Gambar istockphoto : Lhotse |
Kabur
Tentu saja aku tidak mau ke Semarang, karena aku hanya ingin bersama Wie. Aku ingin terbang bebas menjelajah dunia dengan Wie. Aku tidak mau hidupku terkungkung dan menderita lalu menyesal di kemudian hari. Lalu mati.
Di Semarang takkan kudapatkan apa-apa.
Mungkin rencana Papa detailnya seperti ini :
Di Semarang ada Pakdhe Nuwun – kakak sulung Papa yang lebih otoriter daripada Papa. Aku akan dikuliahkan di sana untuk mengalihkan perhatianku dari Wie atau lebih tepatnya supaya kami putus hubungan. Di sana aku akan diawasi 24 jam layaknya tahanan militer, dididik dan digembleng supaya lebih patuh dan menjadi anak berbakti. Lalu lama-kelamaan aku akan melupakan Wie, lalu dijodohkan dengan laki-laki pilihan keluarga. Dan hidupku akan berakhir dengan tragis. Sumpah, dalam radius beberapa meter dari Pakdhe Nuwun saja aku seperti hidup di neraka. Aku takkan betah tinggal dengan orang tua yang super-duper kolot itu.
Tentu saja, Wie seperti biasanya, dia tergelak hebat layaknya pembalap yang telah menyelesaikan lap terakhirnya sedang kemenangan ada di genggamanya. Sekarang dia tau, bahwa akhirnya aku lebih memilih dia daripada orangtuaku.
Malam ini menjadi malam puncak dalam sejarah cinta kami. Tak bosan-bosannya Wie mengumbar senyumnya sebagai ucapan terima kasih. Sebagai penegasan bahwa aku telah memilih yang benar. Berkali-kali Wie membelai-belai rambutku, mengelus pipiku dan sesekali memelukku hangat. Kurasa penghargaannya itu cukup menghiburku karena kurasakan malam ini menjadi sangat manis.
Kami check-in di sebuah motel murahan di daerah Songgoriti. Setelah kami berputar-putar menyusuri pegunungan di daerah Batu, akhirnya kami menemukan motel yang eksotik ini. Tak perlu lilin, tinggal membuka jendela kami bisa menikmati kelap-kelip rumah penduduk seperti pohon cemara di malam Natal, lebih terang dari bintang biduk di sebelah utara. Di sini udaranya bisa mencapai 13 - 15 derajat celcius di malam hari, memungkinkan orang masuk angin dan sibuk kentut besok paginya. Tapi aku hangat dalam pelukan Wie.
"Jangan takut, Cantikl!" Wie berbisik mesra di telingaku.
Aku merapatkan pelukanku.
"Sebentar lagi kamu akan menjadi Nyonya Ping Wie."
Aku tergugu. Lalu aku mengangguk pelan.
“Semuanya sudah diatur. Mama, Papa – dibantu Dona, mereka sedang sibuk mempersiapkan pernikahan kita.”
Setelah menghabiskan makan malam dalam suasana yang menurutku agak aneh ini, kami bercakap-cakap sepanjang malam. Diiringi suara gemeresak dari gesekan pohon-pohon pinus yang sesekali terlihat doyong oleh angin, suara derik jengkerik, atau lamat-lamat pengajian dari mushola yang entah berada di mana, dengan jendela terbuka kami mulai berkhayal.
Akankah kami selamanya bisa begini, tak terpisahkan oleh ruang dan waktu? Wie ingin sekali mengajakku ke Himalaya, tempat yang menjadi obsesinya sejak dia mengenal gambar gunung. Setelah dia banyak menaklukan gunung-gunung di sekitar Jawa, dia ingin sekali menunjukan tempat termewahnya itu padaku, Himalaya. Ya, menurutnya ada beberapa alasan mengapa ia sangat tergila-gila pada tempat itu. Pertama karena Himalaya adalah tempat tertinggi di dunia. Kedua karena Himalaya banyak saljunya. Ketiga karena puncak Himalaya namanya aneh-aneh, ada Everest – Kanchenjunga – Lhotse – Makalu, dll.
Sebenarnya aku tidak ingin kemana-mana. Aku hanya ingin berada di dekat Wie. Menurutku Borobudur juga bagus. Bagus dan tak merepotkan. Tapi karena Wie tak bosan-bosannya mempromosikan Himalaya padaku akhirnya akupun ingin mengunjungi tempat itu. Akhirnya kami memutuskan, suatu saat bila kami sudah menyelesaikan berbagai urusan kami yang rumit ini kami harus mengunjungi Himalaya, juga Borobudur tentunya!
Di pangkuan Wie aku terlelap – rasanya telah berada di Himalaya, nikmat sekali. Malamnya aku tidur tanpa bermimpi.
*****
Dua orang berjaket kulit itu terlihat mencurigakan gerak-geriknya. Mereka seperti binatang sedang mengintai buruannya. Lihat saja, ketika Wie memarkir motornya di samping pangkalan ojek untuk mencari bensin eceran di pasar Songgoriti, di situlah aku menyadari keberadaan mereka. Memakai topi koboi, bersepatu boots lengkap dengan tas pinggang dan sarung tangan hitam. Sikapnya canggung. Pengintai amatir.
Sengaja aku menoleh untuk menunjukan rasa tak nyamanku, mereka pura-pura mengobrol dengan penduduk setempat, sok akrab tapi dibuat-buat. Lagaknya seperti pembeli gadungan, memilih-milih kol atau sawi tapi mata mereka terus melirik-lirik ke arah kami. Sedang banyak orang yang lalu-lalang karena di sebelahnya adalah pasar pagi yang menjual sayur-mayur hasil pertanian setempat, tapi mata kedua orang itu tak lepas dari kami.
"Wie," aku berbisik dengan perasaan was-was. Setelah Wie berhasil mengisi motornya dengan bensin full-tank, "Aku curiga dengan dua orang itu."
Wie melirik ke arah yang kutuju. Dengan sekali pandang Wie segera menyimpulkan dan menarik tanganku supaya lebih bersiaga. Benar firasatku. Di sebuah kios kecil kami menemukan Malang Post - koran pagi itu telah memuat fotoku di halaman muka dalam berita penculikan, lengkap dengan gambar penculiknya sekalian alias foto Wie terpampang juga di koran itu. Wie mulai tegang dan aku tak kalah pucatnya. Wie segera menstater motornya. Aku dengan gerakan nekat langsung melompat ke boncengan Wie. Kami berusaha meloloskan diri. Dua orang polisi itu serampangan dan kalang-kabut mengejar kami.
Aku jadi ingat dengan film Tom & Jerry yang sering kutonton. Mungkin seperti itulah kami saat ini. Aku dan Wie menjadi tikus kecil si Jerry sedang dua orang polisi itu layaknya Tom si Kucing nakal. Jika dikartunkan kami akan berkejaran di kolong-kolong meja atau naik ke cerobong asap, berkelok-kelok di lubang saluran air, lalu bersembunyi di lubang tikus Jerry.
Wie sudah menjalankan siasat itu, tapi dua orang polisi itu lebih cerdik. Tiap kelokan yang kami perkiraan bisa meloloskan diri justru di situlah dua orang polisi itu sudah mangkal mencegat kami. Dua orang polisi itu lebih hapal daerah sini. Tapi Wie tak putus asa. Jika kami mulai tertangkap alias polisi itu mulai mendekati kami, Wie dengan garang akan mempercepat laju motornya alias lebih ngebut lagi. Gila, menegangkan tapi juga asyik bagi Wie. Tapi bagiku sumpat mati cukuplah sampai di sini, aku takut setengah mati.
Untungnya ada satu jalan tembus yang tak terlacak oleh dua orang polisi itu. Kami bersembunyi di belakang kandang sapi. Baunya? Jangan ditanya kalau belum pernah masuk ke wc sekolah yang tak dibersihkan selama dua tahun, mungkin seperti itulah baunya. Dua orang polisi itu tancap gas lurus mengejar kami, sedangkan kami masih mendekam di kandang sapi. Goodbye my policeman nice!.
Kami lolos. Ya, kami lolos! Wie berteriak-teriak kegirangan, termasuk aku. Kami menertawakan dua orang polisi yang tampak bodoh itu. Ternyata kami lebih cerdik dari mereka.
Setelah dirasa suasana aman, Wie menstater lagi motornya dan berbelok ke arah kiri. Sekitar lima menit menyusuri jalan makadam dalam suasana pedesaan, akhirnya kami menemukan jalan beraspal. Perjalanan kembali mulus. Seperti tujuan kami semula, Wie melarikan motornya ke lubang tikus si Jerry yang pastinya sangat asing bagiku.
*****
Lubang tikus yang kumaksud adalah sebuah bangunan kuno dengan lonceng besar di atasnya berikut tanda salib di puncaknya, itulah tempat perlindungan kami. Tak mirip sebagai gereja, tapi lebih cocok sebagai museum perangko peninggalan jaman kolonial.
Suasananya sangat lengang, berpagar pohon petinian dengan kawat-kawat duri saling menyilang. Pondasi batu-batu kali yang dibiarkan alami teksturnya itu memberi kesan kokoh. Di sebelah kirinya ada plang besar dengan tulisan yang tak kumengerti maknanya, mungkin berasal dari bahasa Belanda. Sedang di sudut kanan menjulang tinggi pohon cemara gunung dengan patung Bunda Maria sedang menggendong bayi, letaknya agak menjorok ke depan.
Gereja ini sangat kecil, paling hanya muat untuk 30 jemaat. Tapi gedungnya terawat, serasi dengan udaranya yang bersih, lantainya juga bersih. Di pilar-pilar penyangganya tak kutemukan debu setitik pun. Semuanya terawat dengan baik. Tapi sepi. Kalau saja tak kulihat dua buah mobil terparkir di situ, aku menyangsikan kalau gereja itu berpenghuni. Setelah kuamati aku mengenali salah satunya. Mobil dengan aksesoris singo edan, itu adalah mobil orang tua Wie. Mobil satunya lagi adalah mobil yang telah dihias dengan pita warna-warni dengan satu buket kembang di moncongnya, difungsikan sebagai mobil pengantin. Pasti mobil itu dipersiapkan untuk kami.
Wie menuntunku masuk ke dalam.
"Tennngg…!"
Terdengar suara lonceng menggema. Satu kali tapi bertalu-talu di dalam dadaku. Lalu suara cekikikan adik-adik Wie dilanjutkan oleh teguran dari pihak gereja. Mereka tak boleh sembarangan membunyikan lonceng.
Aku tak tau apakah efek dari keteganganku atau memang beginikah tiap orang yang masuk ke dalam gereja, lututku mulai gemetar. Aku tak merasa menjadi mempelai, lebih tepatnya sebagai orang yang akan diadili. Wie menggenggam tanganku dengan erat, seolah ingin mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
"Jangan gugup. Kamu cukup mengikuti apa yang dikatakan pastur," Wie berbisik di telingaku.
Pastur? Otakku blank. Siapakah gerangan manusia yang sangat digdaya itu? Klimaks permasalahanku akan dieksekusi olehnya, namanya saja terdengar asing olehku. Aku tergugu dan merasa aneh.
"Mengerti, Cantik?"
Aku diam.
"Bagus." Wie tersenyum senang.
