Tayangan :


Dia ada di dekatku. Tapi susah sekali kugapai. Seperti menjulurkan tangan ke patung Buddha dalam stupa Arupadhatu di candi Borobudur, keberuntunganku tak kunjung sampai karena tanganku terlalu pendek. Relief-nya menggambarkan kecantikan seorang dewi yang terkunci di dalam anganku. Dan aku terus memimpikannya.

Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya
dia melintas di depanku, tanpa mengetahui kehadiranku. Aku cukup mengintip di balik jendela kelas, yang aku yakin bila dia menoleh sedikit saja dia akan melihat wajah tampanku (tidak boleh protes karena ini adalah polling dari seluruh keluargaku). Tapi sayangnya dia tidak pernah menoleh. Dia cukup membenarkan letak kerudungnya yang selalu rapi, lalu berjalan lurus menuju kelasnya sendiri dengan langkah yang sangat anggun. Kelasnya II IPA. Tapi beda juga sih dengan pagi-pagi sebelumnya karena pagi ini dia tidak diantar oleh cowoknya. Ini aku lihat dengan mata kepalaku sendiri karena yang mengantar Saski kali ini adalah sopir pribadinya yang tak pernah kulihat sejak Saski mempunyai cowok. Oh ya, nama cewek itu adalah Saski. Lengkapnya Saski Syakieb, dengan nama panggilan Saski.
“Elu yakin yang mengantar tiap pagi itu cowoknya Saski?” suatu hari Boni pernah bertanya padaku.
“Ya iyalah….” Aku menjawab dengan mata menjureng. Masak sih Boni nggak tau cowoknya Saski? Atau dia cuman pura-pura? Sebelnya cowok itu dua-tiga-empat levelnya di atasku. Dua-tiga-empat gantengnya di atasku. Dua-tiga-empat tongkrongannya di atasku, Chevrolet Captiva! Sedang aku cuman motor Ninja keluaran tahun 90-an. Si Komo bilang, weleh-weleh-weleh….
“Darimana lu tau?” Boni bertanya lagi.
Dengan hati dongkol aku menjawab, “Dari tatapan mata Saski yang mesra itu.”
Boni mencibir. “Tapi cowok yang mengantar Saski tuh ganti-ganti?”
“Ini pacar yang kesebelasnya, Bon.”
Boni cengengesan. “Kerajinan amat lu ngitungin pacarnya Saski?”
Dalam hati aku jadi bertanya-tanya. Iya-ya, kenapa sampai kesebelas? Dari penilaianku Saski bukan tipe cewek yang suka berganti-ganti pacar. Secara fisik dia cantik luar biasa. Darah Timur Tengahnya kentara benar dari tatapan matanya yang tajam dan hidung mancungnya. Konon, nenek moyangnya berasal dari Hadramaut (kini Yaman Selatan). Meskipun ajus (ibu)–nya keturunan Betawi, perpaduan Arab-Betawi itu mencetaknya menjadi gadis ‘mix’ yang mempesona, tapi sepertinya dia lebih dominan ke Arab deh. Bahasa prokem-nya Arab tulen dan sedikit saja jejak Betawinya meskipun dia tinggal di daerah Pekojan. Lifestyle-nya Arab punya, lagu kesukaannya irama Padang Pasir meskipun dia juga suka lagu-lagu Gita Gutawa, Vierra, Kangen band. Tapi terlepas dari semua itu, bagiku Saski adalah cewek paling sempurna yang pernah kulihat di muka bumi ini. Hatinya pasti jauh lebih cantik dari penampilan luarnya. Tapi kenapa cowok-cowok itu tak pernah lama berdekatan dengan Saski. Paling dua-tiga bulan sudah putus? Ini sangat membuatku penasaran.
Boni bilang, “Mana ada sih cowok yang tahan dengan cewek sependiam Saski? Ya… meskipun dia pinter, cakep, tapi kalau diajak ngobrol nggak pernah nyambung, mana tahan cowok-cowok itu?”
“Dia bukannya nggak nyambung, Bon.” Aku berusaha membela. “Tapi dia tuh pemalu banget. Atau, justru dia yang kepintaran, sehingga justru cowok-cowok itu yang nggak nyambung sama dia? Saski tuh beda Bon. Seperti gadis-gadis berkerudung lainnya tuh, lo lihat kan? Mereka harus pandai-pandai membawa diri, karena mereka lebih tau bagaimana caranya bergaul dengan laki-laki yang bukan muhrimnya?”
