Tayangan :


Gambar istockphoto : Kunto Bimo

 

Bella

 Aku pernah berharap tak bertemu dengannya - untuk selamanya. Bahkan pernah mengutuknya supaya dia tertabrak truk dan mati. Lalu selesai. Supaya dia tak mengusik hidupku lagi. Bahkan di alam mimpi sekalipun.

Tapi Malik berkata lain. Bahwa do’a yang buruk tak mungkin dikabulkan Tuhan. Bahkan akan terjadi sebaliknya. Bisa kumengerti karena biasanya orang jahat memang susah matinya.

Dan itulah kini.

Bocah itu memang bukan Wie. Tapi duplikatnya. Mengendap-endap di baik lorong kelas. Sementara pengawalnya – si abang becak yang beberapa hari yang lalu didamprat Wie karena teledor membawanya pulang, celingak-celinguk di balik pagar. Tidak salah, dia anaknya Wie!

Sekolah di sini dia rupanya, TK Bintang Bintang. Kebetulan aku punya agenda kegiatan di sini – forum antar Guru TK se-kota Malang untuk menyamakan visi dan misi, khususnya membahas pendidikan anak berkarakter untuk menciptakan generasi berakhlak mulia. Beberapa kesibukan mengharuskanku pulang paling akhir.

Sekolah sudah sepi.

Tapi sedang apa dia?

“Sstt!!” bibirnya monyong menyuruhku diam.

Membuatku bengong. Bibir itu milik Wie meski matanya punya Dona. Kloningan dua orang yang sempat kubenci dalam wujud malaikat yang menggemaskan. Aku tak bisa membenci malaikat.

“Jangan bilang-bilang ya!” dia mengancamku dengan kelopak matanya yang melebar.

Membuatku tercengang sekaligus geli.

“Mau ngumpet?”

Dia mengangguk lucu.

“Siniii…” Kusuruh dia masuk ke ruang guru.

Bocah itu berlari seperti kelinci kecil yang lincah. Kulit putihnya memerah. Perawakan Wie di masa muda – sedikit kurus tapi gesit. Sesekali matanya melongok ke arah pagar.

“Bu Guru..?!” Si abang becak berteriak dari luar pagar. “Masih ada murid di kelas tidak Bu?” teriaknya.

Membuatku kaget. Rupanya tinggi kepalaku terlihat dari jendela kaca. Kutenangkan diriku sebentar, pura-pura melongok ke kiri dan ke kanan. Mencari-cari di kelas sebelah. “Tidak ada, Pak,” jawabku balas berteriak, pura-pura tak menemukan seorang murid pun di luar kantor.

Di dalam kantor gadis kecil ini cekikikan. Mungkin baru ditemuinya seorang ibu guru berbohong demi dia. Kereeen, mungkin begitu pikirnya. Dan si abang becak berlalu sambil menggerutu.

“Kenapa ngumpet?” tanyaku setelah yakin keadaan benar-benar aman.

Bibir bocah itu monyong-monyong lagi, tak segera menjawab.

“Hayoo, bandel ya….”

“Habis Bella sebeeel!!” Suara nyaring, sedemikian nyaring.

“Ssstt!” Aku jadi geli. “Kan kasihan, Pak… siapa nama abang becaknya?”

“Pak Min?” menjawab masih dengan suara nyaring.

“Ya… Pak Min. Nanti kalau dimarahin Mama bagaimana?”

Bella mencibir. “Oma?!”

Dia lebih dekat ke Oma-nya rupanya. “Ya, Oma....” Kuanggukan kepalaku.

“Bialin.”

“Kok, biarin?”

“Habis Bella sebel. Pak Min bauuu….”

Sontak tawaku lepas. Gadis kecil yang nakal. Aku yakin itu hanya alibinya saja. Alasan yang tak masuk akal dan dibuat-buat. Mungkin bagi anak seusianya menjadi ide yang brilliant. Untuk besoknya dia akan bercerita dengan bangga kepada teman-temannya bahwa dia berhasil kabur dari si abang becak yang bau itu.

Entah sudah berapa kali dia melakukan kenakalan ini. Sehari-hari aku bergelut dengan bocah kecil, tapi tak ada yang kabur-kaburan seperti ini. Biasanya anak-anak akan berulah jika ada yang membuatnya kesal atau sengaja mencari perhatian. Dan mereka tak mungkin mengaku salah, atau bandel. Aku tak bisa menyalahkannya.

Aku ingat. Beberapa hari yang lalu ada salah satu muridku yang mengompol di dalam kelas. Ketika ditanya bukan jawaban jujur yang kuterima. Dia bilang bahwa itu bukan ompol,  melainkan air hujan yang jatuh dari genteng bocor, sementara sepanjang hari terang-benderang. Memang seperti itulah mereka. Kecil-kecil punya gengsi. Jadi, jangan sekali-kali sentuh area gengsinya itu.

“Bella, mau Bu Guru antar pulang?” Aku ingat, namanya Bella, dia menyebutnya tadi.

Meski tindakannya tak bisa dibenarkan, terlintas kasus penculikan anak akhir-akhir ini, membuatku bergidik.

“Nggak mau, ah.” Bella memainkan gantungan kunci keropi di tasku.

“Bu Guru kan wangi? Tidak bau seperti Pak Min?”

Bella berpikir sebentar.

“Oke deh. Bagaimana kalau boneka keropi ini Bu Guru hadiahkan buat Bella?”

Menimbang-nimbang.

“Tapi Bu Guru antar pulang?!”

Gantungan kunci keropi kulepas dari tasku dan kumain-mainkan di depannya.

Matanya melebar, lalu mengangguk senang.

“Tapi janji ya, lain kali Bella tidak boleh ngumpet-ngumpet lagi? Kan kasihan Pak Min, nanti diomelin Oma lho.”

Bella mengangguk patuh.

Sebenarnya anak ini penurut. Jauh berbeda ketika ngambek dengan papanya beberapa hari yang lalu. Papa? Masih sulit menerima kenyataan Wie sekarang seorang Papa.

Dulu aku pernah berandai-andai, Wie akan menjadi ayah yang baik, sangat penyayang dan sabar terhadap anak kecil. Demikian juga anaknya. Anak itu akan menjadi anak yang manis dan cerdas. Waktu itu aku berharap anak itu adalah anakku. Tidak kabur-kaburan begini. Setauku, anak yang berulah adalah anak yang bermasalah.

 

 

*****

 

 

Pertemuan dengan Nyonya Liem

 

Jl. Beringin No. 05

Rumah Wie

 

Rumah yang sama. Ornamennya, catnya, pagarnya. Tak ada yang berubah. Bedanya, dulu pohon penitian itu selalu terpangkas rapi, tak terlihat juluran batangnya sedikitpun. Batang yang makin mengeras oleh usia. Sekarang sudah kehilangan bentuknya. Juga tanaman-tanaman di pot yang tak berbunga lagi.

Dulu, di teras rumah ini aku sering menghabiskan waktu dengan alasan tugas kelompok. Sekongkol dengan Dona, jika Mamaku menelepon Dona akan mengatakan aku belajar di rumahnya. Siapa sangka, justru Donalah yang menjadi menantu sesungguhnya di rumah ini.

Dadaku sesak menyadarinya.

Di sepanjang perjalanan aku terus memutar otak. Penjelasan macam apa yang akan kuberikan pada mereka nanti? Bagaimana kalau Dona berpikiran lain? Putri kecilnya diantar oleh mantan pacar suaminya - kini, yang juga mantan sahabatnya - dulu. Meskipun dia telah merebut tempatku, sekarang dia pemilik sah tempat ini.

“Omaaa….” Bella bergegas turun dari boncenganku, berlari masuk ke rumah.

“… Bella?!” Calon mama mertuaku – dulu, memeluk erat Bella. Terlihat dari pintu yang terbuka lebar. Tubuhnya jelas menyusut. Gerakannya tak segesit dulu. Gurat kekhawatiran terlihat jelas dari wajahnya yang semakin senja. “Bella pulang sama siapa? Kasihan kan Pak Parmin. Bella tidak mampir ke bengkel lagi kan?”

Keributan kecil itu membuat ciut nyaliku. Sopankah bila aku tak mampir? Mumpung Nyonya Liem – mamanya Wie belum melihatku.

“Bella pulang sama Bu Guru, dong!”

Telat.

Nyonya Liem tergopoh-gopoh keluar rumah. Kaca helmku menghalangi pandangannya, dia tak mengenaliku.

“Aduuuh, maaf ya Bu Guru. Lain kali kalau Bella ketinggalan di sekolah, telepon saja. Biar Pak Parmin balik lagi ke sekolah. Jadi merepotkan Bu Guru. Ayo, Bu Guru masuk dulu yuk!”

Harus dengan sebutan apa aku memanggilnya?

“Tidak merepotkan kok Mah.” Butuh keberanian ekstra untuk membuka helmku.

Nyonya Liem terpana.  Setelah kubuka helmku, “Cahya?!”

Aku tak tau apakah Nyonya Liem senang atau kecewa, atau bahkan marah atas pertemuan ini. Aku belum meminta maaf padanya atas kekurangajaranku bertahun-tahun silam. Mempermalukannya di depan keluarga besarnya. Dia berhak marah. Satu-satunya orang yang paling kecewa atas kejadian itu – aku yakin, adalah beliau.

“Benar itu kamu, Cahya?” Matanya tuanya berkabut. Tak kutemukan kebencian di sana.

Aku mengangguk pelan. Untuk selanjutnya turun dari motor dan menghambur ke pelukannya. “Maafkan Cahya, Mah….” Aku pernah menyakiti hatinya.

“Sudah… sudah,” Nyonya Liem menepuk-nepuk lembut bahuku. “Semua sudah ada ming yun–nya sendiri-sendiri.”

Aku tak paham apa yang dimaksud dengan ming yun.

“Bagaimana keadaanmu? Sehat? Berapa anakmu sekarang?”

Aku tersenyum getir. Dari dulu, sifat keibuan Nyonya Liem membuatku segan.

“Cahya belum punya anak Mah. Baru bulan depan Cahya akan disunting orang.”

“Ooh,” tangannya menggenggam hangat tanganku. “Syukurlah. Akhirnya kamu menemukan jodohmu yang tepat.”

“Omaaa,” Bella berteriak dari dalam rumah. “Baju keropi Bella manaaa?”

“Cari di lemari, sanaaa,” Nyonya Liem balas berteriak. Lalu kembali menatapku dengan wajah senang. “Kamu… jadi Bu Gurunya Bella, sekarang?”

“Bukan Mah. Cahya ngajar di sekolah lain. Sekolah TK juga, tapi bukan di TK Bintang Bintang. Kebetulan, tadi Cahya ada pertemuan di sekolah Bella.”

“Ohh, syukurlah. Akhirnya cita-citamu tercapai. Kamu pati menjadi guru yang hebat. Ehh, kamu tau Bella anaknya Wie?” Nyonya Liem menyelidik.

Mati kutu.

Aku tak mau Nyonya Liem berpikiran macam-macam. “Awalnya saya tidak tau Mah. Tadi melihat Bella sendirian di sekolah, takutnya diculik atau dijahatin orang. Saya inisiatif mengantarnya pulang. Ya… daripada nanti terjadi yang tidak-tidak?”

Nyonya Liem mengangguk-angguk.

“Saya baru ngeh setelah sampai di rumah ini, Mah. Ternyata Bella anaknya Wie?” aku balik bertanya. Kebohongan terencana.

Ming yun. Ini namanya sudah takdir. Kalau tidak, kamu pasti tidak ke sini lagi, iya kan? Mama kangen sama kamu. Ayo, masuk! Ayooo….” Nyonya Liem menarik tanganku.

“Nggak usah Mah. Nggak enak sama Dona.”

“Dona?!” suara Nyonya Liem tiba-tiba meninggi. “Haiyaaa, tidak usah kau sebut-sebut lagi nama itu!”

Biasanya, logat ‘haiya’nya keluar kalau lagi marah atau kaget. Membuatku bengong.

“Menantu seperti dia, tidak pantas tinggal di rumah ini.”

“Maksudnya, Mah?”