Di dalam aku disambut oleh Mama dan Papa Wie, juga adik-adik Wie yang tadi sempat berbuat nakal. Hok, Kyo, Meylan dan Mei-mei, keempat adik Wie itu terlihat lebih manis dari biasanya. Dona menyambutku dengan wajah sumringah. Mereka berpakaian resmi layaknya menghadiri pesta pernikahan di gedung megah dengan seribu undangan. Ada beberapa tamu yang tak kukenal - mungkin dari pengurus gereja, dan dua orang saksi yang telah dipersiapkan oleh orangtua Wie. Tapi otakku blank.
Mama Wie dengan bantuan Dona dan seorang wanita dari pengurus gereja mulai mendadaniku, terakhir mengenakan tudung pengantin di rambutku. Aku merasa aneh. Tidak seperti mempelai, tapi seperti orang yang akan disuntik mati. Setelah siap, wanita tadi mempersilakan aku dan Wie untuk maju ke depan altar, tempat apakah gerangan?
Wie menggandengku maju. Inilah yang disebut altar, ruang kosong di depan bangku-bangku kayu yang beku. Tak lama seseorang dengan jubah putih menghampiri kami. Wajahnya teduh, dengan postur tinggi-besar dari orang kebanyakan. Sekilas persis Piere Brosnan dalam film The Postman, mungkin keturunan Belanda yang masih tercecer di sini. Aku nervous karena Wie tak pernah bercerita kalau pasturnya adalah seorang Bule. Pastur itu mulai membuka kitabnya, berdiri tepat di depan kami. Dua orang maju mendampingi kami sebagai saksi. Seluruh hadirin berdiri dengan gerakan seragam.
Sampai di sini lututku gemetar lagi.
Lengang.
"Mempelai berdua yang bahagia…," suaranya lembut penuh kasih. Pastur itu fasih berbahasa Indonesia melebihi penduduk setempat. Nadanya penuh wibawa.
Jengkerik pun tak berani bersuara.
Wie menggenggam erat tanganku sebagai usahanya untuk menenangkanku.
"Saudara telah datang kemari untuk melakukan pemberkatan perkawinan di hadapan pejabat Gereja dan disaksikan oleh umat beriman. Kristus memberkati dan meneguhkan Saudara agar Saudara sanggup saling mencintai dengan setia dan menunaikan tanggung-jawab sebagai suami-istri."
Lengang… lengang… lengang….
Badanku menggigil.
"Apakah Saudara bersedia menyatakan maksud dan isi hati Saudara dengan menjawab pertanyaan saya?"
Wie mengangguk cepat, tak sabar menjawab pertanyaan pastur.
"Saudara Ping Wie…."
"Ya!" Wie menjawab cepat.
"Apakah Saudara meresmikan perkawinan ini dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh?"
"Ya, saya bersungguh-sungguh, Pastur. Sangat bersungguh-sungguh," suara Wie terdengar tegas.
"Bersediakan Saudara mengasihi dan menghormati istri Saudara sepanjang hidup, dalam suka maupun duka?"
"Ya, saya bersedia."
"Bersediakah Saudara menjadi bapak yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada Saudara, dan akan mendidik mereka dengan baik?"
"Ya, saya bersedia!"
Sekarang pastur itu beralih ke arahku. Kerongkonganku tercekat. Apapun yang kulakukan sekarang rasanya muskil. Pastur mulai bertanya padaku. Tak ada bacaan ayat-ayat suci dalam bahasa Arab.
"Saudari Cahya Aurelita….”
Jantungku mau copot.
“Apakah Saudari meresmikan perkawinan ini dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh?"
Aku diam. Wie mengangguk, spontan kepalaku pun mengangguk . "Ya," suaraku parau.
"Bersediakan Saudari mengasihi dan menghormati suami Saudari sepanjang hidup, dalam suka maupun duka?"
Kali ini suaraku lebih tertahan, "Ya."
"Bersediakah Saudari menjadi ibu yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada Saudari, dan akan mendidik mereka dengan baik?"
Sayup-sayup kudengar suara adzan. Waktu dhuhur telah tiba. Aku ingat, hari Minggu begini biasanya kami sekeluarga berkumpul melakukan aktivitas bersama. Rumahku adalah surgaku. Biasanya kami sholat berjamaah. Papa, Mama, Mas Keling, apakah mereka sedang mendo'akanku supaya cepat pulang?
Wie mengangguk lagi tapi lidahku kelu. Pastur itu mengulang pertanyaannya sampai dua kali. Otakku blank. Suara adzan terdengar lagi, seolah ada yang berbisik, 'Ayo Cahya, pergi! Pergilah sebelum semuanya terlambat!
Mendadak kacau. Otakku kacau! Oleh bisikan gaib itu, tiba-tiba saja badanku undur ke belakang dan aku berlari sekuat tenaga meninggalkan altar, pergi sejauh-jauhnya dari gereja itu dengan berurai air mata. Wie memanggilku. Papa dan Mamanya Wie juga menyuruhku kembali, termasuk panggilan Dona, tapi aku tak perduli. Kekacauan itu menjadi puncak pengkhianatanku pada Wie.
*****
Wie pasti terluka, aku tau itu. Membuat keluarga Wie malu, aku juga tau. Aku telah menyakiti banyak orang. Tapi apa kuasaku? Aku sendiri tak tau apa yang telah kuperbuat belakangan ini… aku bahkan tak mengenali diriku sendiri. Wie, sampai kapanpun aku akan berharap dia memaafkanku dan memaklumi kejadian ini.
Kakiku terus berlari dan berlari, meninggalkan mimpi terindahku. Kalau saja waktur bisa berputar kembali, aku akan berdiam diri saja. Biarlah semua berjalan seperti semestinya, sampai sang waktu memutuskan yang terbaik buat kami. Hari ini aku baru sadar, ternyata aku belum siap. Maafkan aku Wie!
Di sebuah tempat yang tak kukenal, di jembatan sungai kecil dengan batu-batu kalinya… sebuah bus melintas di depanku, jurusan Kediri-Malang. Tanpa pikir panjang aku segera menerjang masuk ke dalamnya. Para penumpang bus melihatku dengan pandangan aneh. Tentu saja, karena aku masih mengenakan gaun pengantin, dengan berurai air mata. Pengantin yang terluka. Pasti seperti itulah kesimpulan mereka terhadapku. Aku tak perduli. Saat ini hanya satu yang ingin kulakukan, yaitu bersimpuh di kaki kedua orang tuaku.
*****
Layu
Ingin tau rasanya menjadi anak durhaka? Sekalipun jangan pernah merasakannya. Konon anak durhaka bertempat di neraka. Selain disiksa, dibakar oleh bara juga akan diseterika, itu kata guru ngajiku. Anak pembohong lidahnya yang diseterika, sedang anak durhaka sekujur tubuhnya yang diseterika. Diseterika inci demi inci, seperti boneka karet yang segera keriput dan mengkerut. Setan saja ogah melihatnya. Sewaktu kecil aku patuh sekali menjalani ajaran itu karena aku tidak mau masuk neraka. Teorinya masuk akal juga. Sekarang, jangankan di depan neraka, di depan pintu rumahku sendiri saja aku takut setengah mati.
Aku telah menjadi anak durhaka. Banyak kemungkinan bisa terjadi. Rasanya maaf saja tidak cukup menebus kesalahanku, setelah meninggalkan rumah ini, ampunan seperti apa yang bisa kuharapkan? Bagaimana kalau orang tuaku menolak kehadiranku atau tak mengakui aku sebagai anak mereka lagi? Dan yang lebih parah, bagaimana kalau Papa beranggapan bahwa telah terjadi sesuatu antara aku dengan Wie?
Tiga hari kami minggat. Wie menjadi buronan dan aku masuk dalam daftar anak hilang. Orang-tuaku tidak main-main menghadapi masalah ini. Pasti ada perhitungan berikut kemungkinan-kemungkinan buruknya. Siapa yang akan percaya kalau di villa murahan itu kami tak melakukan apa-apa? Bagaimana aku menjelaskannya pada Papa? Dengan test kedokteran pun belum tentu orang-tuaku mempercayainya.
Kakiku berhenti di depan rumah. Gemetar tentu saja. Melihat semuanya masih tampak sama, bahkan gantungan baju yang menggantung di tali jemuran itu persis seperti tiga hari yang lalu. Mungkin semenjak kepergianku Mama menghentikan segala aktivitas di rumah ini termasuk mencuci baju. Garasi, tanaman hias, lampu taman, semua masih sama seperti tiga hari yang lalu. Hanya mawar putih kesayangan Mama sedikit layu karena tak ada yang menyiraminya. Hatiku sedikit lega. Ternyata aku masih dibutuhkan di rumah ini.
Rumah tampak sepi.
Sebenarnya aku memang berharap seperti ini. Tak ada yang menyambutku sehingga aku bisa menyelinap masuk untuk mengendap-endap ke dalam kamar lalu tidur dan keesokan harinya bangun seperti tak pernah terjadi apa-apa. Aku bisa pura-pura amnesia, lalu diterima lagi di rumah ini dan menjadi anak manis selamanya.
Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Langkah kaki mendekatiku, lalu sebuah tangan lembut menepuk punggungku. Jantungku rasanya mau copot.
"Sudah balik?" suaranya cempreng, entah kaget entah gembira.
Aku bengong. Kata sambutan seperti apa ini?
Setelah dia celingak-celinguk dan tak menemukan siapa-siapa, Mas Keling mencibir ke arahku. Melihat 'kostum pengantin'ku yang aneh ini dia segera menyimpulkan sesuatu, "Kamu kabur lagi…?" tanyanya tak percaya, berdecak kagum.
Ingin menangis rasanya. Si Tukang Ngadu ini… dia selalu membuatku kesal, tapi dialah satu-satunya harapanku. Dia memencet hidungku sebagai wujud gemas. Ingin menangis rasanya.
"Ya sudah-ya sudah, nggak usah dipikirin. Ayo masuk!" Mas Keling menarik tanganku.
Aku terseret masuk dengan perasaan tak karuan. Badanku lemas membayangkan kemungkinan paling buruk. Apa reaksi Mama dan Papa? Kemarahan mereka pasti meluap melihat kedatanganku, anak durhaka. Aku, si anak durhaka!
Tapi sedetik, dua detik… aktivitas berjalan normal seperti tak terjadi apa-apa. Tidak seperti bayanganku semula. Aku sudah membayangkan Papa akan jantungan atau stroke begitu melihatku, lalu Mama pingsan dan Mas Keling mengompor-ngompori sehingga suasana akan semakin memanas. Ada piring terbang, sumpah-serapah atau golok yang diacung-acungkan. Rumah menjadi kacau seperti saat aku kabur dulu.
Ternyata tidak seperti itu… Rumah sedemikian damai laksana surga. Di ruang tengah TV menyala dengan volume kecil - berita politik dalam negeri, melihatku tak ada reaksi yang berlebih. Memang sih, Papa dan Mama tampak shock sesaat. Lalu seperti melihatku pulang sekolah seperti hari-hari biasa. Papa cuma menggeleng-gelengkan kepala tobat, lalu Mama mengelus-elus dadanya. Selanjutnya kedua orang itu saling pandang dan melempar senyum mesra. Seolah berkata, 'Ayam peliharaan kita, akhirnya pulang ke kandang.'. Mungkin maksudnya senyum lega, tapi tampak olehku adalah senyum mesra.
