Tayangan :

Saya sempat membacanya sekitar tiga tahun yang lalu. Sebuah novel yang dituturkan demikian bijak dalam bahasa sederhana oleh Bapak Umar Kayam. Terpesona saya. Seolah, saya terbawa ke desa 'Wanagalih' (nama desa dalam novel tersebut). Saya bayangkan juga betapa besarnya pohon nangka yang berdiri kokoh di depan rumah Soedarsono, yang akhirnya tumbang beberapa hari sebelum Soedarsono meninggal. Ceritanya yang 'njawani' itu....
Saya sampai merinding membacanya. Sedikitpun saya tak bisa menebak alur ceritanya, tak terduga dan kadang-kadang mengagetkan. Sehingga saya bertekad, suatu hari saya harus 'mengulas' tentang novel yang menurut saya sangat luar biasa ini.

Inilah sinopsisnya :

Berasal dari keluarga buruh tani, Soedarsono oleh orang tua dan sanak saudaranya diharapkan dapat menjadi "sang pemula" untuk membangun dinasti keluarga priyayi kecil. Berkat dorongan Asisten Wedono Ndoro Seten, ia bisa sekolah dan kemudian menjadi guru desa. Dari sinilah ia memasuki dunia elite birokrasi sebagai priyayi pangreh praja. Ketiga anaknya, melewati zaman Belanda dan zaman Jepang, tumbuh sebagai guru, opsir Peta dan istri asisten wedana. Cita-cita keluarganya berhasil. Benarkah ? Lalu apakah sesungguhnya "priyayi" itu? Status kelas? Pandangan dunia kela menengah elite birokrasi? Sekedar gaya hidup? Atau kesemuanya? Cucu-cucu Soedarsono sendiri kemudian hidup sebagai anak zaman mereka: menjadi anak kelas menengah birokrat yang manja, idealis kiri yang terlibat gestapu dan entah apa lagi. Justru Lantip -anak jadah dari keponakan jauh Soedarsono- yang tampil sebagai hero. Dialah dengan caranya sendiri, menunjukkan makna "priyayi" dan "kepriyayian" itu.

Dari pemahaman saya yang awam ini, banyak sekali 'petuah-petuah' yang saya dapatkan setelah membaca novel ini. Saya mengamini setiap kata yang dituliskan oleh Bapak Umar Kayam, karena... ternyata saya banyak melihat 'priyayi-priyayi' model Soedarsono di kehidupan nyata saya. Priyayi jaman sekarang : 'Priyayi' yang bukan priyayi, karena dia hanya mengaku-ngaku. 'Priyayi' yang karena keturunan, karena bisa jadi mbah-nya atau kerabatnya dulu adalah orang kaya dan terhormat. 'Priyayi' yang ingin diakui sebagai priyayi, karena dia setengah mati menggembleng anak-keturunannya supaya masuk ke 'kelas' priyayi... dengan banyak cara 'nyaru' sebagai priyayi, masuk ke lingkungan priyayi, berkata seperti priyayi, makan dan minum seperti priyayi, berlagak seperti priyayi, bahkan cara tidurpun meniru-niru supaya mirip priyayi.

Ini fakta, lho....

Bahkan mereka menciptakan kerajaan kecil supaya lingkungannya mengakuinya sebagai priyayi.

Tapi saya lega.... akhirnya Bapak Umar Kayam justru menempatkan Lantip - anak haram dari keluarga miskin, tidak terhormat - itulah yang justru dijadikan priyayi yang sesungguhnya. Ternyata - berdasarkan pemahaman saya, seorang priyayi bukanlah dilihat dari pangkat, harta, kehormatan atau keturunan, melainkan dari sikap dan perjuangan hidupnya. Siapapun bisa jadi priyayi, asal... dia haruslah bijak, cerdas, rendah hati dan bersedia mengabdikan hidupnya buat orang banyak. Bukan priyayi kalau hidupnya tidak bermanfaat buat orang banyak. Bukan priyayi kalau tidak bisa 'ngemong' para bawahannya. Bukan priyayi kalau tidak bisa memotivasi dan memimpin orang-orang disekelilingnya.

Terlepas dari konteks priyayi itu sendiri, saya merekomendasikan buku ini menjadi buku yang wajib dibaca. Membuat kita bisa memaknai 'hidup' dari cara pandang yang sangat berbeda. Saya jamin, anda akan lebih bijak setelah membacanya.

EstriShinta Kamis, Januari 14, 2010
Read more ...