Seperti mengeluarkan tumor ganas yang sudah bertahun-tahun menggerogoti rongga dada – hal seperti ini pernah kualami. Kami duduk di ruang tamu. Tanpa kuminta, Nyonya Liem menceritakan keganjilan rumah tangga Wie dan Dona dari A sampai Z. Bahwa rumah tangga mereka seperti sinetron kejar tayang yang sudah habis masa kontraknya. Tanpa episode kelanjutan. Tamat tanpa ending yang menyenangkan. Bukan keinginanku mengetahui semua itu. Tapi, siapa yang tega memotong kisah pilu seorang Oma yang mengkhawatirkan masa depan cucunya? Kelak aku menjadi seorang ibu dan juga seorang nenek.

Seperti yang diceritakan Nyonya Liem. Dona, ternyata tetaplah seorang Dona. Mantan sahabatku yang mempunyai cita-cita besar, menjadi artis terkenal dan bersinar. Duduk di rumah menunggu suami pulang atau mengurus anak, itu bukanlah kehidupannya. Aku tau persis itu. Akan jauh berbeda dengan Nyonya Liem yang keibuan. Padahal harapan keluarga ini sederhana saja, mendapatkan menantu yang tak macam-macam, pandai mengurus rumah, merawat suami dan anak.

Ternyata Dona memang tidak bertahan lama. Dua tahun usia Bella, Dona meninggalkan rumah tanpa pesan sedikitpun. Terakhir mereka mendengar kabar, Dona kembali ke Singapura. Bersanding dengan produsernya yang kaya-raya. Wie hampir gila mengurus segala sesuatunya, sampai hak asuh Bella kembali ke tangannya.

“Mereka saling benci. Mama yakin, sebenarnya mereka tak pernah saling cinta. Wie, masih mencintai kamu, Cahya….”

Kekecewaan orang tua yang berkelanjutan, bisa saja membuatnya tidak rasional. Mana mungkin Wie mencintaiku kalau dia menikahi gadis lain? Aku terdiam, tak tau harus berbuat apa.

“Sebelum Papa meninggal….”

Jantungku rasanya berhenti. Jadi Om Liem – papa Wie sudah almarhum?

“Dalam keadaan sakit parah Papa pernah berandai-andai. Andai saja waktu itu, saat kamu melarikan diri, Papa berkesempatan mengejar dan mengembalikanmu ke altar….”

Mataku tiba-tiba memanas.

“… kalian pasti menjadi suami-istri yang berbahagia.”

Nyonya Liem terisak di depanku.

“Dan aku tak perlu mengkhawatirkan masa depan Bella. Bagaimana nasib bocah tak berdosa itu jika Mama meninggal?”

“Sudah Mah, sudah….”

Bella muncul dengan kaos keropi plus gantungan kunci pemberianku – tergantung asal di saku celana putihnya. Dengan wajah cerianya, “Oma, lihat! Bella punya boneka keropi baru dong!”

Nyonya Liem buru-buru menghapus air matanya. Reaksiku sama. Berharap bocah kecil bersuara nyaring ini tak menangkap kesedihan kami.

 

 

*****

 

 

ILUSI

 

Semua manusia pasti pernah mimpi. Meskipun tak semua mimpi menjadi nyata. Biarkan saja. Kita bisa mengolahnya – mengolah rasa, masuk ke dalam ilusi supaya kita bertahan dan bahagia. Juga terus berharap supaya mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan pada suatu hari nanti. Mungkin dengan begitu, hidup kita sedikit lebih bahagia. Bukankah sedih atau bahagia itu pilihan? Mau hidup seperti apa kita, kita jualah yang menentukan.

Berbekal ilusi yang berlebihan, sampai jauh malam Cahya tak bisa tidur. Rasanya aneh.

Setelah pertemuannya dengan Nyonya Liem siang tadi, sepertinya penilaiannya berubah drastis. Ada banyak rasa meracuni hatinya. Campur-aduk. Sedih, gembira, senang, lega, kalut bahkan takut. Banyak rasa yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehnya.

Perasaannya terhadap Malik juga semakin membingungkan. Padahal tak ada yang berubah pada diri Malik. Seperti sore tadi, Malik yang sudah menunggunya di rumah selama berjam-jam, masih saja menyambutnya dengan senyum mesra. Tak ada gurat curiga ketika Cahya mengatakan ada meeting tambahan di TK Bintang Bintang. Malik selalu penuh cinta dan percaya. Tak perlu penjelasan.

Sementara Cahya di sore itu mendapati rasa yang asing. Tidak menggebu-gebu lagi. Padahal Malik adalah calon suaminya. Sebulan lagi mereka akan terikat kontrak seumur hidup.

Inilah yang membuatnya resah. Ya, resah. Mungkin rasa inilah yang tepat untuk menggambarkan perasaannya malam ini. Cahya teramat resah. Kenapa Malik – calon suaminya menjadi rasa yang hambar baginya. Sementara Wie – keruwetan hidup Wie tepatnya, berputar-putar terus di otaknya. Terus menantangnya.

Andai saja….

Coba dia dulu tidak kabur dari pernikahannya dengan Wie. Pasti banyak yang terselamatkan. Donna takkan menikah dengan Wie sehingga mereka tak perlu bercerai. Bella tak perlu kehilangan kasih sayang mamanya. Atau mungkin, Bella takkan ada di dunia ini? Atau malah, bisa jadi Bella akan hadir sebagai anaknya? Nyonya Liem tak perlu bersedih hati. Atau Om Liem – papanya Wie, mungkin saja masih hidup karena tak perlu memikirkan kehidupan rumah tangga anak sulungnya yang amburadul.

Andai saja….

Coba dia dulu tidak kabur dari pernikahannya dengan Wie. Mungkin dengan berjalannya waktu, dan jika dijelaskan secara baik-baik, orang tua Cahya akan menerima pernikahan mereka. Sehingga Cahya dan Wie akan menjadi pasangan yang paling berbahagia di dunia. Seperti yang Om Liem harapkan.

Lalu bagaimana dengan Malik? Mungkin Cahya tak akan bertemu dengan Malik. Malik akan berjodoh dengan wanita lain. Wanita yang lebih baik, lebih sempurna dan lebih mencintainya.

Sampai di situ Cahya terhenyak. Ilusinya terlalu jauh mengembara. Apakah dirinya tidak mencintai Malik? Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dan mengusiknya. Lalu hubungan apa yang dijalaninya selama tiga tahun ini?

Cahya menjadi bingung. Jika sebelumnya pikiran-pikiran gila ini tak pernah terlintas di benaknya. Dia cukup nyaman dan tenang menjalani hidupnya dengan Malik. Sampai satu nama muncul – Wie, selalu mengacaukan hidupnya.

Imbas dari semua kejadian ini, jiwa kecil dari seorang bocah yang tak berdosa yang harus menanggungnya. Bella! Bocah itu tak seharusnya kehilangan kasih sayang seorang Mama di usia sekecil itu. Sebaik apapun Omanya melengkapi, tak akan bisa menggantikan peran seorang Mama.

Untuk Bella, mungkin kesalahan itu masih bisa ditebusnya.

 

 

*****

 

 

Si Bocah Nakal

 

Jam 10.00 persis. Jika biasanya Cahya sedikit santai merapikan ruang kelasnya, untuk kemudian pergi ke ruang guru, menyempatkan ngobrol dan bercerita kejadian-kejadian lucu kepada sesama guru, lalu merapikan kreasi para muridnya. Biasanya jam sebelas-an dia baru absen. Pagi ini dia bergegas pulang. Ada sesuatu yang mengusiknya.

Sepeda motornya telah melewati rute seperti biasa. Seharusnya di perempatan alun-alun dia belok ke kanan, tapi motor Cahya berjalan lurus. Menuju TK Bintang Bintang.

Jangan-jangan Bella ngambek lagi? Persis insting seorang ibu yang mengkhawatirkan anaknya. Sementara sekolah sudah sepi. Begitu motor Cahya berhenti di seberang pagar, Bella langsung menghambur kepadanya.

Lisa – seorang guru muda, alumni IKIP juga – dua angkatan di bawahnya menyusul kemudian.

“Tuuuh, Bella enggak bohooong…. Bu Guru Cahya menjemput Bella….”

Tiba-tiba dada Cahya sesak. Hampir dia menangis di depan yuniornya. Instingnya benar. Bella menunggunya lagi. Padahal dia tak pernah menjanjikan itu. Apa jadinya kalau dia tidak menjemput?

“Oh, Mba Cahya? Maaf, tadi saya sudah marah-marah sama Bella. Saya tidak tau kalau kalian sudah janjian.”

Cahya mengangguk maklum. “Bukan salahmu, Lis. Seharusnya saya nelpon kamu. Tapi ya, … maklumlah. Dari pagi sampai jam pulang saya kejar-kejaran terus sama anak-anak. Sampai lupa nelpon. Katanya Bella nunggu saya ya?”

Lisa mengangguk kecil.

Bella tersenyum menang. Hidungnya mekar.

“Mba Cahya tetangganya atau….” Lisa bertanya lebih lanjut.

“Kebetulan rumah kami searah. Saya kenal baik dengan Oma-nya.”

“Ooh.” Lisa berganti menasehati Bella. “Bella, lain kali kalau janjian sama Bu Guru Cahya bilang Pak Parmin ya. Supaya Pak Parmin nggak usah jemput.”

Bella mengangguk patuh.

Lalu bicara kepada Cahya. “Tadinya saya nggak kepikiran kalau yang dimaksud Bella adalah Mba Cahya. Saya pikir malah, dia sedang berfantasi. Soalnya sering sekali Mba, Bella cerita-cerita nggak jelas gitu,” Lisa berbisik geli. “Yang bilang Pak Parmin monster-lah, penculik-lah, penyihir….”

Mereka tertawa bersama. Bella mendekat, memancing rasa ingin taunya. Cahya menyuruhnya memakai helm supaya Bella tidak menguping.

“Ya maklumlah Lis, namanya juga anak-anak.”

“Iya Mba. Saya malah, suka kasihan. Dari kecil dia sudah ditinggal mamanya. Meskipun Oma-nya sangat sayang sama dia, tapi kan tetap saja beda. Mungkin itu yang membuatnya menjadi anak yang agak susah. Iya kan Mba?”

Jadi seisi kota ini sudah tau bahwa Wie dan Dona berpisah?

“Apalagi papanya yang super galak itu. Ihh,” Lisa bergidik ngeri. “Saya tidak mau ketemu dia lagi. Pernah Mba, dulu dia melabrak seisi kantor. Bahkan Bu Mul….” Bu Mul adalah kepala sekolah di TK Bintang Bintang. “Bu Mul didamprat habis-habisan.”

“Oya?” Mata Cahya membulat tak percaya.

“Kasusnya sama Mba, ya seperti ini. Bella tiba-tiba hilang dari sekolah. Bahkan Koh Wie – papanya Bella berniat melaporkan kami semua ke kantor polisi. Kami dituduh sebagai guru yang teledor. Nggak taunya Mba, ternyata Bella ngumpet di dalam lemari kelas. Untung belum kekunci. Rupanya dia keluar karena tak tahan lapar.”

Membuat Cahya tertawa meskipun Lisa bercerita dengan nada sewot.

“Akhirnya, Omanya yang meminta maaf. Mana mau papanya yang kasar itu meminta maaf?”

Cahya tersenyum kecut. Mereka jadi ngobrol ngalor-ngidul. Seingatnya, Wie bukan laki-laki kasar. Terlebih kepada perempuan. Tapi pertemuannya dengan Wie beberapa hari yang lalu – memang Wie, mungkin telah banyak berubah.

“Ya sudah Lis.” Cahya mendudukan Bella di depan. Bella melonjak girang. Segera dipakainya helmnya. “Saya duluan ya.”

Lisa melambaikan tangannya. “Hati-hati ya Mba. Daaa Bella….”

Cahya berniat mengajak Bella jalan-jalan. Mau kemana dia sendiri belum tau. Tapi mengingat cerita Lisa tadi, sepertinya dia harus berpikir dua kali untuk mengajak bocah ini berlama-lama. Dia akan meminta ijin kepada Nyonya Liem supaya aman.