Giliran aku yang bengong. Aku tak tau apa yang harus. Orang-tuaku tak memperlakukanku sebagai anak durhaka. Menyambut putri mereka yang sempat hilang dengan reaksi yang standar. Akhirnya aku cuma tersenyum kaku, lalu mencium tangan mereka seperti kebiasaanku habis pulang sekolah. Papa menepuk-nepuk punggungku sebagai penegasan bahwa aku tak boleh mengulangi kesalahan ini lagi. Mama menciumi pipiku, mungkin maksudnya, 'Syukur Nak, akhirnya kamu insyaf juga.'. Tak ada pertanyaan, makanya aku tak perlu pusing menyediakan jawaban. Dan yang lebih penting, adegan drama si Anak Durhaka bersimpuh di kaki kedua orang-tuanya – sambil menangis meraung-raung tak perlu kulakukan. Mereka sudah memaafkanku.
Mas Keling segera menuntunku masuk ke kamar, lalu berbisik, "Cepat ganti kostum anehmu itu!"
Di dalam kamar aku baru menyadari memang gaun pengantinku ini terlihat sangat aneh, Seperti none-none kabur dari pemakaman Belanda.
*****
Pagi ini aku boleh menjadi anak yang paling manja. Bangun tidur sudah ada susu di samping tempat tidurku. Mama menyapaku dengan senyum terkasihnya. Mas Keling berbuat baik padaku dengan meminjamkan koleksi film-film favoritnya. Sedang Papa, suaranya berubah lembut jauh dari kesan arogan. Sungguh! Perhatian mereka itu membuatku malu. Betapa egoisnya aku selama ini pada orang-tuaku sendiri.
Setelah mengetahui betapa gundahnya mereka beberapa hari ini, tidur tak nyenyak, makan tak enak – itu kata Mas Keling, Papa dan Mama sedih bukan kepalang atas kepergianku itu. Belum terlambat kalau aku ingin menebus semua kesalahanku. Apapun kata mereka akan kuturuti.
Contohnya, ketika Mama melarangku keluar rumah dengan alasan takut keluarga Wie dendam padaku atas pembatalan pernikahan itu, aku menurut saja. Kata Mama keturunan Tionghoa itu persaudaraannya kental, bisa saja perkumpulan Tionghoa yang tergabung dalam kelompok gangster akan menculikku dan membuat perhitungan padaku. Ah Mama, terpengaruh sekali dengan berita pembantaian di koran yang memang kebanyakan pelakunya bermata sipit. Meskipun aku tau hal itu sangat tak mungkin, aku menurut saja.
Atau ketika Papa melarangku berhubungan lagi dengan Wie. Katanya Wie adalah pembohong besar yang jelas-jelas ingin menyesatkanku. Tak jelas agamanya, meragukan keimanannya, bla-bla-bla… aku diam saja. Kubiarkan Papa mengumpat Wie, orang yang masih kucintai.
"Kamu itu, … gila tau nggak?" Mas Keling mengusik ketenanganku.
Di ruang tengah yang senyap ini – pukul sepuluh malam, Mas Keling ngomong sambil berbisik-bisik supaya tak ada yang mendengarnya. Volume film yang kutonton dia mute.
"Apaan sih?" Seperti biasa aku merasa terganggu oleh sikapnya.
Mas Keling mendekatiku, dengan lagaknya yang acuh tak acuh seolah tak butuh jawaban, akhirya dia gatal juga. "Coba kamu menuruti omongan Papa. Nggak perlu kan ada kekacaunan ini?"
"Kekacauan apa?!" aku berusaha merebut remote DVD, tapi gagal.
"Ya yang gila ini. Kamu kabur dari rumah. Papa berurusan dengan Polisi. Sekarang kamu malah kabur dari pernikahanmu dengan Wie."
Aku bersungut-sungut.
"Bisa kamu bayangkan nggak bagaimana perasaan Wie atau keluarganya yang kamu tinggalkan itu?"
Aku berubah serius. Apa nih maksudnya? Aku mengernyit ke arah Mas Keling. Mencerna lebih jauh arah dan tujuan dari pembicaraannya kali ini. Wah-wah, Mas Keling mulai mengorek-ngorek lagi. Sepertinya dia mendapat mandat dari Papa dan Mama untuk menanyaiku lebih lanjut. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku pernah kecolongan satu kali dan aku tidak mau membocorkannya lagi.
Sebenarnya aku memang punya rencana. Aku pasti menghubungi Wie bila waktunya tepat nanti. Wie pasti bisa memaklumiku. Kami akan menyusun rencana yang lebih matang supaya semuanya berjalan dengan baik. Tapi bukan sekarang.
Kubiarkan Mas Keling dengan rasa penasarannya.
"Menurutmu bagaimana?" dia mengejarku.
Aku tak segera menjawab. "Mas, sebenarnya aku tuh sekarang lagi bingung sekali. Trus, aku mesti gimana dong? Apa aku harus ke rumahnya Wie sekarang juga dan meminta maaf, lalu menjelaskan duduk permasalahannya supaya kami bisa menikah ulang?"
"Oh, nggak-nggak-nggak!"
"Trus, mesti gimana dong?"
Mas Keling diam tak bisa menjawab. Akhirnya dia mengangguk-angguk memahami kesulitanku. Meski agak diragukan. Mas Keling tak semudah itu berpihak kepadaku. Aku harus menciptakan peluang.
"Aku menyesal Mas atas semua kejadian ini. Aku juga tak mau membuat Papa dan Mama khawatir, atau mengecewakan Wie dan keluarganya. Tapi aku bingung sekali. Mas pernah jatuh cinta kan? Dengan Mbak Riri yang Mas cintai itu, bagaimana perasaan Mas kalau Papa dan Mama menghendaki Mas memutuskan hubungan dengan Mbak Riri. Apa Mas mau menyerah begitu saja?"
Mas Keling bungkam. "Tapi ini masalahnya beda, Cahya…," katanya pelan.
"Ya, masalahnya beda…. Tapi perasaan cinta yang kita miliki pada orang yang kita cintai itu sama."
"Aku dan Riri seiman?"
"Wie baik meskipun kami tidak seiman?"
"Dia mengajakmu kabur, itu yang salah."
Aku menghela napas panjang. Dilihat dari sudut pandang manapun aku dan Wie jelas salah. Tak seorang pun akan membela kami. "Semua sudah terlanjur, Mas," kataku akhirnya.
Mas Keling berpikir beberapa saat, lalu memberi saran yang sebelumnya sudah kutebak, "… menurut Mas, memang sebaiknya kamu melupakan Wie."
Aku tak menjawab, cuma mengecohnya dengan anggukan pasrah. Semoga anggukanku ini akan diceritakan Mas Keling pada Mama dan Papa, sebagai penegasan bahwa aku bersedia melupakan Wie.
Sepeninggal Mas Keling aku jadi berpikir. Di dalam kamar aku mengulang-ulang pertanyaan yang sama. Bisakah aku melupakan Wie? Tidak. Tidak mungkin dan mustahil! Hati dan seluruh jiwaku tidak mungkin mengingkari Wie. Meskipun bibirku bisa berbohong di depan keluargaku, atau bersikap seolah-olah aku telah menjauhinya. Itu semua dusta. Sampai kapanpun aku akan mencintai Wie!
Malam berbintang menjadi saksi dan biasanya penyakit rinduku kambuh. Sialan karena penyakit ini tidak ada obatnya, melainkan Wie. Aku jadi ingat saat kami bermalam di villa murahan di daerah Songgoriti beberapa hari yang lalu, Wie begitu manisnya memperlakukanku, menjadikan hidupku penuh warna. Seharusnya aku telah menjadi Nyonya Ping Wie sekarang. Wie menjadikanku istimewa.
Aku pernah bersandar di dadanya dan kudengar bunyi jantungnya, itu membuatku rindu. Aku pernah menatap mata sipitnya yang bening dan jenaka, itu membuatku rindu. Apapun yang melekat pada dirinya membuatku rindu. Rinduku pada Wie menggebu-gebu. Sialan karena rinduku ini tak ada penawarnya, melainkan Wie!
Meskipun Wie marah padaku. Aku rela dihujat dan dicela, asal dia tak membenciku. Akan kubuktikan itu. Dengan seluruh keberanian yang tersisa akhirnya aku menghubungi Wie, dalam panggilan cepat. Pertama gagal. Berkali-kali dalam hening malam kucoba menghubunginya lagi dengan sembunyi-sembunyi. Lagi dan lagi. Mendengar nada sambung dalam gelap kamar di balik bantal, sia-sia. Hampir lima puluh panggilan menjelang subuh tak juga terjawab.
Wie benar-benar marah padaku. Atau malah membenciku?
Akhirnya aku terlelap dalam putus asa. Wie-ku terbang di alam mimpi. Aku melihatnya membenciku. Wajahnya kaku.
*****
Jika dihitung-hitung aku banyak ruginya akhir-akhir ini. Aku banyak berpikir tanpa melakukan apa-apa. Banyak menduga tanpa berusaha. Seharusnya waktu yang berharga ini kugunakan sebaik-baiknya.
Selepas SMU aku mendaftar di Universitas Negeri Malang. Sesuai dengan jurusan yang aku inginkan, Pendidikan Guru TK, disitulah aku diterima. Aku merasa beruntung diterima di sini. Meskipun terdengar rumor bahwa eks IKIP Malang ini akan menutup program D2 Keguruan aku tak bergeming. Toh nanti studiku bisa ditransfer ke S1 PGSD atau Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Memang sih, undang-undang baru mengharuskan bahwa minimal pendidikan guru adalah S1. Itu menjadi kriteria kesekian bagiku. Terus terang aku tak tertarik dengan embel-embel PNS atau atribut lainnya. Toh aku tidak ingin menjadi guru SD karena cita-citaku adalah guru TK. Ya, guru TK!
Aku menyukai anak-anak. Dari dulu aku menyukai anak-anak. Meskipun mereka merepotkan, susah diatur, bandel atau ngomongnya suka belepotan. Bagiku mereka tetap saja lucu dan menggemaskan. Mereka itu kritis, misalkan bertanya kenapa langit itu biru, hidung kita berlubang atau kenapa gajah itu besar? Seolah tinggal dalam alam imajinasi yang tak tersentuh dengan pola pikir yang unik. Di situlah rasa ketertarikanku pada mereka.
Orang-orang meributkan gaji atau honor guru TK yang sangat kecil. Katanya masa depannya suram. Bagiku itu tak masalah, minimal belum menjadi masalah bagiku karena aku punya tujuan yang lebih mulia dari itu.
Kelak, sebagai seorang guru aku ingin merubah dunia. Tidak saja pendidikan akademik, tapi juga memahami tumbuh kembang mereka, membekali mereka dengan pengetahuan yang luas dan yang terpenting adalah membentuk akhlaknya. Mereka adalah penerus bangsa. Masa depan bangsa kita ada di tangan mereka. Tentu saja cita-citaku itu sangat mulia dan tidak bisa dibandingkan dengan uang.
Wah-wah, di hari pertama masuk kuliah saja aku sudah berandai-andai berdiri di depan kelas menghadapi makhluk-makhuk mungil yang menggemaskan itu dan akhirnya mereka bisa kubimbing menjadi anak-anak yang menakjubkan. Akhirnya, di tanganku aku bisa merubah masa depan dunia! Ckckck, betapa mulianya seorang guru TK!