“Hari gini ngomongin muhrim?!” Boni mencibir.
“Ya, kurang lebihnya begitu deh. Dan memang mereka itu susah banget didapetin. Atau… eh, Bon?” Kali ini aku jadi bersemangat. “Jangan-jangan Saski yang menolak mereka kali ya? Karena mereka dianggap tidak memenuhi syarat? Atau… mereka nggak tahan dengan babenya Saski yang super galak itu? Lo tau kan gimana tampangnya orang Arab kalau lagi marah?”
“Ah.” Boni menggeleng. “Tetangga gue nih, yang rumahnya berseberangan dengan rumah gue, Babe Nasir lu tau kan?”
Aku mengangguk.
“Dia asli keturunan Arab dan nggak galak-galak amat? Baik malah orangnya”
“Beda Bon, Arab-nya arab mana dulu, dari Mekkah atau dari Madinah?”
“Ngaco lu!” Boni mengibaskan tangannya ke depan.
Kali ini aku yang cengengesan. Lalu beberapa saat aku berpikir, “Gimana ya cara ngedeketin Saski….” gumamku mengharapkan solusi.
“Lu naksir ya sama Saski?” Boni bertanya.
Aku diam sebentar. “Kalau diberi kesempatan sih, gue nggak nolak Bon dijadiin pacar kedua belasnya.”
Boni mencibir.
“Sumpah pocong deh!”
“Sumpah pocong dari Hongkong?!” Dan Boni tertawa keras-keras.
*****
Memang nggak gampang mendekati cewek seperti Saski. Penuh perjuangan dan tantangan. Setelah yakin bahwa Saski sudah putus dengan cowoknya (karena sudah semingguan ini cowoknya tidak pernah mengantar lagi), aku memberanikan diri menulis surat perkenalan. Aku menyelinap ke dalam kelas Saski saat upacara bendera, dan kuletakan surat bersampul merah muda dengan gambar sekuntum mawar merah itu ke dalam tas Saski dengan hati berdebar. Kira-kira begini bunyi suratnya :
Untuk gadis berkerudung yang diam-diam kusuka:
Assalamu’alaikum, Saski cantik….
Ini bukan rayuan lho. Swear! Anggaplah aku manusia kerdil yang merindukan bulan, sedang kau adalah dewinya. Dewi pemilik bulan yang kurindukan.
Saski, aku tau ini tidak pantas,
ini norak,
tapi apa daya, Saski….
Hatiku berontak setiap harinya untuk segera menyapamu.
(dag-dig-dug, dag-dig-dug… jantungku seperti irama gendang yang bertalu-talu, tiap melihatmu.)
Ini bukan rayuan lho. Swear! Kamu adalah rembulan yang menerangiku di malam hari dan matahari yang menyinariku di pagi hari. Sedang aku adalah pengagum yang selalu menunggu di pinggir singasanamu. Maukah kau sedikit menoleh ke arahku?
(Aku ingin berkenalan denganmu. Dan janganlah bertanya-tanya karena aku akan datang setelah kau selesai membaca surat ini)
Wassalamualaikum wr.wb.
Saski melipat surat dengan wajah tegang. Setelah celingak-celinguk sebentar, aku benar-benar keluar dari persembunyianku. Kulihat pertama dia bengong. Aku menjulurkan tangan dengan sikap sopan, berusaha memberi kesan sebaik mungkin. Tapi tanpa kusangka-sangka dia malah berlari kabur. Ganti aku yang bengong, adakah yang salah dalam caraku ini?
*****
Dan Boni tertawa keras-keras lagi.
“Goblok lu! Masak lu nembak cewek begitu?”
“Harusnya?” Aku masih belum tau dimana letak kesalahanku.
“Ya banyak kesalahannya lah!” Boni stress oleh ketololanku. “Lu pernah dengar kata bijak begini gak, ‘Hati wanita ibarat tulang rusuk yang bengkok. Jika kau ingin meluruskannya maka patahlah tulang rusuk itu. Tapi kalau kau membiarkannya maka akan terus bengkoklah tulang rusuk itu. Jadi berbuat baiklah pada wanita.”
“Maksud lo apa sih?”
“Dodol….”
Aku masih belum mengerti kemana arah pembicaraan Boni.
Boni menjelaskan, “Kata lu Saski tuh anaknya pemalu? Hidupnya dipenuhi dengan fatwa-fatwa?”
Aku mengangguk dengan wajah pilon.