 

 

*****

 

 

Kalau berkunjung ke kota Malang dan membawa anak kecil, mampirlah ke sini, alun-alun kota Batu – Malang. Letaknya 15 km di sebelah barat kota Malang, berada di jalur Malang-Kediri dan Malang-Jombang. Persis di pusat kota, alun-alunnya selalu ramai. Kebun mawarnya berwarna-warni. Juga air mancur dan lampion aneka bentuk buah dan binatang yang akan menyala di malam hari. Pusat hiburan yang murah dan meriah bagi warga sekitar.

Tak kepalang girangnya bocah ini. Mungkin ini adalah rekreasi pertamanya. Celotehnya panjang, sambung-menyambung. Dia seperti kutu loncat. Sebentar di sini, sebentar di sana, sebentar di lain tempat.

“Bu Guru, Bella mau naik itu!”

Kincir angin lagi? Sudah 3 kali. Permainan favorit Wie. Persis Wie.

“Sudah ya, Sayang. Sudah sore.”

Sudah jam tiga sore. Nyonya Liem memberi ijin, tapi jangan sampai malam pesannya. Meski Wie menutup bengkelnya sampai jam sembilan malam, biasanya sehabis Magrib dia akan pulang sebentar untuk makan. Untuk kemudian balik lagi ke bengkelnya. Cahya dan Nyonya Liem sudah sepakat. Tapi mereka tidak tau, apakah Wie setuju atau tidak dengan rencana mereka.

“Nggak mau. Bella mau naik lagi, sama Bu Guru!” Bella teriak.

“Oke, oke…,” Cahya berpikir sebentar. “Tapi janji, setelah ini kita pulang. Kan waktunya mandi? Bu Guru nggak mau ah, nanti bau, seperti Pak Parmin.”

Bella tak menjawab, melainkan menarik tangan Cahya. Persis seperti yang sering dilakukan papanya dulu.

 

 

*****

 

 

Sesampainya di rumah, sambutan Nyonya Liem berlebihan. Memakai baju cheongsam warna pastel, baju yang seharusnya dipakai untuk acara-acara resmi, Nyonya Liem terlihat lebih segar. Rambutnya digelung rapi dan senyumnya bertebaran. Langsung mengajak Cahya masuk ke kamar Bella. Mungkin karena kecapekan, di sepanjang perjalanan pulang Bella tertidur. Cahya menyangga badan Bella dengan sebelah tanggannya. Baru terasa pegal sekarang.

Dengan antusias Nyonya Liem mengajaknya ke ruang makan. Konon, dalam tradisi Tionghoa, seseorang yang dipersilahkan ke ruang makan hanyalah kerabat dekat atau tamu terhormat.

Di meja makan sudah terhidang berbagai olahan. Ada Fuyunghai, Capcay, Sup Suun, Fungchaw dan Ayam bumbu Ngohiong – ayam berbumbu campuran antara adas, cengkeh, kayu manis dan merica. Cahya ingat, untuk ayam bumbu ngohiong, dia dulu pernah memasaknya bersama Nyonya Liem, memakai bumbu jadi tentunya. Di sana, telah menunggunya seorang gadis remaja.

“Mei Mei?” Kalau tak salah, dia adalah adik bungsu Wie setelah Hok, Kyo dan Meylan.

“Apa khabar Kak Cahya?” Gadis itu memeluknya dengan hangat.

“Baik, kamu sudah besar rupanya.”

Mei-mei telah tumbuh menjadi gadis cantik dan ramah. Seperti masa kecilnya,  dia gampang akrab dengan siapa saja.

“Ayo, makan dulu lah!” Nyonya Liem menarik sebuah kursi, mempersilahkan Cahya.

“Terima kasih, Mah. Tapi Cahya harus buru-buru pulang.”

“Ayolah….”

“Mamah sendiri lho Kak yang memasak. Jarang-jarang Mamah memasak sebanyak ini. Semuanya, Mamah persiapkan buat menjamu Kak Cahya.”

Haiyaaa.” Nyonya Liem menyuruh Mei-Mei diam.

Cahya tak tega mengecewakan Nyonya Liem.

“Bagaimana, Bella tidak merepotkanmu kan?” Nyonya Liem sudah mengambilkan piring dan sendok nasi buat Cahya. “Ayo, makan dulu!” perintahnya.

Cahya tak bisa membantah. Akhirnya mereka pun makan bersama.

“Apa dia bertingkah nakal hari ini?”

“Oh, tidak Mah. Bella sangat manis kok anaknya.”

“Hmm,” Mei-Mei mencibir. “Itu karena Kak Cahya belum tau adatnya. Kalau Kak Cahya sudah tau tabiatnya, pasti Kakak bakal kewalahan.”

“Itu karena kamu tidak telaten, Mei.”

Mei-Mei manyun. “Selalu yang dibela Bella. Sebenarnya yang anak kandung siapa sih?”

Haiyaaa.”

Kehangatan yang sudah lama tak ditemui Cahya.

“Kau tau, Cahya. Hari ini Mama bahagia sekali.” Wajah Nyonya Liem berbinar. “Semenjak Bella kau antar pulang kemaren, semalaman dia membicarakanmu. Dia terlihat riang, seperti anak-anak lazimnya. Kau apakan cucuku?”

Membuat dada Cahya mengembang. Anak-anak sudah menjadi obsesinya. Dunia anak-anak adalah dunianya. Syukurlah jika Bella menerimanya.

“Padahal Bella nggak gampang lho Kak, lengket dengan orang yang baru dikenalnya.” Mei-Mei menambahkan.

“Betul itu. Kau tanya Mei-Mei, di waktu balita sudah berapa kali dia ganti pengasuh. Makanya Cahya, kau harus sering-sering menjenguknya. Mungkin dia sudah menganggapmu sebagai pengganti mamanya.” Nyonya Liem tanpa sungkan menyatakan maksud hatinya.

Mei-Mei mengangguk setuju. “Kami semua senang jika Kak Cahya sering-sering main ke sini. Tuh, lihat Kak. Bahkan Mamah sampai dandan buat menyambut Kak Cahya.”

Hush, bicara apa kau!” Nyonya Liem tersipu malu.

Mei-Mei melanjutkan makannya. Cahya merasa tak enak hati. Dia khawatir Nyonya Liem salah sangka atas niat baiknya.

“Bisa kan, kau meluangkan waktu buat Bella? Berjanjilah sama Mama!”

“Iya Mah, saya usahakan.”

Wajah Nyonya Liem berbinar lagi.

“Saya akan atur waktunya, supaya tidak bentrok dengan persiapan pernikahan.” Mungkin Nyonya Liem harus diingatkan lagi.

Mendadak Mei-Mei dan Nyonya Liem meletakan sendok bebeknya secara bersamaan. Sepertinya napsu makan mereka hilang. Gurat kecewa terlihat jelas di wajah mereka.

“Kak Cahya mau menikah?” Tanya Mei-Mei polos, hati-hati.

Cahya mengangguk pelan. “Ya, bulan depan. Kami sudah mencetak undangannya. Kalian nanti datang ya.”

Binar di wajah Nyonya Liem meredup, tak berkata-kata lagi.

 

 

*****

 

 

Praduga

 

Pantai Balekambang di Musim Panas,

Berteduh di bawah pohon yang sebagian daunnya sudah meranggas, sambil melihat debur ombak yang mengantarkan angin kering. Mereka sudah mengitari Pura Luhur Amertha Jati, tadi – pura kecil di pulau Ismaya yang mirip sekali dengan Pura Tanah Lot – Bali. Malik masih diam. Cahya berharap, saat mereka menyusuri jembatan untuk kembali ke bibir pantai, paling tidak ada sesuatu yang disampaikan oleh Malik. Tidak bisu seperti sekarang ini.

Balekambang yang sepi terasa semakin sunyi.

Tak biasanya, dadakan sekali Malik mengajaknya ke sini. Katanya ada urusan penting yang akan dibicarakan. Meskipun senang akan kejutan kecil ini, Cahya bertanya-tanya juga. Urusan apa ya? Tak biasanya Malik bermain rahasia.

“Apa yang akan kau bicarakan?” Cahya sudah tak sabar. Sesampainya di pinggir pantai Cahya langsung mencari jawaban.

Malik tak langsung menjawab. “Sabar… kita cari es kelapa dulu yuk! Sambil menenangkan pikiran.”

Sepertinya masalah serius.

Cahya sempat menduga-duga dan hatinya deg-degan. Jangan-jangan Malik sedang mengendus masa lalunya bersama Wie? Jangan-jangan Malik mulai curiga karena akhir-akhir ini waktunya banyak tersita oleh Bella?

Seperti kemauan Malik. Setelah memesan 2 buah kelapa segar, barulah Malik buka suara.

“Begini. Cetakan undangan kita ada yang salah.”

Cahya hampir saja tersedak karena sewot. Tak sebanding dengan kekhawatirannya. Oleh sikap Malik yang menurutnya berlebihan ini. Padahal dia sudah stress menduga-duga. Jadi, inikah yang dimaksud Malik sebagai urusan penting?

“Kok bisa?” akhirnya itulah yang keluar dari bibir Cahya. Hatinya sedikit lega karena dugaannya mengenai ‘masalah serius’ meleset.

“Salahku.” Malik menghela napas panjang. “Aku tidak mengecek draft undangannya dari awal. Aku percaya begitu saja pada Tomo.”

Tomo adalah teman mereka yang membuka usaha percetakan.

“Trus, salahnya dimana?” tanyanya kemudian, masih berhati-hati.

“Angka 1-nya hilang. Sepertinya ke-delete. Akad nikah yang seharusnya tanggal 17 menjadi tanggal 7. Maju sepuluh hari.”

“Nah, kan. Bagus kan? Kita bisa menikah maju sepuluh hari?” Cahya berseloroh.

 Malik menanggapi dengan serius. “Apa bisa pernikahannya dimajukan, proses ulang di KUA?”

‘Hadeehhh, kenapa Malik jadi bego ya?’ – Cahya membatin.

 “Atau. perlukah kita mencetak undangannya lagi? Di waktu sesempit ini?”

Karena setaunya Malik adalah laki-laki yang pintar. Membuat Cahya tersenyum geli.

“Kok ketawa?”

Ternyata, untuk urusan sekecil ini – bila hal itu menyangkut pernikahan, laki-laki seperti Malik pun bisa menjadi panik dan mendekati bego. Membuat Cahya senewen.

“Sayang… kalau angka 1-nya ke-delete, ya kita tambahin lagi. Apa susahnya sih?”

Malik melongo. “Pakai?”

“Ya pakai bollpoint lah, masak pakai tip-ex. Pakai rugos kalau perlu.”

Malik jelas-jelas tak setuju. Cahya lupa jika Malik mempunyai sifat perfect yang kadang sangat merepotkan.

“Kalau dicetak ulang, yakin nantinya tidak ada kesalahan lagi? Trus, dengan waktu yang sesempit ini apa keuber?”

“Nggak-nggak. Sebaiknya kita cetak ulang saja. Kurang bagus mengundang orang dengan kesalahan cetak.”

Sebaiknya menurut saja. Kali ini Cahya malas berdebat, meskipun sebenarnya agak dongkol juga sih. Kalau sudah memutuskan begitu, kenapa juga minta pendapatnya? Atau, ini hanya alasan Malik? Supaya mereka bisa keluar berdua? Kalau memang benar, berarti Malik tak selugu dugaannya. Akhir-akhir ini waktunya banyak tersita buat Bella.

“Terserah kamu lah.” Cahya menyerahkan keputusan di tangan Malik.

Malik terlihat lega. Meskipun dia berfirasat, ada yang tak beres pada diri Cahya. Banyak yang tak sinkron akhir-akhir ini. Sifat penurut dan mudah menyerah, itu bukan sifat Cahya. Jika mereka membahas sesuatu yang penting, terutama mengenai persiapan pernikahan mereka, Malik merasa Cahya tidak berada di tempat. Pikirannya melayang kemana-mana. Malik ingin tau – tentu saja. Tapi dia tak mau membuat Cahya merasa tertuduh. Berdua, mereka merasa asing dan jauh.

“Cahya….” Malik berhati-hati sekali. Ditunggunya sampai Cahya menyelesaikan minumnya.