Papa dan Mama lega melihat perubahanku. Aku yang sebelumnya terlihat putus asa menjadi bersemangat kembali. Segala hal yang berbau anak-anak atau pendidikan TK kulahap dengan antusias. Mereka menyimpulkan aku telah melupakan Wie. Dengan setumpuk kesibukanku sekarang aku bisa melupakan Wie, itu tujuan mereka. Padahal sih, kalau mau jujur perasaanku pada Wie masih sama, tak berkurang sedikitpun.
Oya, di kampusku ini aku bertemu dengan banyak teman baru. Mereka pintar dan menyenangkan. Berdiskusi dengan mereka tak ada habisnya. Satu akar masalah biasanya bercabang menjadi beragam masalah. Akan diurai satu-persatu. Dibahas selama berjam-jam, atau menjadi pe-er di malam harinya untuk esok dibicarakan lagi. Kesimpulannya, banyak hal bisa didiskusikan di sini untuk dicari solusinya. Contohnya kasus yang sedang hangat dibicarakan. Meskipun bukan masalah anak TK, tapi ini menyangkut masa depan pendidikan. Dilansir dalam media cetak dan elektronik lainnya, bahwa pendidikan di Indonesia sekarang mengalami masalah yang sangat serius, terutama oknum pendidiknya. Mereka menciptakan istilah-istilah yang tak masuk akal, seperti uang pembelian bangku, uang suka-rela dan lain sebagainya. Korupsi sudah merambah dunia pendidikan. Dari ulah segelintir orang itu bisa merusak citra ribuan guru di negeri ini. Tentu saja kami marah.
Kami adalah calon guru. Semangat idealisme yang kami bangun bisa tercoreng karenanya. Akhirnya, dalam hitungan sepekan menjadi mahasiswa aku bersama teman-teman dan senior melakukan gerakan anti korupsi. Sebagai mahasiswa ingusan yang notabene anak bawang aku berkoar-koar diiringi yel-yel teman-temanku di depan gedung balai kota. Dalam suasana ricuh kusuarakan aspirasi bersama sebagai guru bersih anti korupsi. Dihadang dua kompi polisi, diiringi lagu Hymne Guru… bukan, sebenarnya bukan itu saja tujuanku. Lebih tepatnya aku sakaw karena tak kunjung bertemu dengan Wie.
*****
PTS,
Perkumpulan Tong Setan
Untuk yang tak punya tujuan selepas SMU tentu hidupnya susah. Meneruskan kuliah tak ada biaya sedang mencari pekerjaan belum tentu ada yang menerima. Akhirnya luntang-lantung seperti Huri. Cowok berwajah bonek itu tak tau harus kemana. Setelah putus cinta dengan Dona semangat hidupnya redup. Tak mungkinlah dia mengikuti Dona menjadi artis karena keterbatasan fisiknya. Bentuk kepalanya ketok magic dengan kulit sewarna ban. Kalaupun lolos casting paling-paling perannya tak jauh dari tukang tambal ban. Tak enak hati dia mendapat status barunya : pengangguran tulen!
Tiap pagi emaknya berkoar-koar, "Bangun Hur, cari kerja!" Masalahnya bukan dia malas kerja. Tapi dia tak tau apa yang harus dikerjakan karena dia tak punya keterampilan. Satu-satunya yang dia bisa adalah balap motor. Tapi ya itulah masalahnya, seperti pilot tanpa pesawat atau nakhoda tanpa kapal. Kemauan ngebut ada tapi motornya dia yang tak punya. Bulan lalu motornya yang sering mogok itu dijual untuk biaya khitanan adiknya. Nggak balik modal. Motor baru tak terbeli.
Huri sering menyesali dirinya. Coba kalau dia anak orang kaya. Dia pasti bisa menyalurkan bakat-bakat terpendamnya, menjadi pembalap nasional misalnya. Atau menjadi produser dari film yang Dona bintangi. Setelah kaya dan terkenal Dona pasti rela pacaran lagi dengannya.
Huri berandai-andai dalam kepulan asap rokok yang dia hisap sangat pelan supaya awet. Duit di saku celananya tinggal seribu-an. Itupun hasil membohongi emaknya. Katanya dia akan mencari kerja di daerah Blimbing. Sebagai ongkos naik angkot. Nyatanya dia nggak kemana-mana. Cukup jalan kaki beberapa langkah, trus nongkrong di pos ronda sambil bermalas-malasan. Biasanya menjelang Magrib baru dia pulang.
"Wie…!" spontan Huri berteriak. Dia mengenali motor balap yang melintas di depannya.
Motor balap warna hijau ngejreng itu direm mendadak. Huri tergesa menghampiri Wie.
"Yok opo khabare?" tanyanya penuh semangat.
Wie mematikan mesin motornya, lalu membuka helmnya. Wajahnya lesu.
"Wah-wah, hebat kamu Wie. Ck,ck,ck!" Huri menganggumi penampilan baru motor Wie. Banyak tulisan di sana-sini, seperti : Susuku ternoda, No girl no cry atau aku bukan pengemis cinta.
"Mau kemana?" tanyanya lagi.
Wie tak menjawab.
"Oo, aku tau. Lagi ngebut nyari duit ya, buat kawin?"
Wie ketus mengibaskan tangannya.
"Lho, bener kan aku ini? Kamu pekerjaan sudah mapan, cewek sudah ada?"
"Ahh… sudah, nggak usah ngomongin dia."
"Lho, kok aneh?" Huri mengendus sesuatu. Wajahnya berubah girang. Tiba-tiba dia menyimpulkan, "Ahh, aku tau. Aku tau… Kamu lagi bertengkar ya sama Cahya?"
Wie diam tak menjawab. “Putus!” katanya singkat.
“Sing bener?!” Huri tak percaya. “Kamu…, sama Cahya?!” Huri terkekeh. Baginya – sebelumnya, Wie dan Cahya adalah pasangan awet sepanjang masa. "Wie, Wie… ternyata kita ini sama. Sama-sama apek! Nggak nyangka, cowok berduit seperti kamu pun bisa ditolak cewek? Ternyata nasibmu lebih parah dari aku, Wie." Huri terkekeh lagi. Sebenarnya tak jelas siapa yang dia tertawakan. Dia jadi teringat Dona. Baginya, siapapun cowok yang patah hati atau putus dengan pacarnya adalah senasib dengannya. Huri menyumpahi seluruh cowok di dunia agar merasakan patah hati seperti dia.
"Ya sudah, yo wis… kita nggak usah membahas masalah ini. Perempuan di mana-mana itu sama Wie, menyebalkan dan sok jual mahal. Ya sudah, ya sudah, kita ngomong yang lain saja. Mau kemana kamu?" Huri mengalihkan pembicaraan.
"Ke bengkel, " jawab Wie singkat.
"Wah, enak kamu yo Wie. Begitu lulus sekolah sudah ada tempat yang menampungmu. Jadi bos lagi. Tenang Wie, tenang… pasti banyak cewek yang antre di belakangmu. Tidak seperti aku, luntang-lantung di jalan seperti gembel. Jangankan cewek, nyari kerja kesana-kemari susahnya minta ampun. Apesnya malah dijanjiin melulu. Cariin aku kerjaan dong, Wie!"
Wie menghela napas panjang.
"Ehh, beneran ini aku ngomong. Serius aku Wie." Huri memasang wajah memelas. Lalu dia berpromosi. "Aku bisa apa saja kok. Bongkar mesin tune up, steam motor atau isi angin. Bengkelmu itu kan rame Wie, pasti butuh tenaga kerja tambahan. Aku saja yang dijadikan pegawaimu, ya? Aku ini orangnya teliti dan cekatan, jujur, bisa dipercaya dan mau bekerja keras. Nggak usah nyari orang lain. Beneran ini aku ngomong. Aku lagi butuh kerja, Wie."
Wie tak segera menjawab. "Susah Hur, bengkel lagi sepi," kata Wie kemudian.
Wajah Huri jelas kecewa. Sorot matanya putus asa seperti penderita kanker stadium empat. Wie jadi tak tega melihatnya.
"… tapi, kalau kamu mau… ya sudah, ayo ikut aku!" Akhirnya Wie memutuskan lain.
Huri tak percaya. "Hahh, beneran Wie?!" Kali ini seperti bocah sakit batuk yang diperbolehkan makan permen. "Kerja apaan?" Senang bukan main.
"Sudah, ikut saja dulu!"
Huri segera membuang putung rokoknya dan meloncat ke dalam boncengan Wie. Wie segera menjalankan motornya.
*****
Setelah mereka melewati jalan-jalan tikus karena Huri tak memakai helm, akhirnya mereka tiba di daerah Pujon. Sebuah stand pasar malam terlihat semarak di tengah tanah lapang di pinggir sawah, berhias umbul-umbul dan spanduk.
Pikir Huri, apa di sini ada bengkel? Oo, mungkin Wie membuka bengkel baru di daerah sini.
Huri mengikuti saja di belakang Wie, dengan semangat dan antusias. Ternyata Wie menuju stand tong setan. Di dalam ada satu orang yang langsung menyambut kedatangan Wie. Mereka bersalaman.
"Wie… pa – khabar, Wie?" Laki-laki berkumis tebal berdialek Madura itu menyalami Wie dengan hangat. Kaos singlet yang dipakainya terlihat kekecilan oleh perut buncitnya. Kulitnya hitam legam, tapi senyumnya ramah. "Nang-senang sekali kamu ke sini," katanya kemudian.
"Tau… lah Pak Makmur. Saya pasti tau Pak Makmur ada di mana. Malang seberapa besar sih?"
Orang yang dipanggil Pak Makmur tadi terkekeh.
"Masih kosong, Pak?" Wie menunjuk area tong setan.
"Ya… begitulah Wie. Selain kamu, pa-siapa lagi yang berani tampil?"
"Wah… kebetulan, Pak. Saya ada perlu nih, Pak? Ini teman saya…," Wie mengenalkan Huri pada Pak Makmur. Huri mengangguk hormat pada Pak Makmur.
"Huri, Pak." Huri menyambut uluran tangan Pak Makmur.
"Panggil ja-saja saya Pakdhe Kumis."
Huri mengangguk-angguk patuh.
"Teman saya ini butuh pekerjaan, Pak." Kata Wie kemudian.
"Ohh… "
Melihat reaksi Pak Makmur Huri berseri.
"Pekerjaan, ta' iye?" Pak Makmur mengulang penyataan Wie.
Huri mengangguk-angguk. "Iya pak, saya butuh pekerjaan."
"Ada, ada…."
"Ada, Pak?"
Pak Makmur gantian mengangguk. "… membersihkan dang-kandang macan."
"Hahh?!"
Huri pucat. Pak Makmur terkekeh. Wie tersenyum geli.
"Pak Makmur ini suka bercanda Hur, jangan diambil hati."
Giliran Huri yang sewot. Tapi akhirnya dia tersipu malu.
"Punya keahlian, ta' iye?"
"Saya bisa bengkel Pak."
Pak Makmur menggeleng. "Ni di sini tak ada bengkel…"
"Mm, mungkin begini saja Pak Makmur," Wie memotong pembicaraan Pak Makmur. Supaya lebih jelas dan praktis. "Teman saya ini selain bengkel juga bisa balapan. Dulu kami sering balap liar, kenalannya juga di jalanan Pak. Dia bisa atraksi tong setan tak kalah hebatnya dengan saya. "
"Hahh?!" untuk kedua kalinya Huri pucat. "Bercanda kamu?"
"Bayarannya gedhe, Hur."
Mendengar honornya gedhe Huri terdiam.