“Menghadapi gadis seperti itu harusnya lu pelan-pelan, dong. Slowly, Man…! Elu harus pandai-pandai mencari celahnya. Terus terang nih… cara lu tadi mungkin membuatnya kaget. Dan mungkin… dia merasa diperlakukan seperti gadis murahan.”
“Hah?!”
“Wajar kalau dia langsung kabur begitu ngelihat elu.”
Aku menjadi was-was. “Tapi gue nggak bermaksud begitu.”
“Tapi itu yang lu lakukan!”
“Trus gue mesti gimana dong, Bon? Apa gue harus ngapalin seluruh isi Al-Qur’an dulu baru macarin dia gitu?”
Boni menggeleng.
“Keburu ubanan gue, Bon.”
“Mmm….” Boni berpikir keras. “Begini saja. Berhubung dia tadi udah ngelihat lu. Dia udah ngelihat muka lu yang nggak jelas itu kan?”
Dengan sedikit kesal aku mengangguk. Boni tidak memberiku solusi, malah menjurus ke arah pelecehan.
“Sepertinya lu harus ngerubah taktik deh.”
“Maksudnya?”
“Lu harus meminta maaf langsung sama dia. Yang gentle, Man…! Jangan terlihat murahan. Dekati dia dengan sopan. Dan ingat, perlakukan dia dengan baik!”
Perlakuan baik macam apa yang dimaksud Boni sebenarnya aku sendiri masih bingung. Bagiku apa yang kulakukan tadi juga baik, tapi salah dimata Saski. Aku jadi bingung. Permulaan yang seharusnya berjalan mulus itu, kenapa jadi berantakan begini ya?
Ah, Saski…. dia seperti merpati yang terbang rendah dengan wajah malu-malunya. Anehnya aku justru tertarik dengan sifat pemalunya itu. Bagiku, itu menunjukan bahwa dia tidak gampangan. Tidak seperti gadis kebanyakan yang mengobral senyum dan janji. Gadis terbaik memang susah didapatkan. Dan ini adalah tantangan. Nggak apa-apa. Sepertinya aku harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan seorang Saski.
*****
Seperti saran Boni, keesokan harinya (dengan hati berdebar) aku menunggu Saski di samping kelasnya. Pagi-pagi sekali Saski datang diantar sopir pribadinya. Ini menguntungkan karena belum banyak anak sehingga aku akan leluasa menjelaskan duduk permasalahannya pada Saski. Mudah-mudahan gadis itu bisa memaklumi.
“Saski!” Kupanggil namanya dengan hati-hati, dengan sikap yang sangat sopan. “Assalamu’alaikum.”
Saski tergugu. Aku menghampirinya. Dan dia tidak berkata-kata. Pasti dia sudah menjawab salamku di dalam hati.
“Masih ingat kan? Saya yang kemaren, yang mengirimkan surat bersampul merah muda ke dalam tas kamu.”
Saski mendekap tasnya dengan wajah tegang.
“Maaf, saya tidak bermaksud kurang ajar Jangan tersinggung. Kemaren itu, mm…. saya hanya ingin berkenalan dengan kamu.”
Tidak ada reaksi.
“Mm, sebagai… teman. Ya, teman!”
Aku menyesali kalimat yang keluar dari mulutku. Ah, kenapa cuman sebagai teman, dodol…. Aku kan ingin menjadi pacarnya dia?
“Mau kan kamu berteman dengan saya?”
Setelah kupikir-pikir untuk permulaan sebagai teman tak apa-apa lah. Satu detik, dua detik, tiga detik tak ada jawaban. Saski mulai beranjak.
“Saski!” Kutarik tangannya karena Saski hendak melangkah.
Begitu mahalnya kah suara yang keluar dari mulutnya?
“Mau kan kamu berteman dengan saya?” Kupaksa bertanya dengan wajah tak tau malu.
Tak kusangka Saski mengangguk pelan. Slow motion! Bukan dengan kepalanya melainkan dengan sorot matanya. Saski tersenyum tipis. Dan aku sangat bahagia dibuatnya.
Saski melepaskan pegangan tanganku dengan wajah tersipu malu. Lalu gadis pemalu itu pun beranjak pergi. Pasti sebentar lagi dia wudhu karena tangannya sudah terjamah olehku.
*****
Sudah dua minggu-an aku pedekate sama Saski. Perjuangannya sangat alot, tapi akhirnya membuahkan hasil. Meskipun pertamanya tampak malu-malu, sekarang Saski mulai mau membuka diri padaku. Misalnya bercerita tentang keluarganya, tentang hobinya, impiannya dan lain sebagainya.