“Ya?”

“Aku ingin bertanya jujur padamu. Mm, maksudku, aku bertanya dan kau menjawab jujur padaku."

Wajah Cahya berubah serius. Diletakannya batok kelapa ijonya, untuk selanjutnya menyimak penuturan Malik. Hatinya berdegup kencang.

“Tentang masa lalu kita. Aku tidak mau ada yang kita sembunyikan. Sebelum kita menjadi suami-istri, kita harus tau masa lalu masing-masing.”

“Buat?” Tenggorokan Cahya tercekat.

“Supaya kita tak ada dusta di antara kita.”

“… ah,”Cahya menghalau gusar. “Buat apa sih? Aku tidak menikah dengan masa lalumu.”

“Bagaimana jika kukatakan di masa laluku aku pernah berbuat kesalahan? Aku mempunyai anak dari wanita yang tak pernah kunikahi, misalnya. Apakah kau masih menerimaku?”

Cahya hampir pingsan mendengarnya. Malik menatapnya serius. Sedang bercandakah dia? Malik yang dikenalnya bukan laki-laki seperti itu. Tak mungkin Malik memiliki masa lalu kelam.

“Untungnya aku bukan laki-laki seperti itu Cahya. Masa laluku, tak ada yang kusembunyikan darimu. Kau, adakah yang kau sembunyikan dariku?”

Cahya bungkam. Tak tau harus berbuat apa.

 

 

*****

 

 

Malik benar. Membuat Cahya ragu. Dimana batasan suami-istri boleh berbagi? Jika hal terkecil tak boleh tersembunyi, masihkah mereka disebut pasangan yang saling menghormati? Tentunya kehidupan tak menarik lagi. Tak ada teka-teki, karena semua sudah terduga pasti.

Pun Cahya. Tentang masa lalunya bersama Wie, yang mengharu-biru itu, yang penuh perjuangan, yang akhirnya kandas di tengah jalan. Jika dia menceritakannya kepada Malik, apakah nanti tak menimbulkan salah-paham?

Dia sudah mengubur dalam-dalam masa lalunya. Jika ada hal yang terkait dengan masa lalunya, itu adalah Bella. Bocah tak berdosa itu yang harus menanggung imbasnya. Entahlah, siapa yang harus disalahkan? Jika dia memberi perhatiannya kepada Bella, tak lebih sebagai penebus kesalahannya di masa lalu. Hanya itu sebenarnya.

Kebaikannya hanya bernilai wajar bagi orang yang mengerti. Mungkinkah Malik bisa mengerti? Jika anak seusia Bella tak seharusnya kehilangan kasih-sayang seorang ibu, dan itu gara-gara dia?

Bella, semakin hari anak itu semakin lengket dengannya. Dia nggak mau pulang kalau bukan Cahya yang menjemputnya di sekolah. Belum lagi jika Bella minta ini-itu. Minta ditemani bermain, minta ke alun-alun. Wajar jika Malik curiga. Kesibukan barunya menyita waktunya yang tak banyak. Tapi sampai kapan dia akan bertahan?

Mungkin bisa diceritakan secara garis besar.

Dengan keberanian yang dipaksakan, akhirnya Cahya memencet tombol handphonenya. Ditunggunya nada sambung ke handphone Malik.

Pukul 01.05 dini hari.

Benar kata Malik. Di antara suami-istri tak boleh ada yang tersembunyi.

Nada sambung sampai beberapa detik. “Ya…,” suara berat di seberang sana.

Cahya gugup. Harus memulai dari mana?

“… Malik.”

“Hmm….”

Badannya menggigil. Tangannya gemetaran. Cahya menelan ludahnya sebelum melanjutkan. “… Kau benar, Malik. Aku merahasiakan sesuatu darimu. Kau tau, Koh Wie? Koh Wie yang bersikap aneh tempo hari?”

Hening di seberang.

Ada rasa sesak di hatinya. Cahya sudah memasrahkan semuanya. Apapun reaksi Malik, sudah menjadi resiko yang akan diterimanya.

“Ya, Koh Wie adalah pacar pertamaku. Kami pernah kabur, hampir menikah beberapa tahun silam. Tapi gagal.” Cahya menelan ludahnya lagi. “Kau jangan salah paham. Hubungan kami sudah berakhir saat itu juga. Kami tak pernah bertemu. Bahkan dia sudah menikah dengan wanita lain dan mempunyai anak. Bella, kau tau kan? Ya, Bella. Aku tak tau Malik, apakah aku masih mencintainya atau tidak. Aku sudah membencinya selama bertahun-tahun. Yang jelas, saat ini aku adalah calon istrimu. Dan kita akan menikah. Aku tak mau masa laluku ini mengganggu masa depan kita. Kita akan menjadi suami-istri yang saling menghargai. Kau paham kan Malik?”

Tak terdengar jawaban.

“Malik?”

“Grrr….” Suara dengkuran.

 

 

*****

 

 

Sebuah SMS masuk, persis ketika Cahya membelokan motornya ke arah rumah. Terpaksa dia berhenti. Tertulis, “Bella ngambek lagi. Mama kewalahan.”

Persengkokolan macam apa ini? Sepertinya Nyonya Liem sengaja menciptakan situasi ini. Kalau dipikir-pikir, bukankah dulu Bella baik-baik saja sebelum bertemu dengannya? Agak aneh rasanya bila Nyonya Liem kewalahan menghadapi Bella yang sudah diasuhnya dari orok.

“Ya, Mah?” Cahya balas menelepon Nyonya Liem – datar.

Suara panik di seberang. “Haiyaaa Cahya, Bella ngambek lagi. Dia tidak mau makan, tidak mau ganti baju, tidak mau tidur.”

“Bisa minta tolong teleponnya ke Bella, Mah?”

Haiyaaa, baik.”

Tak berapa lama.

“Hallo, Bella?” suara lembut Cahya menyapa.

“Bu Guru Cahya…,” suara Bella melengking. Seperti sudah bertahun-tahun tak jumpa.

“Hayooo, apa Bu Guru bilang? Bella tidak boleh bandel. Kasihan kan Oma?”

“Bella nggak bandel!!” suara di seberang terdengar ketus, masih melengking.

“Bella sudah makan belum?”

“Belom.”

“Sudah ganti baju? Sudah cuci tangan?”

Tak ada jawaban.

“Hayooo, murid Bu Guru Cahya harus cantik. Patuh pada Oma.”

“Nggak mau! Nggak Mau! Bella mau Bu Guru Cahya!”

Suara berisik di seberang sana. Sepertinya Nyonya Liem berusaha membujuk. Tak berhasil. Terakhir, terdengar suara tangisan Bella pecah. Meraung-raung.

Cahya terjebak oleh permainannya sendiri. Apakah mungkin anak sekecil Bella bersekongkol? Mungkin Nyonya Liem tidak menciptakan situasi.

Haiyaaa, maaf ya Cahya. Mama tak bermaksud merepotkan kamu.”

“Nggak apa-apa Mah. Biar saya yang membujuk Bella.”

Sepeda motor Cahya berputar haluan. Dari jauh dilihatnya mobil Malik terparkir manis di depan rumahnya. Dia akan membuat cerita pada Malik. Lagi dan lagi.

 

 

*****

 

 

Benar-benar keras adatnya. Keadaan setelah ditinggalkannya tadi, seperti itulah kini. Bella belum berganti baju seragam, belum makan apalagi tidur siang. Wajahnya tampak lelah, tapi dia tidak menyerah.

Bocah itu tersenyum girang menyambut Cahya.

“Bu Guru Cahya….” Dipeluknya Cahya erat-erat.

Agak aneh rasanya. Sepulang sekolah tadi Cahya menyempatkan mampir agak lama. Bella baik-baik saja. Sangat manis malah. Sebenarnya anak yang tantrum tidak boleh dituruti – teori yang Cahya pelajari dalam pola asuh anak. Karena sekali dituruti, si bocah akan mengulangnya berulang kali, menjadikannya trik jitu dalam mengendalikan orang tua. Jangan salah, para bayipun sudah mengendalikan orang tua dengan rengekan atau tangisannya. Tapi kali ini Cahya membuat pengecualian. Tidak buat Bella.

Bersamanya, Bella menjadi penurut sekali. Setelah berganti baju, makan siang dilahapnya dengan cepat – dari suapan tangan Bu Guru Cahya. Lalu menuju kamarnya tanpa disuruh. Selesai lagu lullaby, Bella tertidur pulas.

Cahya berjingkat-jingkat hendak keluar kamar. Ketika pintu kamar terbuka, hampir dia meloncat. Dua-duanya. Mereka – masing-masing seperti melihat hantu di siang bolong. Atau garong?

“Kau?!”

“Kau?!!”

“Sttt!!” Cahya melotot. Dia tak mau keributan kecil ini membangunkan Bella. Susah-payah dia menidurkannya, bisa sia-sia usahanya.

“Sedang apa kau di sini?!” sengit, Wie menuduhnya.

Tergesa Cahya menutup pintu kamar Bella. “Aku sedang menidurkan Bella, anakmu,” desisnya tak kalah sengit. Dia tak suka menjadi tertuduh.

“Apa urusanmu di sini?” Wie mencoba menyusun puzzle. Pecah. Baginya, Cahya seperti makhluk kesasar yang salah tempat. Dia tak menemukan susunan yang benar.

Sebelum Cahya menjawab, Nyonya Liem sudah nimbrung untuk menengahi masalah. “Haiyaaa, Wie.” Nyonya Liem terburu menarik tangan Wie. Terlihat gugup. Gugup yang senang. “Kau pulang? Ayo-ayo, makan dulu. Kalian berdua harus makan!”

“Ini apa-apaan maksudnya?” Wie tak habis pikir. “Oh, jadi seperti ini keadaannya jika saya di bengkel?” Wie ngeloyor mendahului Nyonya Liem. “Mah, kenapa dia ada di sini?!” Wie meminta penjelasan.

Nyonya Liem menepuk-nepuk punggung Wie dengan suka-cita. “Dengar dulu penjelasan Mama. Jangan marah-marah!” Tiba-tiba Nyonya Liem tersenyum geli. “Ternyata ya, kalian berdua tidak berubah. Kalau lagi berantem, tidak ada yang mau mengalah. Mama jadi ingat sewaktu kalian pacaran dulu.” Nyonya Liem malah bernostalgia.

Cahya dan Wie, dua-duanya membuang muka.

“Begini Wie. Bella – anakmu itu sangat lengket sama Cahya.”

“Darimana ceritanya mereka bisa kenal? Heh, kau sengaja menjebak anakku ya?” Wie curiga lagi. Kepalang basah. Sudah terjadi keributan di ruang makan.  

“Tadi Bella ngambek. Dia tak mau makan, tak mau ganti baju, tidak mau tidur…. Dia minta Bu Guru Cahya menemaninya.” Nyonya Liem menjelaskan.

“Bu Guru Cahya?” Wie mencibir.

Cahya tersinggung. “Tentu saja saya menjadi guru. Saya berhasil mewujudkan cita-cita saya. Tidak seperti kamu.”

“Maksudmu?” Wie frustasi.

Cahya siap menjadi wanita angkuh untuk menutupi harga dirinya. Sejujurnya, susah-payah dia mengendalikan rasa gugupnya. Hatinya mulai berdebar dan kakinya gemetar. Tatapan mata Wie yang sipit, meski menuduh, ternyata masih membuatnya panas dingin.

“Tapi kau bukan gurunya Bella kan? Tidak di sekolah Bella. Aku yakin tidak di sekolah Bella, kan?” Wie tak habis pikir bagaimana keduanya bisa bertemu. “Bagaimana mungkin mereka bisa ketemu? Mah, sejak kapan dia masuk dalam kehidupan Bella dan Mamah membiarkannya?”

Cahya ingin menyudahi keributan ini. Tapi diurungkannya. Biarkan saja ibu – anak ini yang menyelesaikan. Seharusnya dia sudah menduga. Ini kan rumah Wie? Wie bisa pulang sewaktu-waktu.

Bodohnya. Jujur, pertemuannya dengan Wie ini masih menyisakan luka. Tapi bukan luka seperti yang dibayangkannya. Luka yang aneh. Meskipun postur tubuh Wie sudah berubah, nada bicaranya dan raut mukanya marah, ada selapis kerinduan yang Cahya temukan di sana.