"Saya yakin, kalau dia yang main duit yang terkumpul lebih banyak dari yang saya hasilkan. Atraksinya lebih dasyat dari yang biasa saya mainkan. Daripada tong setan ini nganggur nggak ada pemainnya? Iya kan, Hur?"
"Nar – benar kamu bisa atraksi tong setan?" Pak Makmur ragu, seragu-ragunya.
"Mm…." Huri garuk-garuk kepala. "Sebenarnya begini Pak. Saya sering balap liar di jalanan dan memang bisa atraksi macam-macam."
"Dia itu bisa lepas stir dan break-dance di atas motor lho, Pak," Wie berpromosi.
"Tapi kalau atraksi di dalam tong setan, terus-terang Pak saya belum pernah mencobanya," Huri melanjutkan.
"Na… tu – itulah masalahnya."
"Tapi saya mau mencobanya kok, Pak."
"Iya Hur, bayarannya gedhe lho." Wie menyemangati.
"Saya mau, Pak!" akhirnya Huri berubah pikiran.
"Tong setan tak sama dengan lan – jalanan aspal, taiye." Pak Makmur tetap menggeleng. "Ya-saya tak berani ko-resiko. Ini urusannya nyawa, anak muda. Kalau nanti terjadi kecilakaan, siapa yang gung-tanggung-jawab? Bisa ditutup pasar malam saya sama si-polisi?"
"Tolong lah, Pak…." Wie minta kesempatan.
“Tapi….” Pak Makmur punya jalan keluar. "Kecuali kalau kamu yang main, Wie. Ya-saya yakin terima kalian berdua kerja di sini."
Skak mat.
Alhasil, malam itu memang Wie lah yang ditakdirkan tampil. Sedang Huri dipercaya sebagai tukang sobek karcis untuk kemudian keliling mengumpulkan uang saweran.
Wie sadar bahwa dia telah melanggar janjinya pada Cahya, bahwa dia tak akan main tong setan lagi. Tersalurkan sudah kekecewaannya. Dia butuh pelampiasan, tepatnya dia ingin melakukan pembalasan. Segala bentuk perbuatan yang dilarang Cahya akan Wie lakukan. Benar kata Huri, persetan dengan perempuan.
Roda gila itu memang menjadi gila. Putarannya sudah tak waras lagi. Seiring dengan sorak-sorai penonton yang mengelu-elukan Wie bak bintang Hollywood dalam film Fastest. Sementara Huri sibuk mengumpulkan lembar-lembar rupiah, sesekali meraup langsung dari tangan Wie. Suasana gegap-gempita sekaligus tegang. Roda motor Wie telah menggerus papan-papan tong setan, menimbulkan bunyi derit yang menegangkan, lalu melayang akrobatik… seperti elang terkena peluru nyasar, roda motor Wie mendarat tak sempurna menimbulkan bunyi gedubrak bersamaan dengan teriakan para penonton. Motor itu terjatuh dari ketinggian 7 meter, sempat menyeret Wie beberapa detik. Untuk selanjutnya Wie terkulai tak bergerak lagi.
*****
Pukul dua dini hari seluruh anggota keluarga Wie berkumpul di depan ruang ICU RS Baptis - Batu. Wie masih belum sadarkan diri, masih dilakukan berbagai pemeriksaan seperti kemungkinan keretakan tulang sampai CT Scan untuk melihat kemungkinan pendarahan di otak. Adik-adik Wie berpelukan dan bertangisan sedih. Sementara Mamanya dua kali pingsan.
Orang yang merasa paling bersalah atas kejadian ini tentu saja Huri karena dialah yang membawa Wie dalam petaka ini. Dia terus-terusan menyalahkan dirinya, merasa sangat berdosa karena telah mencelakakan teman sebaik Wie. Sejauh ini Dokter belum memberi keterangan yang jelas tentang kondisi Wie. Makanya semua menjadi bingung, beranggapan bahwa Wie pastilah parah.
Huri mondar-mandir tak jelas apa yang dilakukannya. Sedang adik-adik Wie dipimpin Papanya tak henti-hentinya berdo'a. Mama Wie telah siuman untuk kemudian pingsan lagi.
Akhirnya Huri memencet beberapa nomor dari hp Wie, berharap mendapat dukungan dari seseorang. Kosa-katanya berantakan dengan suara gemetar. Karena pikirannya kacau dia berbuat agak-agak ngawur, entahlah.... Suara itu sangat merdu.
"Aku sangat menyesal, Don…." Huri sendiri tak mengerti kenapa dia menghubungi Dona.
"Tenang Huri, tenang…. "
"Kalau saja aku tak meminta bantuan Wie, pasti semua akan baik-baik saja."
Tekanan batin yang dialaminya melebihi orang sekarat. Huri pernah beranggapan bahwa hidupnya penuh kutukan. Siapapun yang dekat dengannya bisa tertimpa sial.
"Okey, kamu tenang dulu ya. Aku segera ke sana."
Rupanya hal itu tak berlaku bagi Dona. Ya, cuma Dona lah satu-satunya gadis yang perduli sama dia. Selain cantik, penuh perhatian, Dona adalah satu-satunya gadis yang pernah dekat dengannya. Dia pasti membantunya di saat susah seperti ini, paling tidak bisa memberinya dukungan moril. Dulu sewaktu SMU Dona pernah berkata, bahwa apapun yang terjadi di antara mereka berdua, Dona berharap mereka masih bisa bersahabat. Huri terlanjur sakit hati dan merasa dikhianati. Waktu itu dia tak sudi berhubungan lagi dengan Dona. Rupanya Tuhan mempunyai maksud lain. Sekarang rasa frustasinya justru membawanya pada Dona.
Sekitar dua jam Huri menunggu dengan harap-harap cemas, gadis yang dipujanya itu pun muncul. Perasaannya campur-aduk setelah beberapa waktu mereka tak bertemu.
"Ini salahku! Ini salahku!"
"Stop menyalahkan diri sendiri. Please Huri… ini bukan salahmu, ini kecelakaan."
Kalimat yang keluar dari bibir seksi itu selalu menentramkan hatinya. Sikap Dona masih manis, tak berubah sedikitpun dari saat SMU.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Dona kemudian.
Pantaslah Huri tak bisa melupakannya. Huri menggeleng lesu. "Nggak tau Don. Kami belum boleh masuk."
"Apa Cahya sudah tau?"
"Sebaiknya jangan!”
“Tapi, kita harus telpon dia dong….”
Huri menggeleng, bersikeras. “Jangan, Wie sangat membencinya.”
Selanjutnya Huri dan Dona berbisik-bisik kecil bercerita panjang lebar. Lumayan lama mereka tak bersua. Papa dan adik-adik Wie menengok ke arah mereka dengan pandangan kurang suka. Dona meralat sikapnya. Dia segera menyalami satu-persatu keluarga Wie. Sebelum Dona bertanya lebih lanjut, Mama Wie telah siuman dan Dona segera menghampirinya.
"Sabar ya Tante, Wie pasti akan baik-baik saja. Saya janji, saya akan ikut merawat Wie sampai Wie sembuh." Dona membesarkan hati kedua orang-tua Wie.
Meski Mama Wie menangis lagi, orang-tua itu sempat menepuk punggung tangan Dona sebagai ucapan terima-kasihnya.
Akhirnya pintu ICU pun terbuka. Dokter menyarankan mereka bergantian masuknya. Pertama tentulah Mama dan Papanya, setelah sambil lalu mereka mendapat keterangan dari dokter tentang kondisi Wie, tak jelas apa yang mereka bicarakan. Lalu adik-adik Wie masuk dan mereka keluar dengan bertangisan. Barulah Huri dan Dona berkesempatan masuk.
Suasananya langsung terasa beda. Dengan bunyi tut-tut-tut alat pendeteksi jantung. Wie telah memakai baju pasien yang sangat tipis itu, tanpa noda darah seperti sebelumnya. Tapi selang ada dimana-mana, berseliweran di badannya. Ada alat pendeteksi jantung, oksigen, infuse, kateter….
"Wie… " Huri tak kuasa berkata-kata.
Tak ada jawaban karena Wie masih tak sadarkan diri.
Dona menutup wajahnya karena tak tega melihat pemandangan di depannya. Rasanya sulit Wie bertahan dengan kondisi seperti ini.
*****
Spekta
Hujan turun pertama kalinya di bulan September. Membuat alam menjadi indah. Sesudahnya, warna daun lebih hijau dari sebelumnya. Langit lebih bersih atau udara lebih segar dari sebelumnya. Beragam kupu-kupu terbang dari kuntum satu ke kuntum lain.
Koridor rumah sakit ini lebih mirip taman bunga di sebuah villa di daerah puncak. Desainnya tertata dengan indah dan menarik. Ditambah embun di pagi hari atau tempias hujan yang selalu membawa kesejukan. Harapan yang tak pernah pudar.
Ini sudah minggu kedua. Wie telah melewati masa kritisnya dan itu melegakan semuanya, setelah berhari-hari dia melawan rasa tak berdaya dan putus asa. Tapi dia belum diperbolehkan pulang. Kata Dokter terjadi penggeseran atau patah tulang pada kedua tangan dan kaki kanan Wie. Butuh waktu lama untuk kembali normal seperti sedia kala. Terapi harus dilakukan berulang-ulang. Setidaknya, bila Wie telah cukup kuat dan terlatih menggunakan kruk barulah dia diijinkan pulang.
Sebenarnya Wie sangat bosan di sini. Kerjanya cuman makan, tidur, baca koran, nonton tv. Masih untung tangan kirinya mulai berfungsi. Sebelumnya, untuk minum ataupun makan saja dia harus disuapi. Yang memalukan untuk urusan ganti baju dan bersih-bersih, saat diwaslap dan membersihkan organ-organ tertentu. Kalau sama Mamanya masih mendingan. Giliran yang jaga adik-adiknya atau Huri dan satu nama lagi yang membuat mukanya langsung memerah, Wie sama sekali tak berkutik.
Namanya Dona, lengkapnya Rachel Primadona. Wie baru menyadari bahwa gadis itu ingin terlibat jauh dalam kehidupannya. Saat dirinya terkapar tak berdaya gadis itu berkuasa. Entah apa yang dicarinya di sini. Sepanjang waktu gadis itu selalu ada di sampingnya, memberikan apapun yang Wie butuhkan, sampai dia merasa tak enak hati dibuatnya.
Wie menyimpulkan ada yang salah pada gadis ini. Minimal pada perlakuannya yang agak-agak aneh itu. Meskipun dia baik, sangat perduli dan penuh perhatian. Wie merasa semua tidak pada tempatnya.
Contohnya begini,
Pagi-siang-sore-malam Dona tak pernah beranjak dari kamarnya. Saat jam sarapan yang agak kesiangan, setelah para suster meletakan piring-piring makanan beserta obat lalu pergi meninggalkan kamar rawat, Dona telah bersiap dengan senyum termanisnya. Wajahnya selalu bersemangat dan semangat itulah yang ingin dia tularkan pada Wie. Biasanya dia langsung meraih piring-piring itu dan membuka satu-persatu plastik penutupnya.
"Makan dulu ya…." Dona tak pernah bertanya, melainkan langsung menyuapkan sendok itu ke mulut Wie.
Jika Wie tak kunjung membuka mulut, Dona akan beralih memencet hidung Wie hingga Wie megap-megap membuka mulutnya. Barulah sendok itu disuapkan ke mulut Wie. Begitu seterusnya hingga menu pagi itu habis termakan Wie.
