berarti kita nanti nonton kembang apinya bareng-bareng ya?”
“Iya, ibu sama Aning aja ah. Enak ya Ning, nggak empet-empetan?” kini, cibiran saya justru tertuju buat suami saya.
Asyyiiikk….”
Ternyata, saya tak sekuat anak saya….
Jadilah malam tahun baru ini kami pisah haluan. Berangkat dari rumah sih barengan, sekitar jam setengah tujuh-an… tapi sesampai di jalam besar – Margonda, kami berpisah. Suami saya tablig akbar di Senayan, sementara saya berdua dengan Aning menuju ke Margo City, mall yang tak jauh dari rumah kami.
Tak ada rencana. Tapi jujur, asyik banget lho jalan sama Aning. Kalau biasanya sama bapaknya langsung to the point, para female kan sukanya ngider-ngider dulu nih, ngubek-ngubek ke sana ke mari dulu, bapaknya nggak mungkin betah ngikutin kami, jadi sekarang kami bebassss, hihihi.....
Biasanya sambil jalan Aning cerita macam-macam, bisa soal temannya, gurunya, komentar tentang film yang ditontonnya di teve. Pokoknya ngoceh ini-itu deh. Dan biasanya yang keluar dari mulut mungilnya itu hal-hal yang nggak disangka-sangka. Anak saya itu, ada beberapa orang yang bilang pola pikirnya sudah seperti gadis belasan tahun. Dia sudah menetapkan cita-citanya, menjadi arsitek (sejauh ini sih belum berubah). Dia juga bisa diajak diskusi, bahkan bisa menebak karakter orang hanya dengan melihat raut mukanya.

Pertama tujuan kami adalah Platinum Screen. Sesuai harapan saya, dari 4 teater ada 3 film anak2x yang diputar. Karena Sang Pemimpi sudah saya nonton (waktu itu juga sama Aning dan sepupu saya Febi), akhirnya kami sepakat nonton ‘Alvin and the Chipmunks 2’. Cemilannya Mr. P, Bread Talk dan You-C yang saya umpetin di tas saku saya, lolos dari penjagaan.
Dari awal sampai akhir cerita saya dan Aning terus-terusan nyengir, kadang ngakak oleh tingkah trio tupai yang diluar dugaan. Apalagi pas ‘the Chipettes’, band cewek saingan mereka keluar. Suaranya itu lho, kenes, bikin gemes… mentes…. Saya sempet berkomentar dalam hati, hebat ya orang Amerika nyari duit, kalau bikin film nggak tanggung-tanggung… dari cerita dan tokoh sederhana bisa dibikin film animasi yang super menarik, lucu, ngegemesin…. Saya berbisik ke anak saya, “Tuh Ning, kalau orang pinter bisa lho bikin film kayak begini….”
Selesai nonton - filmnya berdurasi sekitar satu setengah jam, kami melanjutkan acara dengan jalan-jalan. Namanya saja jalan-jalan, tentu saja kami jalan-jalan dan jalannn terus… ngubek-ngubek mall, dari lantai 2 ke basement - 4 lantai, dari basement balik lagi ke lantai 2, turun ke lantai 1, ke lantai dasar ngubek-nguber Centro, muter-muter lagi… balik ke lantai 1. Saya merasakan telapak kaki saya mulai lecet. Wadowww, ngikutin Aning nggak ada capeknya…. Cape’ dehhh….
Untung kami sudah mengisi bahan bakar sebelum berangkat tadi. Satu ayam bakar yang saya beli di Detos sudah kami makan rame-rame sebelum berangkat. Hehehe, siasat ibu-ibu… bisa gawat kalau mengajak aning belum dikasih makan. Dia bisa lapar perut sekaligus lapar mata, tunjuk sana tunjuk sini, Pizza Hut, Solaria, Bumbu Desa… berjejer di sepanjang acara jalan-jalan kami. Kalau sesekali sih, masih okeylah… Tapi berhubung rumah saya dekat sekali dengan mall, bisa bangkrut saya dengan tradisi seperti ini. Untungnya Aning termasuk anak yang pengertian. Saya cuma ingin mengajarkan supaya dia biasa hidup hemat. Membeli sesuatu karena memang barang-barang itu diperlukan, bukan karena sekedar ‘pengen’….
Tiba di lantai satu, saya masuk ke galeri lukisan – luasnya sekitar tiga blok peruntukan ruko. Saya senang melihat reaksi Aning, “Wahh… bagus-bagus ya, Bu.” Melihat lukisan yang indah-indah itu, loncat sana loncat sini. Sebenarnya, saya sendiri bukan pecinta lukisan. Saya tidak tau gaya atau aliran lukisan. Tapi versi saya, lukisan yang sedang dipajang di galeri ini memang bagus-bagus. Mata Aning membulat melihat lukisan ‘panen padi’ yang besarnya sebesar daun pintu. Ada juga lukisan ‘penari bali’, ‘ikan koi’, ‘bunga matahari’, dan masih banyak lagi. Saya bilang ke Aning, “Tuh Ning, kalau orang pinter, kreatif… kertas kosong bisa dijadikan lukisan yang sangat indah. Arsitek juga bisa bikin bangunan yang indah-indah….” Tak mau kehilangan momen ini, saya keluarkan kamera untuk selanjutnya, ‘bun…. cisss’, klik sana klik sini. Inilah beberapa pose kami ....
Kalau saya yang mejeng, berarti hasil bidikan dari Aning. Kalau foto Aning, berarti saya yang memfoto, keren kan…. :)
Beginilah suasana di luar Margo, kami dan lampion-lampion cantiknya ….
Tak terasa sudah jam sepuluh lewat. Dingin, capek, lecet… tapi senang, seru, lega…
Kami putuskan untuk pulang saja. Karena kembang api di Margo juga bisa kami nikmati dari rumah, jam 00.00 gebyar kembang api.... indah sekali. Sekitar jam setengah satu, suami saya tiba di rumah.
Selamat tahun baru semuanya.... bagi saya, bukan ke perayaannya, tapi lebih ke instrospeksi diri. Smoga di tahun 2010 kita bisa menjadi pribadi yang lebih berkualitas... baik sifat, perilaku dan pola pikir. Harapan-harapan yang belum terwujud di 2009 bisa direalisasikan di 2010, semoga....
Dan ternyata, untuk menciptakan sebuah suasana yang istimewa itu sangat mudah lho. Kalau kita menjalani dengan perasaan happy dan tulus, hal kecil bisa memberi kesan yang akan terus membekas di hati anak-anak kita, termasuk yang sudah saya lewatkan dengan Aning malam ini. :)
EstriShinta Jumat, Januari 01, 2010
Read more ...