Sebaiknya Cahya pulang sebelum semuanya menjadi runyam.

Nyonya Liem sibuk mengalihkan perhatian Wie. Diambilkannya sepiring nasi dan lauk-pauk. Mungkin supaya Wie tidak ngoceh dan segera melahap makanannya dengan tenang. Supaya kemarahannya mereda. Diangsurkannya segelas air putih. Tapi gelas itu tak diindahkan Wie.

“Saya ingin penjelasan. Mah, saya tidak mau Bella tergantung pada orang lain. Terutama kepada orang yang bukan siapa-siapanya.”

“Wie,” Nyonya Liem tak putus asa.

Tentu saja sikap Wie menyakiti hati Cahya. Kebaikannya sama sekali tak dihargai. Seharusnya Cahya sudah siap mental. Bukan Wie namanya, orang yang tak pandai berterima kasih.

“Cahya bukan orang asing bagi Mama. Dia sangat perhatian sama Bella.”

“Apa Mama yakin, suatu hari dia tidak meninggalkan Bella? Sama seperti Dona – mama kandungnya yang telah meninggalkannya? Saya tidak mau Bella kecewa untuk yang kedua kali, Mah. Dia bukan siapa-siapa.”

Deg! Menusuk ulu hati Cahya.

Wie benar. Dia bukan siapa-siapa di keluarga ini.

“Baiklah. Tugas saya sudah selesai. Sebaiknya saya pulang,” Cahya berkata pelan. Dia tidak ingin berdebat.

“Eits, tidak bisa!”

Cahya urung melangkah. Wie merasa kecolongan.

“Kau mau pulang? Setelah diam-diam menyusup ke dalam rumah ini dan membuat kacau?”

“Membuat kacau?” Cahya melotot.

Wie mengangguk sengit.

“Trus apa maumu?” Cahya tak tahan dipojokan terus-terusan.

“Kau harus mengembalikan Bella sebagaimana dirinya dulu. Dengar ya! Bella memang tak mempunyai Mama. Tapi dia masih mempunyai aku, Papanya. Juga Oma-nya yang tak kurang-kurang memberi perhatian. Atau Om dan Tantenya. Biarkan dia seperti itu. Sebelumnya dia baik-baik saja? Jangan pernah sekali-kali memberi dia mimpi.”

“Wie, Mama yang memintanya ke sini.” Nyonya Liem melerai.

“Urus saja calon suamimu!”

Wie ngeloyor pergi tanpa sempat menyentuh minuman ataupun makanannya.

Cahya tergugu di tempatnya. Dadanya sesak. Nyonya Liem berkali-kali meminta maaf. Sakit hatinya tak juga hilang.

 

 

*****

 

 

Sudah sepantasnya dia marah. Malik – calon suaminya saja tidak pernah membentaknya. Dasar, manusia tak tau berterima kasih! Setelahnya, SMS ataupun telepon dari Nyonya Liem tak pernah dibalasnya. Buat apa? Biarkan saja Wie mati dengan kesombongannya. Meskipun rasa kangennya kepada Bella sesekali muncul. Cahya selalu berdoa, semoga bocah kecil itu mendapat kasih sayang melimpah dari orang-orang terdekatnya. Dan segera melupakannya. Mungkin lebih baik begitu.

Hari pernikahannya semakin dekat. Mama, Papa, Mas Keling, Mba Riri, mereka lebih heboh dari dirinya. Berkata ini – itu. Mempersiapkan ini – itu. Dan Malik tentunya. Ada rasa bersalah, bahwa akhir-akhir ini dia tak menghiraukan orang-orang yang begitu menyayanginya.

“Aku senang kau kembali normal.” Malik merengkuh bahunya.

“Jadi selama ini aku nggak normal?” Rasa bersalah yang bergulung-gulung.

Masih sama. Malik masih tenang. Penuh perhatian. Coba menghadapi Wie. Wie akan terang-terangan menyudutkannya, mencecarnya atau bahkan mengintimidasi jika mencurigai sesuatu. Ah, Wie lagi. Cahya mendesah pelan. Kenapa selalau nama Wie yang muncul tiap dia berdekatan dengan Malik? Selalu membanding-bandingkan keduanya. Meskipun Cahya tau, pada akhirnya Maliklah yang berada di warna putih. Karena Wie selalu hitam, kelam.

“Aku sempat merasa, kau menyembunyikan sesuatu dariku.”

Cahya mengalihkan pandangannya, tak berani menatap Malik.

“Oya. Semalam kau meneleponku ya?” Malik teringat sesuatu.

Cahya menggeleng cepat.

“Ada panggilan masuk dari nomormu. Jam satu-an. Malam.”

Cahya menarik napas panjang untuk mengatasi kegugupannya. Lalu tersenyum mesra kepada Malik. “Mungkin kepencet.”

 

 

*****

 

 

Tindak Kriminal Terencana

 

Masa lalunya, biarlah menjadi rahasianya. Tak perlu diungkap. Mungkin lebih baik begitu. Jika masa lalunya serupa borok, biarlah borok itu mengering dengan sendirinya. Dengan berlalunya waktu. Karena jika dikoyak akan menimbulkan luka baru yang lebih menyakitkan.

Dua minggu lagi mereka akan satu, menjadi suami-istri. Seharusnya Malik bisa menjadi obatnya. Bersama Malik dia akan menyembuhkan boroknya, mengukir masa depan yang lebih indah dan bahagia.

Cahya akan bahagia. Dia senang jika orang-orang yang mengasihinya juga senang. Papa – Mama, dua orang yang berperan menentukan takdirnya. Bersama Malik, mereka akan tenang melepaskan Cahya mengarungi hidup baru. Harapan apalagi yang lebih besar dari kedua orang tuanya, selain melihat anak gadisnya bahagia, hidup berpasangan dengan laki-laki tepat yang bisa membahagiakannya?

Lain Cahya, lain lagi Wie.

Wie justru tertekan tingkat akut. Ditambah kekecewaan Nyonya Liem. Mamanya – Nyonya Liem marah-marah terus padanya. Tak sepatutnya Wie bersikap kasar. Apalagi terhadap orang yang berniat baik padanya. Harga dirinya, kekecewaannya, lebih tepatnya dia malu. Malu atas hidupnya yang berantakan dan diketahui secara gamblang oleh Cahya.

Lima tahun pernikahannya dengan Dona seperti hidup di neraka. Tiga tahun pertama, di negara asing Singapura, dia berharap bisa memulai segalanya dari nol. Ternyata berantakan. Kuliahnya gagal. Rumah tangganya hancur. Kehadiran Bella yang seharusnya bisa menjadi perekat hubungan mereka, malah menjadi ajang cek-cok. Ketidaksiapan dua-duanya menjadi orang tua. Wie tak bisa membagi waktu antara kuliah dan rumah tangga. Demikian juga Dona. Karir keartisannya jatuh oleh kehadiran bayi dan dia menjadi stress luar biasa.

Puncaknya ketika papanya meninggal dunia. Wie terpaksa pulang dan memboyong Dona yang setengah hati mengikutinya. Dona bertahan satu tahun menjadi wanita rumahan untuk kemudian kabur dan meninggalkan anak yang seharusnya mendapat kasih sayangnya.

Selanjutnya adalah kehidupan yang keras. Hari-harisnya dihabiskan di dalam bengkel. Menghidupi Mamanya, anaknya, adik-adiknya dan beberapa karyawan yang menggantungkan hidupnya di bengkel. Dia adalah tulang punggung. Tanpa kelembutan seorang wanita, hidupnya dirasa semakin keras.

 

 

*****

 

 

Tergopoh-gopoh Wie keluar bengkel. Kunci rollingdoor dia serahkan kepada Huri – teman yang sekaligus menjadi tangan kanannya kini. Sementara bengkel dia percayakan kepada Huri, dia akan pulang. Bella panas. Sudah tiga hari. Nyonya Liem tak henti-hentinya menangis.

Diagnosa dokter antara gejala tipes atau demam berdarah. Untuk lebih memastikan lagi harus dilakukan tes darah, supaya bisa diambil tindakan secepatnya. Waktu pengambilan darah inilah yang menyeramkan. Bocah seusia Bella harus disedot darahnya melalui jarum suntik yang menakutkan. Tentu saja dia meronta dan menjerit-jerit. Situasi ini membuat Wie merasa tolol, tak tau harus berbuat apa. Selesai pengambilan sampel darah, justru kepala Wie yang berkunang-kunang.

Sekarang keadaan sudah tenang. Bella tertidur pulas. Dokter sudah memindahkannya dari ruang UGD ke ruang rawat inap anak. Sengaja Wie memilih ruang VIP, karena Bella tak terbiasa berbagi ruang dengan orang asing.

“Mamah pulang sajalah. Istirahat. Juga kau Mei.”

Mei-mei mengangguk patuh.

“Biar saya yang di sini menunggui Bella.”

Nyonya Liem menyusut air matanya. “Mama sudah telepon ade’-ade’mu. Jangan khawatir. Kita bisa giliran jaga Bella.”

“Iya. Sudah ada dokter ahli yang menangani Bella. Mamah tenang sajalah.”

Nyonya Liem mencium kening Bella sebelum pergi. Dituntun Mei-mei, Nyonya Liem meninggalkan ruang UGD dengan berat hati.

Sekarang Wie sendirian. Di kamar rumah sakit yang dingin, menunggui Bella dengan pikiran melayang kemana-mana. Bebannya berlipat-lipat. Ditanggungnya sendiri karena dia tak tau harus membaginya kepada siapa. Pada saat-saat seperti ini, dirasa benar, ternyata tak gampang membesarkan anak seorang diri.

Sesekali bibir mungil Bella mengigau. Menyebut nama Cahya. Bocah itu tersenyum dalam tidurnya. Tidak menyebut namanya. Wie dongkol, tapi apa yang bisa dilakukannya?

Tak berapa lama Nyonya Liem pergi, Wie mendengar suara langkah kaki mendekat – sampai bertahun-tahun Wie tak pernah lupa. Seperti jelangkung yang datang tak diundang, persis ketika Bella menyebut namanya lagi. Pemilik langkah kaki itu kecil saja, gesit. Dulu suka bergelayut manja di pundaknya dengan sikap manis. Dadanya berdegup kencang.

Siapa yang memberitahunya?

Wie tak siap menyapa. Dia sudah lupa caranya menyapa atau bercengkerama. Bahkan, jika dulu dia mahir sekali menciptakan bualan-bualan gombal pada gadisya, kini dia tergugu tak tau harus bersikap bagaimana.

“Sejak kapan?” Cahya menangis sambil menciumi Bella.

Gadis yang sama. Bedanya Cahya sekarang terlihat lebih matang dan keibuan. Lipstick tipis dan dandanan natural. Wie mengenalnya sebelum gadis ini mengenal bedak.

“Siapa yang memberitahumu?” yang keluar, suara Wie ketus.

“Heran ya. Kamu masih saja memikirkan egomu!”

Wie bengong. Sudah lama dia tak dimaki perempuan. Yang dia ingat, perempuan ini kalau lagi marah lebih galak daripada macan.

Cahya menyusut air matanya sambil sesekali membelai-belai rambut Bella. Tak memperdulikan Wie.

Akhirnya Wie mengalah. “Diagnosa dokter antara demam berdarah atau gejala tipes. Kami masih menunggu kepastiannya. Tadi sudah tes darah. Besok baru diketahui hasilnya.”

“Sejak kapan dia dirawat?”

“Baru siang tadi. Panasnya sudah turun.”

Cahya sedikit tenang. Paling tidak, Bella sudah ditangani oleh ahlinya.

Lalu mereka saling diam. Lama. Tak ada suster maupun dokter untuk mencairkan suasana. Mereka tak saling bicara untuk bermenit-menit kemudian. Wie membuka jendela kamar. Napasnya sesak. Sejujurnya dia tak tau harus berbuat apa dengan perempuan ini.

“Kau terganggu ya dengan kehadiranku?”