Atau kadang-kadang di siang hari, bila Wie ingin buang air kecil…. Dona tak segan-segan memapah badan Wie ke kamar mandi sembari bercerita hal-hal konyol untuk memancing sedikit senyum di wajah Wie. Kadang Dona ikut masuk ke dalam untuk membuka atau mengaitkan kancing celana Wie bila Wie kesusahan melakukannya. Meski malu bukan kepalang, Dona menganggap itu sesuatu yang wajar karena Wie butuh pertolongannya. Kadang itu berhasil.
Sore adalah waktunya waslap.
Dan di malam hari biasanya mereka berbincang ringan. Saat itulah Wie sering berandai-andai, coba yang ada di sampingnya itu adalah Cahya bukan Dona? Cahya adalah gadis yang dicintainya, bukan Dona yang bukan siapa-siapanya. Wie kecewa karena gadis yang dicintainya justru tak memperdulikannya, selalu tak ada tiap Wie membutuhkannya.
Jelas perlakuan Dona melebihi Cahya. Huri saja sampai sewot dibuatnya. Meski Huri tak bisa berbuat apa-apa. Baginya Dona adalah burung merpati yang bebas terbang kemanapun dia suka. Rupanya Dona lebih suka terbang ke arah Wie.
Bukankah ini berlebihan? Pantas para suster beranggapan bahwa Dona adalah pacarnya Wie.
Sampai di sini Huri mencium gelagat tak baik.
Wie sadar akan hal itu. Makanya dia berusaha menjaga jarak. Lagipula dia belum siap dengan segala bentuk hubungan baru. Pikirannya masih dipenuhi oleh Cahya. Tapi siapa yang bisa menghentikan Dona?
Pada gadis yang selalu menemaninya ini Wie selalu berkata bahwa dia tak perlu serepot itu. Menjadikan Wie tak enak hati. Tapi Dona tetap tak perduli.
Dia gadis yang menarik.
Serapat apapun hatinya tertutup, Wie tetaplah cowok normal yang punya nurani. Lambat laun pemikirannya berubah. Dia tak boleh berharap pada sesuatu yang tak bisa diharapkan.
“Kenapa kau sebaik ini padaku?” suatu hari Wie pernah bertanya.
“Demi Bapa Pengembala yang baik….”
Tak mungkin itu keluar dari mulut Cahya.
“… Aku tak pernah bertemu cowok se-gentle kamu, Wie.”
“Trus?”
“Jika kau tak berjodoh dengan Cahya, anggap saja aku Cahya dan aku akan bahagia bersamamu!”
Siapa yang bisa menghentikan Dona?
Gadis bule itu mencium bibirnya dengan spontan. Wie terpejam dan menganggap itu memang dari Cahya.
Bagi Huri ini kutukan. Hidupnya tak pernah manis, berlompatan dari kutukan satu ke kutukan selanjutnya.
*****
Ciuman itu berlanjut pada ikrar suci di sebuah gereja terbesar di kota ini. Belum genap tiga bulan, undangan itu sampai di tangannya dan hatinya hancur berkeping-keping seperti gelas yang sengaja dibanting dari ketinggian ratusan kilometer. Beginikah cara pembalasan Wie?
Huri mengantar undangan itu dengan tangan gemetar. Wajahnya pucat seperti mayat hidup. Sama ketika tangannya membuka lalu membaca nama yang tertera di dalamnya berikut foto prawedding, Cahya juga gemetar. Bibirnya kelu tak bisa berkata. Huri berharap ada keajaiban. Dia berharap ada kesalahan.
Ketika tubuhnya berdiri di depan gereja terbesar itu, anggap saja nyawanya sudah melayang. Cahya menyaksikan segalanya sedang air matanya tak kunjung kering, berlelehan di kedua pipinya. Hatinya hancur seperti gelas yang sengaja dibanting.
Seharusnya dia tak boleh selemah itu. Ini memalukan karena dia datang bukan untuk kalah. Dia ingin mengamuk atau mengacaukan pernikahan itu – mencakar kedua mempelainya kalau perlu, lalu bertanya mengapa mereka tega berbuat sekejam itu?
Jelas ini salah! Keduanya menyalahi aturan yang telah mereka sepakati. Mereka menipu banyak orang termasuk setan dan malaikat termasuk seluruh penghuni alam. Mereka berdusta! Wie seharusnya ada di Singapura. Sedang Dona ada di Jakarta untuk mengejar cita-citanya menjadi artis terkenal. Mereka tak saling kenal apalagi saling cinta….
Tak mungkin mereka berpasangan.
Tapi sepasang pengantin itu sangatlah berbahagia, tampaknya. Mereka sengaja mengumbar kemesraan itu dimana-mana. Membuat iri siapapun yang melihatnya. Dikelilingi para kerabat dengan ratusan undangan yang berebutan memberi selamat. Mereka adalah pasangan yang penuh kasih. Gaun pengantinnya pun menjuntai-juntai sepanjang sepuluh meter. Serba mewah dan pasti telah dipersiapkan dengan matang. Gapuranya pun berhias bunga hidup warna-warni berikut karpet merahnya. Saat white lilies itu terlempar… semuanya bersorak-sorai berebutan menangkap buket. Pengantin yang diberkati.
Sempurna!
Sekarang mereka adalah dua orang yang telah dipersatukan.
Bagi Cahya dua-duanya adalah pengkhianat - mereka dipersatukan dalam dusta!
Saat kedua mempelai berlarian menuju mobil pengantin – sambil berciuman tentunya, Cahya justru meringsek di balik pohon cemara. Air matanya berlelehan. Tak ada yang memperdulikan kehadirannya karena dia seperti arwah gentayangan yang tak dikehendaki kedatangannya. Ternyata dia tak bisa berbuat apa-apa.
*****
Musim Semi Kedua
Ternyata hal yang paling menyakitkan di dunia ini adalah putus cinta – setidaknya itulah yang kurasakan saat ini. Hidupku menjadi tawar dan hambar. Hari-hariku tak berwarna lagi karena semuanya tampak sama, kelam.
Aku terseok-seok berusaha meneruskan hidupku meski semuanya sudah tak sama. Banyak yang membodoh-bodohkan diriku. Selain Mama-Papa-Mas Keling, ada beberapa teman baruku yang memberi saran dengan ucapan enteng.
“Sudah… kalau ditinggal kawin, ya cari saja gantinya!”
Tidak semudah itu, Kawan!
Kalau kita kehilangan barang, kita bisa membelinya dengan barang baru. Tapi ini masalah hati, siapa yang bisa menggantinya?
Menurutku memang salah dari awal. Opsiku cuma tiga: yaitu rencana A, rencana B dan rencana C. Ketiga-tiganya kujalani dengan Wie. Giliran Wie kabur aku bingung harus menggantinya dengan apa. Seharusnya aku tak boleh mempercayakan masa depanku pada orang lain – apalagi pada cowok brengsek dan tak bisa dipercaya seperti Wie.
Entah bagaimana dengan kehidupannya selanjutnya, aku sudah tak perduli. Tepatnya aku berusaha melupakan nama itu, sengaja kuciptakan sebuah penyakit supaya aku alergi mendengarnya. Meski tanpa sengaja ada saja yang mengabarkan keberadaan mereka. Wie dan Dona terbang ke Singapura juga. Itu adalah rencana B ku dulu. Brengsek kan? Dia tak mengajakku tapi menjiplak rencanaku. Tapi sudah lah, aku tak perduli.
Sekarang inilah aku.
Meski dengan hati yang terbelah aku masih kuliah.
Bersyukur….
Impianku hancur tapi aku masih punya cita-cita.
Bersyukur….
Guru TK adalah pekerjaan yang mulia.
Bersyukur….
Aku sering meratapi kepergiannya.
Untuk yang satu ini, ternyata aku tak pernah merelakannya….
Ini bukan hitungan hari lagi, karena sudah berbulan-bulan aku menutup pintu hatiku rapat-rapat. Sakit hatiku tak kunjung sembuh.
*****
Di sini aku suka merenung. Tanpa teman, bengong sendiri dan tak berbuat apa-apa. Sesukaku. Tak ada yang tau bahwa aku sering ke sini. Gang kecil di samping kampus yang bersebelahan dengan lapangan bola ini adalah gang buntu. Untung ada kursi kayu panjang – yang sebenarnya sih sudah tak layak pakai, mungkin pemiliknya bingung akan membuangnya kemana jadi akhirnya ditaruh saja di sini. Aku suka duduk-duduk di situ. Tempatnya sejuk dan teduh.
Di ujung gang berjejer kembang sepatu yang mulai bermekaran. Hobiku sekarang adalah memandanginya berlama-lama karena aku dulu ikut menanamnya sebagai program ‘taman indah’ dari kampusku.
Tiba-tiba ada yang menggelitik pendengaranku.
“Borobubur adalah warisan leluhur kita yang harus kita lestarikan. Salah satu dari tujuh keajaiban di dunia ini terletak di Magelang, Jawa Tengah. Merupakan candi Budha yang dibangun oleh raja Samaratungga dari dinasti Syailendra pada tahun 824 Masehi. Bangunannya sendiri berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Kesepuluh tingkatan ini menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana, sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Budha.”
Aku teringat Kunto Bimo. Dulu di Borobudur - Kunto Bimo menjodohkanku dengan Wie dan aku percaya. Tapi aku menghujatnya kini. Meski demikian aku tidak membenci Borobudur. Borobudur tetap membuatku kagum karena bagiku dia tidak bersalah.
Suara itu berasal dari balik tembok lapangan, menerangkan berbagai keistimewaan Borobudur. Tembok di depanku tingginya sekitar tiga meter, berkeliling rapat membentengi lapangan bola. Secara spontan aku menjejakan kakiku menaiki kursi kayu untuk melihat ada apakah gerangan? Kursi kayu reyot itu sedikit oleng oleh bobotku, tapi aku tak perduli. Tanganku menggapai-gapai puncak tembok dengan kaki berjinjit.
Hebat sekali orang ini. Menjadikan lapangan bola multifungsi sebagai tempat belajar-mengajar. Dia pastilah guru sejarah yang kehabisan kelas. Semangat mengajarnya luar biasa. Bahkan dia hapal diluar kepala letak koordinat candi Borobudur – mengutip persis angka-angka Wikipedia yang juga kuhapal. Mulutku tak henti-hentinya berdecak kagum.
Ya, tentu saja sebagai orang Indonesia kita harus bangga mempunyai Borobudur, hukumnya wajib! Salah satu – eks keajaiban dunia ini adalah warisan leluhur yang tak tertandingi nilai sejarahnya. Terkenal di seluruh dunia dan banyak dikunjungi wisatawan manca negara. Bule saja bangga mengunjunginya.
Sudah lama aku tak ke sana. Terakhir kali waktu study tour kelas dua SMU itu. Sempat terlintas di kepalaku, suatu hari aku akan kembali ke sana untuk meminta pertanggung-jawaban Kunto Bimo karena sudah membohongiku. Atau, perlukah kusentuh tumit Kunto Bimo lagi untuk menemukan jodoh keduaku?
