Tayangan :


Di suatu sore yang agak mendung, saya dikejutkan oleh kedatangan istri dari teman saya. Istri teman saya itu sangat bersedih. Bibirnya bergetar menceritakan perselingkuhan suaminya. Saya shock dibuatnya.

Bagaimana mungkin?

Rumah tangga mereka terlihat harmonis dan bahagia. Wanita ini juga, tampak sempurna di mata saya
.
Wajahnya cantik, ayu iya – manis juga iya. Pembawaannya keibuan. Dia pintar memasak, sayang anak dan keluarga. Jilbab yang selalu dikenakannya menunjukan bahwa dia istri yang taat pada agama dan suami. Tidak neko-neko, tidak macam-macam. Apa yang kurang dari wanita ini?
Beberapa hari yang lalu malah, si suami menunjukan selembar foto usang kepada saya. Foto yang diambil saat mereka masih pacaran.

“Cantik kan?” katanya sambil membusungkan dada. Saat itu saya tidak menyadari apa yang menjadi motivasi teman saya menunjukan foto itu, ternyata untuk menutupi perselingkuhannya.

Saya mengangguk. Persis Desi Ratnasari. Saya ikut senang ketika teman saya membanggakan foto istrinya.

Saya pikir hubungan mereka baik-baik saja. Mana mungkin teman saya itu punya WIL?

“Sejak kenal dengan ‘N’, sifat Mas ‘I’ banyak berubah,” gumam wanita di depan saya sambil sesengukan. “Dia jarang pulang, galak sekali terhadap anak-anak. Dia sudah tak mencintai saya lagi. Dulu dia pernah meminta ijin untuk menikah siri, tapi tidak saya kasih. Katanya ini salah saya. Kemaren malah, dia membanting piring hanya karena menu yang saya hidangkan tidak sesuai dengan selera makan dia. Dia meminta bebek goreng, sementara saya menghidangkan ayam goreng. Apapun yang saya lakukan selalu salah di matanya. Katanya dia sekarang sudah menemukan wanita yang cocok, wanita yang mengerti akan dirinya. Mereka kini sudah menikah siri.”

Wanita itu menyusut air matanya dengan ujung kerudungnya. Saya kasihan melihatnya.

“Mungkin ini salah saya juga,” lanjutnya kemudian dengan penyesalan yang teramat sangat. “Coba saya dulu mengijinkannya kawin. Pasti Mas ‘I’ tidak semarah ini. Dia jarang pulang, kesal melihat saya katanya. Kasihan anak-anak… saya jadi berdosa. Atau, mungkin juga karena saya kurang merawat diri? Seharusnya saya menjaga baik-baik rumah tangga saya, supaya dia tidak bosan terhadap saya. Mungkin benar, saya sudah tak secantik dan semenarik dulu lagi, sehingga dia mencari wanita lain. Saya yang salah….”

Bla-bla-bla-bla….


Membuat saya terte
gun. Lah, kok jadi dia yang disalahkan? Dan, kok ya mau-maunya dia disalahkan. Bukankah dia yang menjadi korban?

Pasti dia sudah dicuci otak oleh suaminya.


Kebanyakan memang, wanita selalu disalahkan atas segala sesuatu yang tak beres di dalam keluarganya. Misal, anak bandel
istri yang disalahkan. Rumah berantakan, istri yang disalahkan. Belanja bulanan kurang, istri lagi yang disalahkan. Cape’ deh…

Bukankah hakekat rumah tangga
adalah ‘saling’? Saling berbagi, saling mencintai, saling melengkapi? Jika ada sesuatu yang kurang pas, ya diperbaiki dong. Jangan main tinggal seenak udelnya begitu. Menurut saya sih – dalam kasus ini, dasar suaminya saja yang ganjen, yang gatel. Mengurus satu istri saja nggak becus, malah bertingkah. Istri pula yang dijadikan kambing hitam.

Saya tidak tau m
engenai kelanjutan rumah tangga mereka. Sudah 2 tahunan saya putus kontak dengan mereka - teman saya itu marah besar mengetahui saya ikut campur dalam urusan rumah-tangganya. Bodo! Saya dengar dari beberapa teman sih, akhirnya si istri bersedia dimadu (mungkin dengan berbagai pertimbangan, dengan tanggungan dua orang anak tanpa pekerjaan, apa yang bisa diharapkan?). Itu hak dia sih. Masing-masing orang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri-sendiri.

Tapi dari pengalaman di atas, ada satu hikmah yang bisa saya ambil dan ingin saya bagi ke
teman-teman.

Kawan, wanita bukanlah
obyek. Kita bukan bebek goreng. Kita tidak bisa merubah diri kita menjadi menu-menu lain setiap harinya untuk memuaskan keinginan para suami. Jadilah diri kita sendiri. Suami yang baik adalah suami yang bisa menerima kita apa-adanya.
Salam bebek goreng.
EstriShinta Senin, Mei 17, 2010
Read more ...