Udara masuk melalui daun jendela yang terbuka lebar. Pelan tapi pasti, genderang perang terdengar lagi. Perempuan ini. Wie tak pernah memahaminya. Lebih baik diam. Dijawab ataupun tidak, dua-duanya akan bermuara pada kata yang sama. Salah.

Wie menyibukan diri dengan pemandangan di luar jendela. Pura-pura tak mendengar. Gunung Semeru nan agung mulai berkabut. Tiga kali dia pernah menaklukan Mahamerunya. Sebentar lagi, di lereng gunung akan bermunculan kelap-kelip lampu rumah penduduk.

Wie tersenyum oleh suatu kenangan. Dejavu.

… mereka check-in di sebuah motel murahan di daerah Songgoriti. Setelah berputar-putar menyusuri pegunungan di daerah Batu, akhirnya mereka menemukan motel yang eksotik. Tak perlu lilin, tinggal membuka jendela mereka bisa menikmati kelap-kelip rumah penduduk seperti pohon cemara di malam Natal, lebih terang dari bintang biduk di sebelah utara.

"Jangan takut, Cantikl!" Wie pernah membisikan kalimat itu. Mereka berpelukan. "Sebentar lagi kamu akan menjadi Nyonya Ping Wie."

Mereka bercakap-cakap sepanjang malam. Diiringi suara gemeresak dari gesekan pohon-pohon pinus yang sesekali terlihat doyong oleh angin, suara derik jengkerik, atau lamat-lamat pengajian dari mushola yang entah berada di mana, dengan jendela terbuka mereka berkhayal. Tentang dunia yang sangat indah.

Wie tersenyum kecut mengingatnya. Itu sudah terjadi bertahun-tahun silam.

“Ya. Kau pasti sangat terganggu.” Akhirnya, Cahya menjawab sendiri pertanyaannya. “Aku masih ingin di sini. Kau pulanglah jika terganggu!”

Wie merasa aneh dan lucu, “Aku papanya.” Lamunannya buyar. Baru saja dia menyusun rencana. Tentang ekspedisi gunug berapi. Dia akan mengumpulkan teman-teman lamanya. Bersama mereka dia akan melakukan mimpi-mimpi gilanya yang sempat tertunda. Padahal dulu, dengan perempuan ini juga dia berjanji, berdua mereka akan menaklukan Himalaya. Buyar seketika.

“Akui sajalah. Kau tak pandai mengurus bocah.”

“Kau ini kenapa sih?”

“Kau yang kenapa!” Cahya menghardik. “Tau nggak sih, kau selalu ngawur menuduh orang. Kau selalu curiga padaku!”

Muka Wie memerah. Marah sebenarnya. Pertemuan mereka tak layak disebut nostalgia. Lebih mirip perseteruan anjing dan kucing. Saling cakar. Saling tikam. Andai saja Wie tak mengenalnya sebelum gadis ini mengenal bedak.

Wie menduga – mungkin, ada yang belum tuntas di antara mereka. Rasanya seperti itu.

“Aku tau.” Tiba-tiba Wie menemukan celah. “Ternyata kau masih perduli padaku ya.”

“Maksudmu?” sengit suara Cahya.

“Kau perhatian pada Bella karena kau tau dia adalah anakku. Iya kan? Bagaimana kalau dia anak orang lain, apa kau masih perduli?”

Wie, seperti menancapkan bendera kemenangan di puncak Himalaya. Menghujam. Tepat mengenai sasaran.

Membuat Cahya dongkol setengah mati. “Dasar tak tau berterima kasih,” gumamnya.

“Akui sajalah.” Wie mencibir.

“Kau tak pandai mengurus bocah, itu masalahnya.”

“Trus, apa perdulimu?”

“Ya, aku perduli saja.” Cahya mati kutu.

“Kau bohong!”

Cahya gugup dicerca begitu rupa. Bersamaan senyuman cemooh yang muncul secara spontan dari Wie.

“Sebaiknya kau yang pulang. Aku papanya dan kewajibanku ada di sini. Sedang kau?” Wie mencibir. “Apa yang kau cari di sini? Calon pengantin sepertimu tak pantas berada di sini. Calon suamimu pasti menunggu, pulanglah! Jangan sampai pernikahanmu gagal untuk yang kedua kalinya.”

Kurang ajar. Wie menyumpahinya. Membuat Cahya tersinggung dan marah.

“Baik. Sebaiknya aku pulang.” Cahya tergesa mengambil tasnya dan benar-benar berniat pulang. Kebaikannya sama sekali tak dihargai.

“Eits!” Tapi Wie menahannya. Ditariknya tangan Cahya, hingga mereka hampir saja bersentuhan. Tiba-tiba muncul sebuah ide di kepala Wie. “Aku bohong.” Lalu seringai di bibir Wie.

Pertahanan Cahya bobol.

“Kau ini kenapa sih?” Suara Wie melunak,  “Jadi serius sekali? Bukankah kau sendiri pernah bilang, kalau kukatakan aku tidak bohong, semakin kau tau kalau aku bohong? Jadi kalau kukatakan aku ingin kau pulang, sebenarnya aku ingin sekali kau ada di sini. Kenapa kau sekarang gampang sekali marah?”

Cahya lemas. Masih Wie – jika terdapat seorang cowok yang pandai mempermainkan perasaannya, itulah Wie. Wienya yang dulu. Wie yang suka berganti peran antara yang baik dan yang jahat. Wie yang bisa berubah warna dalam sekejap. Entah merah, hitam, biru, putih ataukah kelabu. Suka-suka Wie.

“Aku bahkan sering bertanya,” Wie bergumam, jarak sepersekian senti dari telinganya. “Bahkan sampai detik ini,” bisiknya lembut. “Kenapa kau meninggalkanku di altar pernikahan kita waktu itu? Berputar-putar terus di otakku. Bertahun-tahun aku memikirkan hal ini. Kenapa?”

Cahya diam, tak tau harus menjawab apa. “Kau tak pernah membalas telponku,” Cahya berkata pelan. Menjadi bingung.

“Aku marah.”

“Dan kau. Kenapa juga menikahi Dona?”

Wajah Wie berubah keruh. “Karena aku kesal.”

“Hanya itu?”

“Aku ingin melupakanmu. Kau merusak masa depanku. Kau menghancurkan rencana kita.”

“Aku tidak bermaksud begitu, Wie.”

“Kau membuatku malu di depan banyak orang, lalu pergi begitu saja.”

Mereka, dua-duanya terduduk lemas. Untuk kemudian disibukan oleh pikirannya masing-masing. Sudah takdirkah ini? Mereka bertemu untuk saling jatuh cinta, lalu berpisah dan saling membenci, untuk kemudian bertemu lagi dalam situasi yang sulit dijelaskan. Mungkin lebih baik jika mereka tak pernah bertemu.

“Dan aku menyesal. Menikahinya adalah kesalahan fatal yang telah kuperbuat,” gumam Wie.

Cahya bungkam. “Mungkin benar, kita belum siap waktu itu. Sebenarnya aku punya rencana lain untuk masa depan kita, Wie. Tapi aku kecewa ketika kau memutuskan masa depanmu sendiri.”

“Apa kau pernah memikirkanku?” tiba-tiba Wie bertanya.

Keringat dingin di sekujur tubuhnya. Harus dijawab apa? Bagaimana bila dia menjawab dan itu adalah jawaban yang salah? Cahya sendiri tak tau, rasa macam apa yang dimilikinya untuk Wie saat ini. Ketika Wie mendekatkan wajahnya, Cahya gemetaran.

“Kau tau? Aku terus memikirkanmu, Cahya. Bahkan sampai detik ini.” Wie berbisik, masih dengan wajah keruh. Digenggamnya jemari Cahya dengan lembut.

Cahya memejamkan matanya. Romansa bertahun-tahun silam hadir lagi. Teringat dulu, ketika mereka pertama kali bertemu di depan Kunto Bimo. Rasa suka yang tiba-tiba muncul begitu saja pada Wie. Membuat dadanya bergemuruh. Ketika itu, dia masih berseragam putih abu-abu. Juga pada ciuman pertama mereka di atas kincir angin. Wie membuat masa remajanya penuh warna. Semua dia ingat dengan jelas.

Ketika Wie mencium keningnya, Cahya merasa lututnya lemas. Ini salah. Ia tau. Dan bukan pada tempatnya. Meski dingin, tangan Wie memiliki getaran yang sama. Cahya tak punya kekuatan menolaknya. Menjadikannya pasrah. Mata sipit itu masih memiliki pendaran yang sama seperti bertahun silam, tatapannya tersembunyi, penuh cinta. Dan Wie mencumbunya. Ketika kilatan cincin di jari manisnya terlihat gusar, barulah Cahya tersadar.

Tapi terlambat. Sebuah tangan bercincin kembar menarik Wie dari belakang. Lalu menjotos wajah Wie tanpa ampun. Sampai tiga kali. Wie tak membalas.

“Jadi ini, rahasia besarmu?” Pemilik cincin itu bertanya dengan rahang mengeras.

“Malik?! … Malik!!” Cahya tersentak.

Malik tak menggubris panggilan Cahya, meninggalkannya dengan aura pekat. Air mata Cahya bercucuran. Sementara di sudut ruangan, Wie menyeka darah di bibirnya yang pecah dengan senyum bengal. Mata sipitnya bengkak sebelah.

 

 

*****

 

 

Tak ada habisnya Cahya membodoh-bodohkan dirinya. Sungguh tolol! Dia pasti, sekarang tampak murahan di mata Malik. Mempelai perempuan tanpa harga diri. Seumur-umur belum pernah Malik semarah itu. Seperti bukan Malik. Laki-laki yang biasanya tenang dan pendiam itu menjadi kalap.

Sebenarnya bila Wie membalas, bisa dipastikan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Karena mereka lawan tak sebanding. Malik bukan laki-laki berotot. Badannya sedang saja. Berbeda dengan Wie yang sehari-hari kerja di bengkel dan berkarakter kasar. Malik senang mengajar dengan kelembutan, bukan menghajar orang. Seperti sedang kesurupan dia. Tiga kali pukulan tentulah bukan apa-apa buat Wie.

Wie?! Mengingat namanya darah Cahya langsung naik ke ubun-ubun. Pasti laki-laki tengil itu sedang berpesta pora sekarang, merayakan kemenangannya. Bagi Cahya, kejadian di rumah sakit itu seperti tindak kriminal terencana. Wie sengaja mempermainkannya.

“Mau apa kau ke sini?!” Cahya ketakutan ketika Wie menjemputnya di depan sekolah. Dua hari setelahnya. Ia takut Malik memergokinya dan salah sangka lagi.

“Ehh, begini sambutanmu pada pacar lama? Membuatku bingung. Sebentar kau baik, sebentar pemarah.” Senyum tengilnya keluar.

Sudah lama Cahya ingin mencakarnya. Mata sipitnya masih bengkak sebelah, dengan sengaja dipamerkan supaya Cahya teringat kejadian memalukan itu. Ihh, betapa bencinya Cahya.  

Sebelum Cahya mengusirnya, muncul wajah mungil dibalik punggungnya, lantang menegurnya. “Bu Guru Cahya, Bella sudah sembuh dong.”

“Ehh, Bella…” Cahya tak bisa marah terhadap gadis kecil ini. “Sudah sehat?”

Bella mengangguk dengan penuh semangat.

“Dia keluar rumah sakit hari ini. Dan ingin mengunjungimu. Bukan mauku.”

“Lho, bukannya Bella harus istirahat di rumah?” Cahya tak mengindahkan perkataan Wie.

“Bu Guru, Papi lucu deh. Lihat, matanya jadi gede.” Bella tertawa geli.

Wie senyum-senyum nggak jelas. Cahya keki dibuatnya.

“Papi mau ngajak Bella jalan-jalan dong. Bu Guru ikut yuk!”

“Bella harus istirahat di rumah. Nanti kalau badannya ngambek lagi gimana?”

“Nggak ah. Bella sudah minum obat. Papi tuh yang harusnya di rumah. Kan lagi sakit? Sekarang Bella mau main kincir angin sama Bu Guru. Yuk. Papi mau ngantar kok. Yuk!” Bella menarik-narik tangannya.

“Ayolah!” Wie membukakan pintu mobil.

Cahya undur ke belakang dan menggeleng. “Nggak Wie! Bella… maaf ya, Bu Guru nggak mau ah kalau sekarang. Gimana kalau minggu depan saja? Kalau Bella benar-benar sudah sehat?”

“Bella sudah sembuh! Kalau Bu Guru nggak ikut Bella nggak mau minum obat!!”

Ehh, bocah kecil ini mengancamnya. “Lagian Bu Guru belum mandi. Nanti kalau Bu Guru bau seperti Pak Min bagaimana?” Cahya membuat alasan.

“Ya sudah. Mandi aja sekarang, Bella tungguin!”

Wie cengengesan. Keras kepalanya persis seperti Wie.

Entah, modus apalagi yang dilancarkan Wie untuk menjebaknya. Dia melempar Bella sebagai umpan. Licik. Jelas-jelas Cahya tak bisa menolak permintaan gadis kecil ini. Akhirnya dengan berat hati Cahya masuk ke dalam mobil.

Di sepanjang perjalanan Bella tak henti-hentinya berceloteh. Riang sekali. Berbeda dengan Cahya yang diam seribu bahasa. Beberapa kali Wie berdehem dan bersiul-siul kecil.

“Serius sekali. Lagi mikirin apa sih? Kalian berantem ya setelah kejadian itu?”

Pertanyaan macam apa ini. Bagaimana mungkin mereka baik-baik saja setelah kejadian itu?

“Bukan urusanmu!” Cahya terusik.

“Tentu menjadi urusanku. Aku merasa menjadi bagian dari pertengkaran kalian.” Wie menunjuk matanya yang bengkak dan wajah Cahya memerah. “Apa kalian baik-baik saja?”

Cahya membisu.

“Kuharap Malik bisa mengerti.”

“Tentu saja dia mengerti. Dia laki-laki yang sangat pengertian!” sengit Cahya menjawab.

Tawa Wie berhamburan. Brengsek!

“Oya? Sangat pengertian atau terlalu bodoh untuk mengenalmu?”

“Apa maksudmu?”

“Sstt!” Wie menyuruhnya menahan emosi saat Bella terusik oleh perdebatan mereka.

Cahya terdiam. Tapi matanya garang.

Bella asyik lagi bermain lego dan Wie melanjutkan. “Yang kutau, sepertinya dia tak mengerti apa-apa tentangmu. Kau akan merana dibuatnya.”

“Tau apa kau tentang kami?!” Cahya membentak.

Wie cengengesan. “Kau adalah gadis dengan fantasi dan mimpi-mimpi terhebat. Hei, bukankah kau berjanji menemaniku keliling dunia? Kita akan taklukan Himalaya!”

“Wie, cukup! Itu omong kosong masa lalu.”

“Setelah kejadian itu aku jadi berpikir. Mungkin aku punya peluang. Aku merasa kau takkan bahagia bersamanya.”

“Aku mencintainya dan ingat, sebentar lagi aku akan menjadi istrinya. Hormati itu!”

Sebelum Wie ngelantur lebih jauh, Cahya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah undangan pernikahan bertuliskan namanya dan Malik. Wie menerimanya dengan wajah pias, lalu melemparnya ke dashboard dengan kasar.

Ah, persetan dengan Wie. Sekarang yang terpenting bagi Cahya adalah bagaimana cara mendapatkan kepercayaan Malik kembali.

 

 

*****

 

 

Tiga puluhan panggilan reject tak menyurutkan semangat Cahya. Dicari di rumah katanya Malik sudah berangkat mengajar. Dicari di sekolah, pihak sekolah mengatakan bahwa Malik sedang rapat tahunan. Rapat tahunan apa? Jika sebelumnya mereka selalu transparan, hal sekecil apapun Malik selalu memberi tahunya supaya Cahya tidak khawatir. Sekarang main kabur-kaburan begitu saja. Terhitung tiga hari mereka putus kontak. Rasanya sudah berabad-abad didera rasa bersalah.

Sampai petang menjelang. Tak ada tanda-tanda Malik mau membalas teleponnya. Mau menangis rasanya. Hari mulai gelap. Cahya tak mau hari ini berakhir dengan hasil yang sama. Dikirimnya SMS singkat.

“Aku tak akan pulang sebelum kau menjemputku.”

Jeda bermenit-menit. Cahya yakin Malik sudah membaca SMSnya. Hanya, Malik tak sudi membalasnya. Cahya pasrah menunggu keajaiban.

“Kau keterlaluan!” SMS balasan dari Malik.

Agak berlebihan jika perasaan Cahya mengharu biru. Bukan karena sedih. Lebih ke rasa lega. Dia bahkan tak tau harus membalasnya lagi dengan kalimat apa. SMS saja tentu tak etis untuk meminta maaf. Sampai bermenit-menit kemudian.

Bunyi SMS masuk.

“Ada di mana?”

Ternyata Malik masih memperdulikannya.

Dengan jari gemetar Cahya memencet-mencet tombol di hapenya, tergesa. “Alun-alun.”

Dibalas, “Pulanglah! Aku di Yogya, tak bisa menjemputmu!”

Jadi rapat tahunannya di Yogya?

 

 

*****

 

 

Borobudur Masih Menunggu

 

Seperti Borobudur yang menunggunya dalam diam. Sedang Gunadarma tertidur pulas di sampingnya. Menjaga sampai akhir jaman. Akhirnya Cahya menjejakan kaki ke tempat ini lagi. Borobudur tidak berubah. Mungkin dirinyalah yang telah berubah.

Semalam dia telah memesan tiket pesawat untuk keberangkatan paling pagi. Meski Mama melarang, Cahya nekat berangkat karena hal ini urusan hidup dan matinya. Biarlah. Ini urusannya dengan Malik. Cahya akan menjelaskannya pada Mama jika masalahnya sudah selesai. Dia akan menemui Malik secepatnya.

Menurut info dari pihak sekolah, rapat tahunan akan dimulai pukul 09.00 dan selesai pukul 16.00. Cahya tiba di bandara Adisutjipto pukul 09.15, sudah telat untuk menemui Malik. Daripada menunggu terlalu lama, ya sudahlah. Bergegas ia menaiki taksi meluncur ke Magelang. Borobudur tujuannya. Dia akan berpamitan. Juga pada Kunto Bimo yang salah memberinya jodoh.

“Borobubur adalah warisan leluhur kita yang harus kita lestarikan. Salah satu dari tujuh keajaiban di dunia ini terletak di Magelang, Jawa Tengah.  Merupakan candi Budha yang dibangun oleh raja Samaratungga dari dinasti Syailendra pada tahun 824 Masehi. Bangunannya sendiri berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Kesepuluh tingkatan ini menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana, sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Budha.”

Cahya ingat. Borobudur jualah yang membuatnya tertarik atas diri Malik. Dia hapal jumlah stupa bahkan koordinatnya, bagi Cahya hal itu luar biasa karena tak semua orang hapal koordinat Candi Borobudur. Waktu itu Malik masih kuliah di Fakultas Tarbiyah, lagi magang untuk tingkat Ibtidaiyah. Atas topik itulah mereka dipertemukan. Ahh, kenapa selalu Borobudur sih? Cahya sendiri heran, kenapa dia selalau tertarik dengan laki-laki yang bersinggungan dengan Borobudur?

Satu persatu langkahnya menaiki anak tangga. Dicecapnya kenangan bertahun silam. Ternyata sudah tak sama lagi. Ketika Cahya menemukan siluet lain, langkahnya terhenti. Cahya tertegun.

Adalah laki-laki sunyi menunggunya di depan Kunto Bimo. Duduk terpekur  dengan pandangan menerawang tanpa suara.

“Malik?!”

“Kau?!”

Mimpikah?

Mungkin para jin sudah bersekongkol untuk membuatnya bahagia. Setelah Kunto Bimo menipunya, dihiburnya Cahya dengan pertemuan yang dramatis ini. Dia tidak sedang berhalusinasi. Apakah yang dimaksud Kunto Bimo dengan jodohnya selama ini adalah Malik?

Laki-laki yang menunggunya di depan Kunto Bimo itu adalah laki-laki yang dicintainya, sama kagetnya dengan dirinya.

“Sedang apa kau di sini?”

“Kau sendiri? Bukankah kau sedang rapat tahunan di Yogya?”

Malik tak menjawab, lalu mukanya kembali masam dan melengos. Rupanya dia teringat lagi dengan kemarahannya. 

“Malik, aku sengaja ke sini untuk menemuimu. Aku akan menjelaskan duduk permasalahannya supaya kau tidak salah paham. Kebetulan jika kita ketemu di sini.” Cahya sempat berpikir dan menduga-duga, apakah Malik akan memaafkannya begitu saja?

“Aku lagi dinas,” ketus suara Malik, tanpa melihatnya.  

Beberapa rekan guru berseragam sama dengan Malik lalu-lalang di sekitar mereka. Rupanya rapat tahunan hari ini diadakan di Borobudur, jadi tak sepatutnya dia mengganggu.

“Oke, aku tunggu di rumah makan depan. Sebentar lagi kamu break kan?”

Sekitar satu jam-an menunggu, akhirnya Malik datang juga. Dengan wajah yang masih kusut dan sorot mata marah. Cahya ciut mengaduk-ngaduk es dawet di depannya.

 “Malik,” suara Cahya gemetar. “Aku tau kamu marah.” Cahya berusaha memberanikan diri. Dia tak mau terlihat kekanak-kanakan. Lagipula dia sudah banyak menangis tiga hari ini. “Aku mau minta maaf karena sudah berbuat kurang ajar sama kamu.”

Malik diam mematung. Rahangnya mengeras.

“Kamu benar. Kelak, di antara suami-istri tidak boleh ada yang tersembunyi. Aku merahasiakan masa laluku. Itu salah. Malik, apa yang kau lihat di rumah sakit tidak seperti yang kau pikirkan. Sungguh! Dia memang cinta pertamaku….”

“Jadi ada cinta yang lain?” sinis sekali suara Malik.

Cahya menggeleng kecil. “Tidak seperti yang kau pikirkan. Malik, untuk sesaat aku sempat terbuai dengan masa laluku. Tapi perasaanku padanya tidak seperti yang kau bayangkan. Dia sudah mempunyai kehidupannya sendiri sekarang. Dan kalaupun kami dipertemukan lagi, itu takkan sama karena perasaanku terhadapnya sudah berbeda. Kau percaya padaku kan?”

Wajah Malik berubah, kali ini menguar aura benci.

Cahya tak mau menyerah begitu saja. “Ayolah, Malik. Katakan. Bagaimana caranya supaya bisa meyakinkanmu? Apa yang kurasakan tiga hari ini sudah cukup menyiksaku. Aku takkan memaafkan diriku sendiri kalau kamu membenciku. Kau tau, jauh-jauh dari Malang aku datang ke sini untuk menemuimu, supaya aku bisa menjelaskan secara langsung padamu. Juga meminta maaf. Sekarang terserah. Apapun keputusanmu setelah ini, tentang pertunangan kita. Apakah kau akan melanjutkan atau menggagalkan pernikahan kita, aku sudah tak perduli. Tapi kau jangan membenciku, Malik. Please. Kau harus tau yang sebenarnya.”

Tak ada jawaban dari Malik. Hanya dengus napas berat. Cahya pernah mendengar, orang pendiam akan lebih menyeramkan jika marah. Dia melihatnya kini. Malik yang biasanya hangat berubah menjadi batu cadas yang berdiri angkuh.

“Lagipula aku pernah berniat jujur padamu.” Cahya membuat pengakuan. “Kau ingat kan? Yang telepon tengah malam dariku? Yang pernah kau tanyakan tempo hari? Ya, itu memang dariku. Aku sudah menceritakan panjang-lebar tentang masa laluku. Tapi malah kamu tinggal ngorok.”

Sekilas saja Malik menatapnya.

“… Sungguh!” Cahya berani bersumpah.

“Benarkah?” Suaranya ragu, setengah percaya.

Cahya mengangguk meyakinkan. “Itu aku. Aku sudah menceritakan masa laluku. Koh Wie adalah pacar pertamaku dan aku sempat membencinya bertahun-tahun. Tapi melihat hidupnya sekarang siapa yang tega? Aku ingin menolongnya, hanya untuk Bella anaknya, tidak lebih dari itu. Aku tak punya perasaan apa-apa terhadapnya. Kau percaya kan?”