Dengan susah-payah akhirnya kepalaku berhasil menjangkau batas tembok. Kulihat anak-anak berseragam pramuka duduk lesehan – sekitar duapuluhan anak, membentuk formasi setengah lingkaran. Sedang gurunya duduk jumawa membelakangiku. Beberapa dari mereka cekikikan melihat penampakan di belakang gurunya, itu adalah aku. Aku sangat tertarik dengan pelajaran mereka.
“Ada yang tau, apakah nama Stupa tertinggi di Borobudur?”
“Unfinished Buddha!”
Semua mata memandang ke arahku. Aku spontan menutup mulutku.
Gubrakkk!
Kursi panjang yang kunaiki oleng dan menjatuhkanku. Untuk kemudian arak-arakan anak SD berseragam pramuka itu memutar jalan keluar lapangan bola untuk mengerumuniku, berikut gurunya. Mereka cekikikan.
“Pak Guru penah ke sana?”
Mukaku pasti memerah.
*****
Aku malu sekali. Setelah anak-anak kecil berseragam pramuka itu diperbolehkan pulang, mereka segera berebutan mencium tangan gurunya dan berlarian keluar gang. Sekarang tinggal kami berdua.
Guru ini ternyata masih muda. Perawakannya sedang dengan bulu-bulu di tangan dan sorot mata setajam elang. Senyumnya jenaka.
Aku tak tau harus bagaimana. Kursi panjang itu terbalik. Jadi kami berdiri mematung. Akhirnya kuputuskan untuk mulai bicara.
“Mm… maaf, … tadi saya lancang menjawab….”
Guru muda itu mengangguk. Tak segalak dugaanku.
“Pak Guru mengajar di sini? … mm, maksud saya di sekitar sini?”
Guru muda itu menggeleng.
“Pak Guru pasti guru sejarah!”
Guru muda itu menggeleng lagi. Aku jadi salah tingkah. Lalu senyumnya mengembang dengan penuh pengertian.
“Saya masih belajar di IAIN, jauh dari sini. Dan saya bukan guru sejarah karena saya asisten dosen di Fakultas Tarbiyah. Kebetulah saya lagi magang untuk tingkat Ibtidaiyah.”
Suaranya setenang angin sepoi-sepoi. Betapa tololnya aku.
“Adek sendiri?”
Dia memanggilku ‘Adek’. Hatiku jadi campur-aduk, antara kikuk dan malu. Aku tak pernah disapa dengan panggilan semanis itu.
“Mm, saya… saya kuliah di UNM, PGTK. Cahya…” Aku membalas angsuran tangannya.
“Ade’ pasti guru yang hebat.”
“Saya suka Borobudur….”
“Nama saya Malik. Jangan panggil saya Pak Guru. Panggil saja saya Malik!”
*****
Ternyata naluriku masih jalan. Bukan pilih-pilih sih sebenarnya. Kalau sebelumnya cowok di sini kuanggap standart, etnis lain selalu membuatku tertarik. Entah logatnya, warna kulitnya atau dari kebiasaannya yang diluar kebiasaanku. Karena keturunan Madura – Madura yang berbau-bau Arab tepatnya. yang satu ini tau kesukaanku, Borobudur! Wajar aku menyukainya.
Aku merasa kami sengaja dipertemukan, meski dengan cara sedikit aneh. Seperti sudah diatur, tiba-tiba saja kami bertemu lagi. Penjual gado-gado langganan Papa yang rutin kukunjungi di akhir pekan, Bu Haji Salma atau Umi Salma orang-orang memanggilnya - ternyata adalah ibundanya Malik. Bukan kenal lagi karena dari ingusan aku suka mampir ke warung itu. Kok ya baru sekarang aku ngeh bahwa Umi Salma mempunyai anak bernama Malik.
Kebetulan… hari itu Papa menyuruhku membelikan gado-gado kesukaannya di warung Umi Salma. Kebetulan… Malik sedang membantu ibunya saat itu. Kebetulan lagi dan kebetulan lagi… kami bertemu untuk kedua kalinya.
“De’ Cahya….?”
“Malik?!”
Kami masih mengingat nama, itu pertanda baik. Matanya yang tajam berbinar senang. Aku tersipu malu. Kami bercakap-cakap ala kadarnya dan hatiku riang bukan kepalang.
“Warung ini milik ibuku….”
“Pak Slamet yang bawa vespa biru, itu papaku.”
“Oo….”
Reaksi kami sama. Merasa lucu. Kami bersinggungan sekian puluh tahun, mondar-mandir di warung yang sama untuk transaksi yang sama pula, jual-beli gado-gado, tapi baru ngeh hari ini.
Selanjutnya, bungkusan gado-gado yang kuterima dari tangan Malik tampak olehku sebagai buket mawar yang sangat indah. Pertemuan itu membawaku pada musim semi kedua, setelah sekian tahun hatiku gersang tak tersentuh senyuman. Giginya putih berjejer rapi, pasti karena hobi bersiwak.
“Saya tak menyangka, Pak Slamet punya anak secantik Ade’?”
Hatiku berbunga-bunga. Aku malu bertingkah seperti abege, tapi aku berhak untuk jatuh cinta lagi. Sorot mata dan senyumnya beda. Aku boleh berharap karena sikap dan tutur katanya menunjukan itu.
Setelah mengetahui rute rumahku, dia bolak-balik dengan alasan kesasar bertamu ke rumah. Tak ada yang lebih membahagiakan Papa dan Mama selain kedatangan Malik. Sedikit bicara, tapi aksinya boo… Mama selalu dibawakannya bunga-bunga kecil kesayangannya, papa tak bosan-bosannya mengajaknya main catur dengan formasi kalah-menang-kalah. Sedikit trik, kata Malik sesekali dia sengaja mengalah untuk menyenangkan hati papa. Sesekali juga membawakan papa gado-gado kesukaannya. Atau, mungkin juga kriteria orang tuaku mengenai menantu idaman sedikit melunak mengingat umurku yang semakin bertambah. Wah-wah…. Yang jelas Malik sosok sempurna di mata kedua orang-tuaku.
Aku sendiri secara pribadi merasa ‘klik’ dengan Malik. Mungkin karena latar pendidikan kami sama, tak sulit bagi kami beradaptasi. Dan yang paling kukagumi adalah pengetahuannya yang sedalam lautan. Dia itu luar biasa pintar, luar biasa baik hati dan luar biasa bijaksana. Pintar karena dia tak mau berlama-lama dan segera menyatakan maksud hatinya. Baik hati karena dia akan menerimaku apa-adanya. Bijaksana karena apapun keputusanku tentang maksud hatinya itu akan diterimanya dengan ikhlas. Kapan lagi aku bertemu laki-laki seperti Malik? Kesempatan tidak datang dua kali.
Karena kuanggap kami jodoh, segalanya tampak begitu mudah. Orang tua kami bahkan saling bertelepon dan berkirim makanan. Hubungan kami lancar seperti jalan tol, restu dengan sendirinya keluar dari orang-orang terhormat itu. Aku tak perlu pikir panjang. Satu setengah tahun mengenalnya aku menerima lamarannya. Malik bersedia menunggu. Kami bertunangan untuk waktu yang sudah ditentukan.
*****
Pra Wedding
Tadi Malik menelepon. Dia sedikit terlambat karena mobilnya mogok di pertigaan Singosari. Aku sudah tak sabar. Mbak Riri – istri Mas Keling berkali-kali merapikan dahiku dengan taburan bedaknya. Aku sengaja tak mengajak Mama karena acara pemotretan pra wedding bisa-bisa malah kacau dengan kehadirannya. Tau sendiri kan, Mama orangnya bawel dan perfek. Beliau tak percaya dengan siapapun, termasuk sang fotografer.
“Psstt, sudah duduk saja.” Mbak Riri mendudukanku dengan paksa. Kebaya modern yang kukenakan dielus-elusnya supaya terlihat rapi.
“Malik kemana sih?”
“Sabar… sebentar lagi juga datang.”
“Sudah tau mobil butut begitu masih juga dinaikin.” Aku bersungut-sungut.
“Tadi, kenapa kamu nggak bareng dia saja sih? Biar nggak selipan, jadi nggak kelamaan nunggu.”
“Dia kan bisa naik taksi?”
“Iya, sudah. Sebentar lagi juga nyampe.”
Mas Keling berdehem di pojok ruangan. Melihat keributan kami, bisa-bisa dia malah mengajak istrinya pulang. Bisa sendirian aku nanti. Akhirnya aku mengalah diam.
Benar kata Mbak Riri. Sekitar lima menitan kulihat Malik datang dengan napas ngos-ngosan.
“Maaf-maaf, sudah lama nunggunya?”
“Sudah ubanan kali…”
Mbak Riri menggedikan bahunya ke arah Malik.
“Bisa seru nih kalau rumah tangga begini.” Sindirnya. Di mata mereka, aku lebih vokal disbanding Malik.
Seperti biasa Malik hanya tersenyum kecil, menyadari kesalahannya ditepuknya punggung tanganku. “Maaf… tadi saya mampir ke bengkel dulu biar mobilnya besok bisa dipakai….”
Dengan sewot kutarik tangan Malik ke depan.
“Okey, bisa kita mulai?” Entah sudah berapa kali Mas Nurul – sang fotografer mengecek ulang kamera dan perlengkapannya. Ternyata Malik harus dimake-over terlebih dahulu. Ampun deh, butuh waktu seperempat jam-an. Aku mulai khawatir dengan bedak dan maskaraku. Kulirik kaca rias di sebelahku. Titik-titik keringat membuat wajahku mengkilap. Manyun, mulutku manyun dengan sendirinya dan aku minta didandani ulang untuk hasil maksimal. Butuh sepuluh menit untukku. Akhirnya kami pun siap untuk difoto. Sang fotografer dibantu asistennya mulai memberi instruksi.
Agak canggung juga rasanya dipandu untuk duduk berduaan dengan pose mesra gitu. Mencari angel yang pas, ampun… ternyata susahnya minta ampun menjadi model dadakan. Macam-macam gaya yang diarahkan. Kami harus bergandengan tangan, saling melempar senyum mesra. Mataku sampai perih karena harus diulang-ulang. Mata harus terbuka lebar, dibuat teduh, bukan melotot, bla-bla-bla… Kata sang fotografer tatapan mataku kurang mesra, senyumku kurang mesra, sikap tubuhku kurang mesra, bla-bla-bla….
Mas Keling terkikik, “Iya Mas, ade’ku yang satu ini memang nggak ada mesra-mesranya sama calon suami. Yang sabar ya, Malik!”
“Ini juga sudah mesra, Mas,” Malik menghibur diri.
Mbak Riri ikut-ikutan, “Jangan malu-malu begitu, Cahya….”
Ihh, bawel semua deh.
“Okey, kepala agak miring… mata terbuka…. stop-stop, jangan tegang!”
Mas Keling dan Mbak Riri geli melihat poseku.
“Apa-apaan sih?” Ingin kusambit Mas Keling dengan barang di dekatku. Sayang kameranya terlalu mahal, bisa tekor aku nanti.
Sang fotografer membenarkan cara ternsenyumku. Setelah melalui perjuangan panjang dan menahan malu yang tak terhingga karena harus berpose ‘ganjen’ - menurutku, akhirnya sesi pemotretan itupun kelar. Padahal hanya dua foto saja yang digunakan untuk kartu undangan, kami menghabiskan hampir 20 jepretan. Terlalu ribet dan bertele-tele.
*****
Dia?