Ternyata dia itu gadis sholeha yang menyenangkan. Meskipun aku harus super hati-hati bicara sama dia, karena kalau salah sedikit saja dia bisa tersinggung. Dan aku tidak mau dia kabur untuk yang kedua kalinya.
Ucapan Saski sering dihiasi dengan kalimat-kalimat bijak, semacam siraman rohani yang membuat nyaliku menjadi ciut (seolah dia adalah calon penghuni surga sedang aku penghuni neraka). Mungkin itulah yang membuatnya terlihat aneh. Untuk gadis seusianya, banyak kamus ‘tidak boleh’ dalam dirinya. Atau kata ‘haram’ yang memang tidak akan dilakukannya. ‘Seorang gadis tidak boleh, begini… begini… begini….’ atau ‘Seorang gadis tidak baik begitu… begitu… begitu….’ Rupanya itu membentuknya menjadi pribadi yang berbeda, sehingga dia terlihat aneh di mata teman-teman. Tapi semakin mengenalnya semakin banyak yang ingin kutau tentang dia.
Perjanjian kami, jika dalam waktu satu bulan aku tidak bisa merebut hatinya, berarti aku tidak boleh mengganggunya lagi, untuk selamanya. Aku sempat berpikir, apakah dia menolakku secara halus? Gadis berkerudung selalu samar mengungkapkan isi hatinya. Ah, tapi aku tidak boleh putus asa! Aku harus optimis. Siapa tau dengan berjalannya waktu dia merubah penilaiannya atas diriku? Jadi aku harus memanfaatkan waktuku sebaik-baiknya.
Kami sengaja berangkat sekolah pagi-pagi sekali supaya ada waktu untuk berbagi cerita. Biasanya sih kami janjian di samping lapangan basket, dekat kantin sekolah yang belum buka, sambil menghirup udara segar, melihat kupu-kupu berkejaran di atas bunga-bunga mekar di pagi hari. Indah rasanya. Meskipun Saski belum resmi menjadi pacarku, aku merasa bahwa Saski mulai membuka peluang untuk itu.
Sikap Saski menjadi manja padaku (ini menurutku lho). Pandangan matanya mesra. Senyumnya malu-malu. Kadang dia merajuk saat aku memancing rasa cemburunya. Dan berhasil. Bukankah itu pertanda bahwa Saski mulai jatuh cinta padaku?
Hari ini dia curhat padaku, “Aku sedih, Zal. Teman-teman sering menganggapku aneh. Apa salahnya sih dengan darah Timur Tengah-ku? Meskipun aku lahir di Indonesia, tetap saja mereka membeda-bedakan aku. Memang nggak boleh ya orang keturunan Arab tinggal di Indonesia?”
“Nggak lah, Sas.” Aku berusaha menghiburnya. Sedih juga melihatnya begitu. Saski merasa kesepian di tengah hingar-bingar sekolah ini. “Kamu diterima baik kok di sini.”
“Tapi mereka sering melihatku dengan pandangan aneh, Zal.”
“Hanya perasaanmu.”
“Apa kamu juga menganggapku aneh, Zal?”
Aku menggeleng meskipun sedikit mengiyakan. Saski sedikit merajuk. “Kamu memang beda, Sas. Tapi kamu harus tau bahwa beda kamu itu beda yang menguntungkan.”
“Maksudmu. Zal?”
“Karena kamu adalah gadis tercantik di antara mereka.”
Saski tersipu malu. Ada rona merah di wajahnya.
“Hidung kamu mancung. Tatapan matamu tajam. Dan postur tubuhmu lebih tinggi dari gadis-gadis kebanyakan. Tentu saja kamu terlihat paling cantik di antara mereka?”
“Ah, Rizal….”
Mungkin yang dimaksud teman-teman dengan aneh itu bukan kondisi fisiknya, melainkan sikapnya yang memang lain daripada yang lain. Jujur… kebiasaannya aneh, cara berpikirnya aneh, sedikit rumit dan membingungkan untuk ukuranku yang berpikiran praktis. Dia banyak membuat kejutan. Tapi aku tidak mau menyinggung perasaan Saski karena aku menyukai gadis itu.
Di lain hari Saski minta pendapatku tentang sesuatu yang juga kuanggap aneh. “Gimana ya Zal kalau aku pakai cadar?”
“Hah?!” spontan aku kaget. Dia membuat kejutan lagi.
“Tuh kan, kamu juga kaget mendengarnya?”
Aku buru-buru meralat sikapku. “Nggak, nggak apa-apa kok.”
“Apa salahnya sih dengan gadis bercadar? Itu kan bagus, Zal. Kita tidak sembarang mengumbar aurat kita, jadi kita tidak banyak berbuat dosa?”
Aku garuk-garuk kepala. Penuturan Saski barusan membuat kepalaku menjadi pusing.
“Kenapa?”
“Aduh… jangan deh Sas. Mendingan jangan.”
Aku akan pacaran dengan gadis bercadar, apa kata dunia?
Saski cemberut “Kamu pikir aku ini jamaah islamiyah yang militan itu, segolongan itu?”
“Bukan…”
“Nggak semua gadis bercadar itu berpikiran kolot, Zal?”
“Iya aku tau….”
“Trus?”
“Maksudku….” Aku berpikir mencari kalimat yang tepat. “Soalnya begini Sas, mm… sayang kalau gadis secantik kamu memakai cadar. Ya kan, sayang Sas! Aku kan, jadi nggak bisa melihat senyum manismu lagi. Apalagi kamu cantik, hidung kamu bagus, bibir kamu bagus….”
“Ah, Rizal!”
“Dan kalau kamu memakai cadar, lenyaplah semua itu.”
“Justru itu, Zal. Itu akan menjauhkan kita dari dosa.” Saski berkata sambil tersipu malu.
Sumpah pocong, aku suka sekali melihat senyum manisnya itu! Dan sepertinya ini waktu yang tepat untuk mengajaknya kencan.
“Oya, Saski. Malam nanti kamu ada acara nggak?”
Malam ini adalah malam Minggu. Sepertinya malam nanti akan bertabur bintang karena pagi ini udaranya sangat cerah. Tentu akan menjadi malam yang sangat indah.
Saski menggeleng dan aku terlonjak.
“Boleh nggak nanti malam aku main ke rumahmu?”
Kali ini Saski yang terlihat kaget. “Buat apa?”
“Ya… hanya main aja. Kita ngobrol-ngobrol seperti sekarang.”
“Jangan Zal, jangan….” Wajah Saski berubah pucat.
Aku jadi tegang. “Memang kenapa? Kamu sudah punya cowok?”
Saski menggeleng. “Tidak baik seorang gadis dikunjungi seorang cowok, apalagi di malam hari. Bisa menimbulkan fitnah, Zal.”
Aku bengong.
“Karena di dalam hidupku tidak ada kamus pacaran. Aku tau akhir-akhir ini kamu pedekate sama aku, Zal. Thanks. Itu berarti kamu menganggapku istimewa. Dan gadis istimewa tidak boleh bersikap sembarangan, itu kan yang sering kamu bilang?”
Aku mencium bau-bau narsis.
Aku bengong.
“Kalau kamu benar-benar suka sama aku, sebaiknya kamu datang baik-baik mengetuk pintu rumahku. Tidak di malam hari seperti maling. Apa kamu siap menghadapi babeku?”
“Memang, babenya Saski galak?” nyaliku ciut juga.
“Abah nggak bakal ngijinin kita pacaran, Zal. Haram hukumnya!”
“Trus?!”
Aku mencium gelagat aneh. Inilah Saski. Teman-teman menjulukinya sebagai gadis aneh, sekarang aku sangat setuju. Aku juga tak heran jika cowok-cowok itu langsung kabur tiap dua-tiga bulan berkenalan dengannya. Jadi ini masalahnya? Dia berpikir bermil-mil jauhnya untuk masalah yang dua-tiga langkah penyelesainya.
Saski mengangguk pelan. “Kalau memang kita sudah jodoh, kenapa nggak? Rejeki, jodoh, mati, itu Allah yang mengatur, Zal. Aku nggak menolak kok kalau kamu memang jodohku.”
“Mak, maksud lo?” aku jadi gagap.
“Ya kita nikah lah, Zal. Kamu bilang ke Abah, kapan kamu siap nikahin aku.”
Gedubrak! Putri malu itu mengajakku kawin? Alamak! Apa kata dunia? Boni bisa tertawa terkencing-kencing mendengar cerita ini.
Aku, Rizal Abu Bakrie, cowok tertampan di SMU Pelangi Nusa Indah langsung terbirit-birit kabur oleh tantangan gadis berkerudung itu. Nggak lagi-lagi deh. Cukup sekali aku mengenal cewek tertutup seterbuka Saski. Oh!
*******
EstriShinta Senin, Juni 21, 2010
Read more ...