Mata Malik menatapnya nanar. Tertahan. Menyuntikan keberanian bagi Cahya untuk meluruskan kesalahpahaman mereka.

“Aku tak berniat membohongimu, Malik.”

“Lalu, tentang ciuman itu?”

Cahya kesulitan menjelaskannya. “Anggap saja itu ciuman dari teman lama.”

Malik mendengus kesal.

“Kalau aku masih mencintainya kenapa aku mau menikah denganmu? Coba pikir. Hanya gadis bodoh yang mau menyerahkan sisa umur dengan orang yang tidak dicintainya.”

“Kau juga menganggapku teman lama saat menciumku?”

“Tentu saja, tidak. Malik, kau calon suamiku. Aku mencintaimu.”

Biasanya, laki-laki yang berperasaan halus dan jujur tak pandai merangkai kata apalagi ngegombal. Tapi suka mendengar pujian dan dirayu. Cahya tau itu. Bahkan jika dia berdusta sekalipun, Malik akan tetap mempercayainya. Sayangnya Cahya tidak sedang berdusta kali ini.

“Justru aku sering bertanya, apa kau juga mencintaiku?” Kali ini gantian Cahya yang ragu.

“Aku maksudmu?”

“Kau tak pernah merayuku.”

“Aku mencintaimu.”

“Kau tak pernah merayuku.”

“Apa tukang bengkel itu sering merayumu?”

“Malik, please….”

“Katanya kau tak sudi menikah dengan tukang bengkel?”

“Memang tidak!”

“Katanya kau tak suka menikah dengan orang yang kasar?”

“Memang tidak. Lebih baik menjadi perawan tua daripada menikah dengannya.”

“… Kalau begitu menikahlah denganku!”

“Malik….”

Cahya menghambur ke pelukan Malik.

Borobudur menjadi saksi. Seolah Gunadarma pun merestui. Dan mitos Kunto Bimo… ahh, sudahlah. Sekarang Cahya yakin, 100% cintanya hanya untuk Malik. Dia tak salah pilih. Karena Malik adalah pemuda yang baik. Bukan karena – secara kebetulan dia menunggunya di depan Kunto Bimo, melainkan karena hatinya penuh oleh luapan cinta.

 

 

*****

 

 

Frustasi

 

Lima botol bir telah kosong. Buihnya luber di tuangan gelas terakhir. Berceceran di meja bar. Aromanya campur-aduk dengan wewangian para wanita. Mereka telah siap di tengah sana. Memancingnya dengan hentakan-hentakan panas. Wie tak tertarik. Huri sudah menemaninya. Lagipula, rasanya tak sopan jika dia merayakannya dengan wanita lain.

Satu kali dia ke sini, saat mendapatkan surat cerai dari Dona. Saat itu, lagi-lagi Huri yang menemaninya. Memang, selain menjadi karyawan kepercayaannya, Huri adalah teman yang selalu ada di saat suka maupun duka. Huri selalu tau apa maunya. Tanpa disuruh, dia menghalau wanita-wanita itu. Dengan sopan. Wie sedang tidak berselera.

Wie lebih tertarik pada gelas birnya. Warnanya yang kuning keemasan membuatnya bahagia. Ada banyak bintang di dalam sana. Lebih terang dari bintang biduk yang pernah dilihatnya bersama Cahya.

Dia sibuk memutar-mutar jarinya di bibir gelas. Seolah ingin mengumpulkan potongan-potongan kisah yang telah lalu. Atau sedang menyusun harapan-harapan baru. Lalu tersenyum-senyum sendiri. Tertawa sumir. Bergumam. Atau menceritakannya kepada Huri. Ceracau si pemabuk.

“Dia masih mencintaiku. Aku yakin sekali! Aku menciumnya. Bisa kau bayangkan, muka calon suaminya saat aku menciumnya?” Wie tergelak. Hebat. “Ciumannya, akhh… gugup dan malu-malu, selalu begitu saat kucium. Menurutmu, bagaimana jika dia kulamar saja? Sebelum dia berubah pikiran?”

“Betul Koh. Koh Wie harus bertindak secepatnya.”

“Kalau orang tuanya menolakku lagi, akan kuculik dia. Tapi akan kuborgol tangannya supaya dia tidak lari.”

“Itu ide bagus, Koh.”

“Sstt….” Wie mendekatkan wajahnya ke Huri, lalu berbisik, “Ini ideku. Murni ideku. Ide ini sudah kurencanakan selama bertahun-tahun. Akan kubuat bulan madu yang sangat indah. Akan kubawa dia ke Himalaya. Setelah itu kami keliling dunia. Akan kutunjukan indahnya surga.”

Huri berdecak kagum.

Hidung Wie kembang-kempis karena bangga. Bau bir dari mulutnya. Beberapa tegukan sekaligus.

“Kau tau kenapa? Karena dia adalah wanita istimewa. Dalam dirinya ada satu paket yang kubutuhkan. Dia bisa menjadi mama yang baik buat Bella. Bisa menjadi menantu yang baik buat Mamahku. Bisa menjadi kakak yang baik buat Hok, Kyo, Meylan dan Mei-mei. Dan tentu saja, akan menjadi istri yang hebat buatku.” Wie tergelak lagi. Dia terlihat sangat bahagia.

“Tapi Koh. Koh Wie harus bertindak secepatnya. Dia akan menikah besok.”

“Kau bercanda ya? Dia takkan menikah kalau bukan aku yang menjemputnya.”

Penuh percaya diri ditenggaknya birnya lagi. Tak kuat menahan beban kecewa. Pada tegukan terakhir, badan Wie ambruk.

Sementara musik masih menghentak. Udara semakin panas oleh goyang pinggul para wanita. Satu orang tumbang. Siapa yang perduli? Dan malam semakin larut. Susah-payah Huri memapah Wie yang dirasa semakin tambun. Dia sendiri terhuyung-huyung. Kesal karena Wie tak menggubris nasehatnya.

 

 

*****

 

 

 

Kembar Mayang,

Janur kembar di sisi kanan dan kiri pelaminan

 

Janur kuning sudah melengkung. Anyamannya indah sekali. Berbentuk macam-macam. Menyerupai gunung, seperti keris, seperti pecut, seperti payung, seperti belalang bahkan ada yang menyerupai burung. Sepasang kembar mayang berdiri indah di dalam kamarnya, belum boleh keluar sebelum acara panggih, bertemunya pengantin perempuan dan pengantin laki-laki. Kembar mayang ini, nantinya akan ditempatkan di sisi kanan dan kiri kursi mempelai.

Ada juga janur kuning yang menjulang tinggi. Dipasang di sepanjang jalan pengkolan menuju rumah Cahya. Dalam tradisi Jawa, janur kuning adalah simbol suka-cita.

Seperti inilah do’anya dulu. Hari bahagianya dipenuhi oleh wajah suka-cita. Papa, Mama, Mas Keling dan Mba Riri, semuanya penuh rasa syukur dan bahagia.

Sekarang rumahnya sudah dihias sedemikian rupa. Memang Cahya memutuskan menikah di rumah, tidak di gedung. Dia ingin mengguratkan satu kenangan lagi di rumah ini, di hari bahagianya. Toh tak kalah megah dari pesta di gedung. Pun kamarnya sudah disulap menjadi kamar pengantin yang mewah Semerbak bunga dimana-mana. Mawar-mawar indah pilihan Mama, Pareo, Samourai, Sonate de Meilland, Sonia, Sweet Sonia, Laser, Diplomat, Tineke, Vivaldi. Termasuk juga bunga Melati. Semua orang sibuk mengatur ini dan itu.

Selesai riasannya - all out. Dia sendiri menjadi pangling. Mematut dirinya di depan cermin. Inikah dirinya?

Rambutnya disanggul tekuk dengan cunduk sisir dan cunduk mentul besar. Roncean melati menggantung indah di samping sanggulnya. Riasan godeg – riasan warna hitam di dahi membuatnya tampak beda. Siluet putri keraton. Lalu kebaya panjang klasik berbahan beludru warna hitam, dengan hiasan benang emas bermotif bunga. Kain panjangnya memakai batik sidoasih. Aura putri kahyangan yang turun ke bumi untuk menemui Jaka Tarubnya.

Belum pernah Cahya melihat dirinya secantik ini. Mama histeris dan menjadi lebay karenanya, menangis tak jelas apa maksudnya. Mba Riri berdecak kagum. Papa dan Mas Keling saling pandang dan saling berdehem sesudahnya. Dia malu dilihat begitu rupa. Semua orang melihatnya dengan takjub. Justru membuatnya nervous. Dia butuh waktu untuk menyendiri.

Saatnya menikah?!

“Di sini?”

Sudah waktunya!

Seperti bocah belasan tahun yang enggan melepas masa remaja. Seperti itulah Cahya akan menyimpan masa mudanya. Pelan tapi pasti, semua akan berlalu. Dan Cahya bahagia. Karena dia memiliki masa muda yang berwarna. Juga cinta pertama dan terakhir yang begitu indah. Ternyata, laki-laki sunyi yang menunggunya di Borobudur itulah jodohnya.  

Apakah Wie berhenti sampai di situ? Tentu tidak. Sampai sekarang Wie masih menghujaninya dengan gombalan-gombalannya yang maut. Bahkan menjelang pernikahan, Wie masih saja merayunya.

 

Jangankan gunung Fujiyama,

Puncak Himalaya kuantar kamu….

Jangankan ke Kamboja,

Ke Ethopia kuantar kamu….

Kalau benar kamu cinta aku,

Ke Kutub Utara kuantar kamu….

 

Cahya bermimpi ketemu Wie semalam. Di puncak Himalaya. Sempat membuatnya geli dan menganggapnya sebagai mimpi konyol. Perasaan yang dulu menggebu-gebu berganti dengan rasa hangat yang akrab. Mereka lebih sebagai teman sekarang. Cahya bisa menjelaskan prosesnya supaya Wie mengerti. Bagaimana formulanya supaya pacar pertama bisa menjadi sahabat.

Setelah memberi warna pada hidupnya, Wie harus memberi warna pada dunia. Melakukan lagi hobi-hobi gilanya yang sudah ditinggalkan beberapa tahun belakangan ini. Mendaki gunung lagi, misalnya. Wie tak boleh berhenti. Paling tidak demi Bella.

Ya, Bella… gadis kecil itu masih membutuhkannya. Tentunya dia akan tumbuh dengan kehangatan yang berbeda sekarang. Cahya akan  berdoa supaya dia tumbuh menjadi gadis yang cantik dan santun. Sampai-sampai dia berandai-andai, Wie berfoto di puncak Himalaya tidak dengan dirinya, melainkan bersama Bella putrinya. Kedengarannya lebih baik begitu.

Karena tak mungkin Cahya pergi ke Himalaya. Sekarang dia sudah mempunyai rencana. Dia akan pergi ke Borobudur saja. Ya, Borobudur… candi megah milik Nusantara yang mulai ditinggal peminatnya karena mereka berbondong-bondong ke luar negeri, menghambur-hamburkan rupiah untuk ditukar dollar. Cahya sudah memilih bulan madunya sendiri, bersama Malik tentunya. Mereka akan menyusuri Borobudur saja, melihat indahnya sunset, atau berjalan-jalan di malam hari di sepanjang Malioboro.

Borobudur lebih damai, lebih sederhana… Kesederhanaan yang akan dihabiskan di sepanjang sisa umurnya bersama pujaan hatinya - Malik.

“Waktunya akad nikah, Cahya,” panggilan dari Mama.

Ribut-ribut diluar kamar. Rupanya iring-iringan pengantin laki-laki sudah datang. Cahya tak pernah merasa sesiap ini.

Sambil mematut dirinya sekali lagi di depan cermin, Cahya merapikan kebaya pengantinnya, lalu membenarkan sanggulnya. Senyumnya mengembang. Diluar sudah menunggu arjuna-nya. Ganteng sekali.

 

 

***  TAMAT ***

 

EstriShinta Rabu, Desember 23, 2015
Read more ...