Boleh dibilang, untuk urusan tertentu aku menyukai hal-hal yang tak terduga. Kejutan membuat adreanalinku mengalir lebih cepat. Tak perlu rencana matang alias spontan saja, pasti membuatku lebih enjoy karena aku akan menganggapnya datang dari alam. Tak dibuat-buat, natural….
Contohnya, pernah ketika di perjalanan hujan turun dengan lebatnya. Kami berteduh mencari warung bakso terdekat, sesial-sialnya mendapati emperan toko yang sudah tutup. Untungnya ada lapak bakso yang buka, sekedar minum teh hangat atau memesan bakso yang rasanya menurutku standar saja dibanding dengan warung bakso langgananku. Lalu kami menghabiskan waktu dengan obrolan ringan menunggu redanya hujan. Dibanding dengan memesan tempat khusus di restoran mahal, prepare ini-itu yang telah diatur sedemikian rupa, … menurutku momen-momen seperti itu lebih indah dan sangat romantis.
Malik lain lagi. Tipikalnya: dia menyukai sesuatu yang rapi, terencana dan teratur. Apapun itu, sekecil apapun itu akan dicatatnya dengan rapi dalam memori otaknya. Bangun tidur dia sudah tau akan berbuat apa, bertemu siapa, pergi kemana, apa saja yang diperlukan. Semuanya sudah diperhitungkan dengan teliti. Jujur, hidupnya yang monoton itu pernah membuatku bosan.
Tapi sore ini lain.
Mobil mogok diluar perhitungannya. Karena tak dibuat-buat seharusnya aku menyukai alias bisa memakluminya. Gara-gara mobil mogok kami bertukar sifat. Malik enjoy dan aku benci luar biasa dengan kejutan yang tak menyenangkan ini, karena taksi yang kami naiki berhenti di sebuah bengkel yang kukutuk selama bertahun-tahun.
“Tunggu sebentar ya, nggak apa-apa kan?” Malik bertanya setelah membayar ongkos taksi.
“Nggak, tenang saja!” Kami turun dari taksi dan kugandeng Malik karena lututku gemetar. Sebenarnya aku sanggat gugup.
Tempat yang sangat kubenci. Karma-kah? Pasti Tuhan tengah menghukumku. Karena tak baik merahasiakan sesuatu dari calon suami. Aku belum pernah bercerita soal Wie padanya.
Napasku tiba-tiba menjadi sesak. Plang ‘Dua Intan Motors’ terpampang jelas di depan mataku. Masuk ke pelataran parkir, mungkin tekanan darahku melonjak tajam dari 80/60 ke 190/100. Dingin tiba-tiba menyergapku. Setelah bertahan selama bertahun-tahun, sekarang justru Malik-lah yang mempertemukanku dengan manusia paling biadab dalam hidupku.
Bangunannya sedikit kusam meski cat yang ditorehkan masih sama seperti bertahun lalu, putih dengan list biru ngejreng dan rolling door warna agak gelap – biru tua .
Aku tak tau harus berbuat apa. Kurasakan kuku-kukuku meruncing dengan sendirinya. Dari mulutku keluar dua taring panjang dengan lelehan liur yang membusuk selama berpuluh tahun. Aroma darah dan dendam kesumat. Aku siap menjadi serigala jadi-jadian untuk mencabik-cabik orang yang pernah menghancurkan hidupku.
“Piiii….”
Mendahuluiku. Seorang gadis kecil melompat dari becak yang dinaikinya meski becak itu belum berhenti seratus persen. Kaki-kaki kecilnya berlarian menuju tempat yang sangat kukenal, melesat mendahuluiku karena aku masih mematung di tempatku berdiri. Ruang segiempat dengan dua loket di depannya, kasir multifungsi sebagai tempat administrasi. Aku pernah berciuman di sana. Dan aku kalah cepat dari gadis kecil itu.
“Piiiii……” Gadis kecil itu menyambar mangsaku.
Aku bengong. Langkahku tertahan untuk sesuatu yang tidak kumengerti. Ingin kucakar mukanya dan kucabik-cabik hatinya, tapi gadis kecil itu menghalangiku. ‘Sabar Cahya, jangan terburu napsu!’
Gadis kecil itu melompat ke laki-laki yang sangat kukenal, Wie. Aku tertegun. Melihat sosoknya kini, dengan perut buncit, kulit sedikit gelap, rahang dan pundaknya tertutup lemak. Lebih mirip cukong hidung belang!
“Liat Pi, aku dapat bintang tiga Pii…..”
“Aduhh, kan sudah Papi bilang jangan ke sini sendirian?” nadanya tinggi, tak mengacuhkan kehadiran gadis kecil itu.
Tanganku mengepal dengan sendirinya. Sudah lama aku tak mendengar suara itu, suara tukang ngegombal – persis kaset bajakan di pasar rongsokan!
Gadis kecil itu manyun.
“Nilai A plus untuk baca cerita, Piii…,” katanya merajuk.
“Pak Min!” Wie berteriak pada abang becak. “Pak?!! Kan sudah saya bilang, pulang sekolah jangan bawa Nona ke sini?!” nadanya gusar.
“Non Bella merengek terus, Koh.”
“Habis Oma nggak jemput, Piii.”
“Sekarang Bella pulang, ganti baju, makan!”
“Nggak mau!”
“Baru boleh ke sini!”
“Nggak mau!”
Gadis kecil itu menangis keras-keras, didudukan dengan paksa di atas becak. Begitu saja. Kasar.
“Sudah Pak, bawa!” Tabiatnya masih keras. Dia tak suka dibantah.
Gadis kecil itu menjerit-jerit. Dan si abang becak patuh menjalankan perintah.
“Papi jahat, papi jahattt….”
Perasaanku campur-aduk. Gurat frustasi terlihat jelas dari keributan kecil itu. Sepertinya hidupnya kacau. Segera saja hatiku menebak-nebak, mereka-reka gerangan apa yang terjadi pada hidup Wie selama ini.
Ketika Malik menghampirinya, Wie belum menyadari kehadiranku.
“Bella ngambek lagi, Koh?” tanya Malik sok akrab.
“Eehh, Mas Malik… ,” Wie segera sibuk menyalami Malik. “Ayo silahkan, silahkan…. Mau dicoba gas-nya?” ia menggiring Malik ke mobilnya. “Untung saja saya kebut. Saya tau Mas Malik orangnya on time? Baru saja kelar, Mas.”
Malik sedikit rikuh atas keributan kecil tadi.
“Masalah mogoknya… nggak usah khawatir. Saya sendiri yang benerin. Saya jamin seratus persen. Kalopun batuk-batuk kecil, ya maklum lah. Tinggal pintar-pintar ngerawatnya lah…. Mas Malik sendiri kan yang bilang ini mobil tua?”
“Iya-iya, saya tau Koh.”
Keduanya terkekeh. Untuk selanjutnya mereka berdua membahas seputar otomotif yang sama sekali tak kupahami.
Alam bawah sadarku yang pintar segera menyusun strategi. Secepat kilat kutemukan cara pembalasan yang sangat fantastis. Karenanya harus berkelas! Melabrak ataupun mendamprat, itu adalah cara kuno. Tak perlu lah kupermalukan diriku seperti itu untuk Wie, apalagi di depan Malik.
“Say….” suaraku keluar renyah memanggil Malik. 100% mesra.
Malik tertegun.
Seperti melihat setan, Wie melihatku seperti melihat kuntilanak jadi-jadian. Wajahnya pucat. Dia mengusap-usap mukanya, selalu begitu kalau dia sedang gugup.
“Sudah bisa dipakai mobilnya?” Dengan mesra kugamit lengan Malik. “Ayo dong… ini sudah terlalu lama. Kamu kan nggak boleh capek, ‘Yang? Tuh, kamu keringatan….” Dengan sikap luwes kukeluarkan sapu tanganku, pelan dan mesra mengelap wajah Malik.
Mungkin Malik risih.
Mungkin Wie jengah.
Aku bersyukur dipertemukan dengan Wie dalam keadaan terawat dan rapi, paling tidak dengan make-up ini aku terlihat lebih cantik daripada saat dia meninggalkanku dulu. Konde dan kebayanya membuatku terlihat anggun dan bersahaja. Dan aura calon pengantin, gadis manakah yang tak terlihat cantik pada saat-saat seperti ini?
“Oya Koh, kenalkan calon istri saya, Cahya….”
Aku mengangsurkan tanganku. Dingin sambutannya tak seperti yang kuharapkan. Sengaja kupamerkan senyum ter-mesraku, buat Malik.
“Cahya…” kusebutkan namaku dengan jelas. Sangat percaya diri.
Wajah Wie berubah judes. Dia tak membalas angsuran tanganku, melainkan ngeloyor begitu saja menutup kap mobil dengan kasar. Darahku mendidih.
*****
“Aneh. Tak biasanya Koh Wie seperti itu.”
Kuanggukan kepalaku – kecil saja supaya Malik lega. Lagipula aku terlanjur kesal. Antara geram, marah, kecewa, sedih, penasaran… ah, tak taulah. Perasaanku campur aduk. Reaksi Wie tidak seperti yang kuharapkan.
Suatu saat pasti kuceritakan pada Malik tentang sejarah kami. Supaya dia tidak pingsan dan merasa dibodohi. Malik hanya tak enak hati, sikap Wie yang ketus – tadi, kentara sekali. Tolol.
“Dia biasanya sangat ramah. Atau mungkin dia lagi capek barangkali?”
“Mungkin…,” jawabku asal-asalan.
Sambil menyetir Malik terus mencari-cari penyebab ketidakramahan Wie terhadapku.
“Aku belum pernah melihatnya sejutek tadi.”
“Apa menurutmu sikapku yang kurang baik?” aku ingin menyudahi pembicaraan mengenai Wie.
“Oh, tidak-tidak. Bukan begitu.” Malik buru-buru meralat ucapannya. Takut aku tersinggung. “Maksudku, mungkin ada hal lain yang mengganggu pikirannya. Oya, kau lihat kan tadi? Yang dia teriak-teriak, Bella – anaknya pulang sekolah maunya langsung ke bengkel, dan dia marah? Mungkin itu yang membuatnya kesal.”
“Ahh, sudah lah. Kenapa kita jadi membahas tukang bengkel itu sih?” Aku mulai gerah. Ingin mengganti topik pembicaraan.
“Ya soalnya aku sering ke bengkel itu tapi tak pernah melihat Koh Wie segusar tadi. Mungkin dia ada masalah keluarga barangkali, ya?”
“Mungkin…” Lalu aku berkata serius, “Malik, kau tau? Setelah ketemu dengan tukang bengkel tadi aku lebih bersyukur kini.”
“Oya, kenapa?”
“Aku bersyukur karena dijodohkan dengan kamu, guru yang baik dan bersahaja. Tidak seperti tukang bengkel tadi. Orangnya kasar. Sama anak sendiri main bentak begitu.” Aku bersungut-sungut.
Malik mengangguk senang.
“Kau baik-baik saja kan, Sayang?”
Malik masih mengkhawatirkanku atas sikap Wie yang tidak sopan tadi. Dipikirnya aku segitu perdulinya apa. Kalau saja dia tau, kekurangajaran Wie bukan barang baru bagiku. Sikap kasarnya kalau lagi marah atau tersinggung tak juga hilang, ya memang seperti itulah Wie.
“Sudahlah, nggak usah dibahas!”
Bagiku percuma saja membahas seseorang yang tak peka terhadap perasaan orang lain.
*****
Tidak ada komentar: