Borobudur Masih Menunggu_1
Foto : Pexels |
Aku melesat jauh ke alam khayalku. Meluncur dalam lorong-lorong rumit nasibku, berusaha mengurainya satu-persatu. Ini membingungkan. Nasib membawaku ke sini.
Umurku lewat 30 tahun!
Seperti perawan yang kulihat sebagai cerminan diriku, mengobral diri sedang menunggu laki-laki di perempatan jalan. Shit! Ini bukan obralan. Ini diriku, di dalam candi - tepat di depan sebuah stupa candi Borobudur. Bukan seorang biksu berwajah teduh dengan do’anya, melainkan pria berbadan sedang berkulit gelap yang memang keturunan Arab - Madura, yang kebetulan adalah pacar terakhirku. Aku menunggunya.
Saatnya menikah?!
“Di sini?” tanya pria berbadan sedang berkulit gelap yang telah kunanti selama 30 tahun itu.
Sepertinya memang harus menikah!
“Sudah waktunya!” jawabku singkat.
Obsesiku adalah menikah di umur ke-24, lewat enam tahun dari waktu yang kujanjikan. Bukan terpaksa karena aku suka-rela. Meski aku takut setengah mati. Sumpah! Aku ingin mengakhiri masa lajangku untuk memecahkan misteri hidupku…
*****
Gara-gara
Aroma bunga melati menebar ke penjuru ruangan. Dalam sekejap, satu kantong melati sudah berpindah tempat, selain di kamar, di atas karpet, sofa, bahkan dapur dan toilet pun tak luput dari tebaran melati. Belum lagi bunga sedap malam dan gladiol yang berjejer di atas buffet. Juga mawar aneka warna. Ada Pareo, Samourai, Sonate de Meilland, Sonia, Sweet Sonia, Laser, Diplomat, Tineke, Vivaldi. Mama hapal satu-persatu namanya.
Sebenarnya Cahya maklum. Untuk menjadikannya ratu semalam, setiap Mama akan berbuat apa saja buat putri tercintanya, termasuk Mamanya. Mama menginginkan pesta pernikahan yang megah. Mengumpulkan keluarga besar sekaligus syukuran karena akhirnya dia menemukan jodohnya. Tapi nggak gini juga kaleee….
Melihat Mama sibuk nelpon sana – nelpon sini, ngatur ini – ngatur itu, menebar-nebar bunga, lebih mirip pegawai florist yang merangkap sebagai dukun sekaligus penjual pulsa. Tiga profesi yang sudah keterlaluan bagi Cahya. Lihatlah, saat menyambut tukang pasang tenda atau perias pengantin, Mama lah yang paling berseri-seri wajahnya. Atas rencana pernikahan ini, Mama jugalah yang paling heboh. Cahya jadi berpikir, ‘Sebenarnya yang mau nikah siapa sih? Dia apa mamanya sih?’.
“Cahya….” Mama rempong lagi - entah untuk keberapa kalinya dalam satu hari ini. Mamanya memanggilnya tapi Mamanya juga yang menghampirinya masuk ke kamar, nyelonong begitu saja.
“Ya Ma?”
“Sudah belajar kan prosesinya? Buku yang Mama kasih sudah dibaca kan?”
Cahya mengangguk kecil. “Iya Ma, tenang saja.”
Cahya menunjukan buku yang diberikan Mamanya satu minggu yang lalu, sudah sampai di halaman terakhir. Tentang prosesi pernikahan adat Jawa yang menurutnya sangat-sangat rumit. Ada Siraman, midodareni, panggih, balangan suruh, wiji dadi, pupuk, sinduran, timbang, kacar-kucur, dahar klimah, mertui dan terakhir sungkeman. Cahya sudah menghapalnya. Demi menyenangkan hati sang Mama, tak apa-apalah. Toh sekali seumur hidup ini.
“Sabar ya. Memang banyak prosesinya dan kamu harus hapal urut-urutannya lho, jadi tau mesti ngapain saja.”
Jadi lucu melihat Mama. Heboh sendiri. “Iya, Cahya sudah paham kok Ma. Tenang saja.”
“Bener lho ya?”
Cahya mengangguk meyakinkan.
Mama terlihat lega. Lalu keluar kamar untuk kemudian masuk lagi tak berapa lama. Rupanya belum selesai dia.
“Ingat kan, hari ini dan besok kamu terakhir dipingit? Jadi, jangan keluar kamar kalau nggak ada yang penting, apalagi keluar rumah. Ingat kan aturannya? Kalau kamu perlu sesuatu cukup panggil Mama. Mama akan menyiapkan semua keperluanmu." Mama teringat sesuatu, "Oya, mm… mana hape kamu?"
Cahya bengong, "Hape, Mah?"
"Iya, hape. Kemaren, Mama lihat kamu dipingit masih saja telpon-telponan sama Malik. Enak saja."
Malik adalah calon menantunya.
"Segitunya?"
"Iya lah, Sayang. Sudah, ikutin saja aturan dari Mama.” Tanpa permisi Mama menyita hapenya yang tergeletak di meja rias. Lalu menutup pintu kamar, pergi begitu saja. Cahya tak bisa berbuat apa-apa, hanya menarik napas panjang.
Tuh kan? Menjelang pernikahannya semua orang jadi aneh di mata Cahya. Ini baru Mamanya. Belum lagi papanya yang tiba-tiba jadi super perhatian sama Cahya. Trus Mas Keling – kakak satu-satunya yang sering menggodanya dan memberikan beberapa tips karena dia sudah berumah tangga, tips-tips yang nggak masuk akal dan banyakan viktor. Teman-teman yang silih berganti meneleponnya dan bilang nggak percaya bahwa akhirnya Cahya menikah juga. Memangnya dia nggak boleh kawin apa?
Sejujurnya, situasi ini membuatnya nervous juga. Yang aneh bukan dia, tapi orang-orang di sekelilingnya. Meskipun Cahya tak pernah seyakin ini atas keputusannya.
Baginya, Malik bukan orang asing lagi. Waktu – selama tiga tahun telah menyatukan hati mereka. Malik membuatnya percaya bahwa di dunia ini masih ada yang mencintainya dengan tulus. Selain pandai mengambil hati kedua orang-tuanya, Malik juga pemuda sopan, sikapnya lembut, juga pengetahuannya yang sedalam lautan, Cahya menaruh hormat dan mengaguminya. Saat Malik melamarnya hati Cahya berbunga-bunga. Dia mencintainya tanpa paksaan. Benar kata Mas Keling, ‘Tak ada laki-laki lain yang lebih tepat buat dirinya selain Malik’.
Tapi bukan itu yang membuatnya galau. Dua hari ini hatinya menjadi kacau. Gara-garanya… sebuah rayuan gombal yang teramat gombal mendadak masuk ke dalam inboxnya. Kabel-kabel di otaknya menjadi konslet. Anehnya konslet yang indah, seperti pijaran kembang api yang indah - gitu. Membuatnya suka senyum-senyum sendiri dan seperti angin puting-beliung rayuan itu berhasil mengacak-acak masa lalunya. Datang begitu saja.
Sebenarnya konyol. Tapi apalah daya,
…. Loading….. Blip!
Email itu terbuka lagi, entah untuk yang keberapa kalinya. Email yang diterimanya dari seorang teman lama…. (Niat awalnya mau chatingan sama Malik, tapi ternyata jemarinya mengklik email itu lagi)
Hai, Cantik….
… membuat debaran halus di dadanya.
Wajah Cahya merona. Jelas-jelas bukan dari Malik
Masih ingin ke Tibet bersamaku? Khabarnya puncak Himalaya tak sedingin dulu (bagus lho buat kamu yang alergi dingin?). Kita naik yak dan akan kupeluk kau di sepanjang perjalanan dalam karavan cinta kita (masih kuingat hangatnya dekapanmu). Melintasi bunga gunung yang berwarna-warni. Melalui Nathula Pass dan Jelepla Pass ke Lhasa. Kereta gantungnya ok banget buat kita yang lagi kasmaran.
Yup! Aku masih ingat bahwa itu adalah fantasi terbesarmu. Tak akan terwujud kalau kau menikah dengan laki-laki lain. Menikahlah denganku!
Hatinya yang damai mulai bergetar. Pesona itu… kenapa menguar lagi setelah bertahun-tahun? Antara senang dan miris. Kabel-kabel di otaknya konslet lagi – kembang api lagi.
'Tidak Cahya, jangan Cahya! Laki-laki ini sakit. Dia hanya ingin mengacaukan masa depanmu. Tidak seperti Malik, style-nya, sifatnya, latar belakangnya… dia selalu membagi air mata kepadamu', berulang kali Cahya mengingatkan dirinya akan hal itu. Setelah sekian tahun dilaluinya dengan susah-payah melupakan laki-laki tukang ngegombal dengan kepercayaan dirinya yang melimpah ruah, itu sebutan yang pernah diberikan Cahya padanya.
Cahya sendiri tak mengerti kenapa jemarinya selalu mengklik email itu, lagi dan lagi. Suka saja. Seolah mencari sesuatu dari masa lalunya yang hilang.
Gara-garanya….
Zorroboy@ganteng.co adalah sebutan dari pemilik email untuk cinta pertamanya yang kandas di tengah jalan. Laki-laki norak yang sudah dienyahkan dari hidupnya. Bertahun-tahun Cahya pernah membenci dan bahkan mengutuknya. Anehnya, ketika membaca rayuannya. kebenciannya raib begitu saja. Membuatnya tersenyum sendiri. Selalu begitu. Berganti dengan pendar-pendar rasa yang indah. Padahal email itu membuatnya tak nyenyak tidur dua hari ini. Entahlah.
Anehnya, malam setelah membaca email itu Cahya bermimpi benar-benar ke Tibet bersama Wie, nama asli laki-laki itu.
*****
Pegunungan Himalaya,
Tengah malam waktu Indonesia
Cahya mendarat di alam mimpinya….
Di bawah seribu bintang yang cemerlang….
Tak tau tepatnya dimana dia sekarang. Apakah di Makalu, Lhotse, Broad Peak, Nanda Devi, Pumori atau justru sudah berada di puncak Everest? Yang jelas semuanya menjadi serba putih. Pegunungan ini disebut sebagai 'tempat kediaman salju', makanya diberi nama Himalaya.
Sensasinya sungguh luar biasa, terasa benar energi yang sangat kuat, yang takkan didapatkan di belahan bumi manapun. Karena dia kini berada di barisan puncak dunia.
Meskipun tubuhnya terasa beku, Cahya masih ingin bergerak bebas. Berdiri di depan tenda atau sekedar mendekat ke api unggun.
Dia lihat Laki-lakinya ada di sana.
Sambil memetik gitar dengan gaya yang sangat macho Laki-lakinya mulai bernyanyi :
Jangankan gunung Fujiyama,
Puncak Himalaya kuantar kamu….
Jangankan ke Kamboja,
Ke Ethopia kuantar kamu….
Kalau benar kamu cinta aku,
Ke Kutub Utara kuantar kamu….
Sambil mengerling genit ke arahnya. Sikon yang norak membuat Cahya geli.
Laki-lakinya sedang memenuhi janji membawanya ke puncak dunia. Ini konyol, tapi semuanya menjadi sangat indah. Lalu dia mendekatkan diri ke Laki-lakinya dengan penuh perasaan.
"Indah bukan?" tanya Laki-lakinya.
Cahya mengangguk manja sambil memeluk Laki-lakinya. "… sangat indah!" bisik Cahya.
"Kau dengar itu?"
Dipejamkan matanya. Suara angin membuat bulu kuduknya berdiri. Cahya mengangguk lagi.
"Angin memberitahu betapa alam mencintai kita."
"Aku juga mencintaimu!"
"Aku akan membawamu ke Fujiyama.”
“Juga Cina?” Negeri Cina adalah tanah leluhur Laki-lakinya.
Laki-lakinya berkulit putih, bermata sipit dengan rambut lemas dan berpostur jangkung, mengangguk mengiyakannya. Meskipun sering naik gunung tetap saja kulitnya putih karena dia keturunan Cina.
“Lalu kita ke Kamboja, Ethiopia, Kutub Utara….”
“Keliling dunia…,” Cahya membentangkan tangannya seperti burung yang terbang bebas. “Bagaimana kalau kita ke Borobudur saja!” ajaknya tiba-tiba.
“Borobudur?” Laki-lakinya bertanya aneh.
“Ya, Borobudur. Karena disanalah kita berjodoh. Kau ingat? Aku berhasil memegang tumit Kunto Bimo dan terkabulah permintaanku.”
Laki-lakinya tertawa terbahak-bahak. “Haa, kau percaya dengan mitos itu rupanya.”
"Aku meminta jodohku. Dan bertemulah aku denganmu.”
Ini konyol. Tapi Cahya tak perduli.
Mitos yang membahas tentang Kunto Bimo – sebuah arca dalam stupa Borobudur yang dapat mengabulkan setiap permintaan bagi siapa saja yang berhasil menyentuhnya. Bagi laki-laki akan terkabul keinginannya bila berhasil menyentuh bagian tangan, sedang wanita akan terkabul keinginannya bila berhasil menyentuh bagian kaki. Cahya berhasil menyentuh tumitnya.
“Kaulah yang kulihat pertama kali saat aku menyentuh tumitnya.”
“Jadi aku jodohmu?”
“Menurutmu?”
Laki-lakinya berpikir beberapa saat. Lalu tertawa senang. “Baiklah. Karena kau percaya, sebaiknya kita berjodoh saja.”
“Ahh,” Cahya merajuk.
Tak perduli apakah mitos itu benar ataupun tidak – mereka sudah tak memikirkannya. Dan karena mereka berjodoh, mereka menganggap sah-sah saja jika mereka berciuman. Di bawah siraman bintang, ciuman itu sangat dasyat. Ciuman yang tak pernah Cahya rasakan dari laki-laki manapun selain Laki-lakinya.
*****
Paris Van East Java 13 tahun silam,
Jodoh Kunto Bimo dan Insiden Memalukan
Slide Story,
Ketika Cahya masih berseragam putih abu-abu….
Teetttt…!!
Bel panjang berbunyi.
Siang itu jam istirahat, Dona tergopoh-gopoh menghampiriku. Dona adalah sahabat terbaikku di sekolah ini. Meski cara berpikirnya aneh, tapi aku menyukainya sejak kelas satu SMU. Dia adalah gadis bule yang cantik, yang membawa keceriaan dan cerita yang berbeda dari teman-teman kebanyakan. Sepertinya ada hal penting yang ingin ditanyakannya.
"Psst, Cahya! Sini deh!" Dona menarikku ke ujung koridor, lalu mendudukanku di sebuah bangku kayu di bawah pohon trembesi.
Aku menurut dan menunggu.
"Kamu pernah berciuman nggak?"
Tuh kan?
"Hmm?" Soal ciuman lagi? Aku heran dengan pertanyaannya yang aneh-aneh. Apa coba maksudnya? Apakah ini ada hubungannya dengan mimpiku beberapa tahun kemudian? "Maksudmu, Don?" Aku tak mengerti.
"Iya… berciuman…." Lalu Dona duduk tepat di sampingku dan menjelaskan, "Begini Cahya, maksudku… kamu pernah nggak, berciuman… sama cowok. Ya mungkin kamu sama Wie mungkin…."
"Kenapa kamu tanya begitu?" Aku mulai curiga.
Dona menggedikan bahunya. "Habis ngelihat cewek-cewek di sini aneh. Reseh! Mereka itu memang polos atau pura-pura polos? Nggak dandanannya, nggak sikapnya. Mereka suka bisik-bisik ngomongin aku. Kamu pasti pernah dengar, tapi kamu nggak pernah menyampaikannya padaku, iya kan? Memangnya mereka segitu baiknya apa?"
"Oo… jadi kamu sakit hati sama sikap mereka?" Aku menebak, mulai memahami arah pembicaraan Dona.
"Ya iyalah. Norak!"
"Ya wajarlah mereka bersikap begitu. Kamu terlalu bebas. Trus, kalau sudah tau aku pernah berciuman atau belum, kamu mau ngapain? Juga, apa hubungannya dengan teman-teman cewek kita itu?"
"Sudah, jawab saja!"
“Ya nggak bisa dong, aku harus tau alasannya.”
“Jawab dulu!” Dona ngotot.
Aku pura-pura berpikir, lalu menggeleng pelan.
Dona terlihat ragu. "Ah?”
Kuberikan huruf ‘V’ di jariku.
“Serius lo?!"
Aku mengangguk kecil.
"Kalian pacaran kan? Dan belum pernah berciuman?" Dona mengulang pertanyaannya.
Aku mengangguk lagi. Nggak mungkin kubeberkan hal yang menurutku paling pribadi, sekalipun kepada Dona – sahabatku sendiri.
Dona terdiam seperti sedang berpikir. “Kok aneh ya?” gumamnya.
"Maksudmu?"
“Ternyata benar cewek-cewek di sini tuh kolot dan kampungan. Nggak nyangka, kamu termasuk salah satunya."
"Don… berciuman itu dosa, bukan kolot atau kampungan," Aku memberi penjelasan. “Memang agamamu nggak melarang hal itu apa?”
"Agama?! Pacaran ma agama ya jelas nggak ada korelasinya lah…. Pantas…." Dona mengangguk-angguk, seperti memahami sesuatu.
Aku jadi penasaran. Dia bertanya seperti ini pasti telah terjadi sesuatu.
Lalu Dona tersenyum geli dan melanjutkan, "Kemaren, muka mereka tuh… dua-duanya nervous ketika kucium."
"Hah, mereka?!" Membuatku melongo.
Dona cekikikan.
Sesuai namanya, Dona memang menjadi primadona di sekolah ini. Selain cantik, dia supel dan gayanya selalu modis. Dia pindahan dari Jakarta – setelah bertahun-tahun di besarkan di Singapura. Dari model rambutnya saja sudah kelihatan, bahwa dia gadis kota yang sangat perduli dengan penampilan. Dia blesteran Singapura-Belanda-Depok. Makanya dia berkulit putih, berhidung mancung dan berpostur di atas rata-rata, tinggi langsing sehingga banyak cowok yang naksir sama dia.
Pacarnya datang silih berganti, seperti baju yang bisa dikombinasikan sesuai keinginannya, tak perduli dari yang bermobil sampai yang berjalan kaki. Dari yang satu sekolahan atau di luar SMU Pribadi Bangsa. Hebatnya, Dona bersikap baik pada semuanya. Sejauh ini sih belum ada masalah. Khusus buat cowoknya saja lho. Kepada cewek-ceweknya Dona suka sewot. Dia bilang cewek-cewek di sini reseh dan kampungan, selalu mau tau urusan orang lain. Dan dia benci pada cewek-cewek itu, terkecuali padaku tentunya. Katanya, hanya aku yang bisa mengimbangi jalan pikirannya yang terlalu modern.
"Bisa jadi, ini ciuman pertama bagi mereka…" Dona bergumam.
"Mereka?! Maksudmu dengan mereka bukan anak sini kan?" Aku khawatir sekaligus penasaran. “Siapa?!”
Dona cengengesan. "Salah sendiri mereka mau diduain. Kenapa ya di sini nggak ada yang sedikit pintar?"
Tuh kan, benar dugaanku. "Aduh Don…." Aku mulai kalang-kabut. "Kamu nggak boleh begitu dong, Don." Pasti sebentar lagi terjadi huru-hara.
"Eh, tapi seru juga lho pacaran sama mereka?"
"Kamu tau kan, ini kota Malang Don, daerah…. Jangan samakan mereka dengan cowok-cowok kota seperti teman-temanmu dulu, yang berasal dari Jakarta. Kamu nggak boleh mempermainkan perasaan mereka."
"Habis mereka tuh kege-eran banget dan gombalnya setinggi langit. Gemes tau nggak jadinya?"
"Trus sebagai wujud gemas kamu, kamu memacari mereka dua-duanya, gitu? Pakai acara ciuman lagi."
Dona cengengesan.
“Siapa?” Aku menyelidik.
Dona berahasia.
"Memang kamu nggak takut hamil apa?"
"Hamil?!" Dona semakin geli. "Cahya, … Cahya, ciuman tuh nggak bikin kita hamil… kalau berhubungan badan, baru itu hamil!
Sebebas itu? Nah lho. Kalau diawali ciuman trus keterusan, bagaimana? Tapi Dona tak perduli dengan kekhawatiranku, gadis bule pindahan dari Jakarta itu ngeloyor pergi begitu saja meninggalkanku.
*****
SMU Pribadi Bangsa terkenal sebagai SMU elite di kota Malang. Gedungnya megah dengan arsitektur kolonial, dengan jendela-jendela seukuran daun pintu dan lorong-lorong penghubung yang terus dilestarikan dari peninggalan Belanda.
Aku merasa beruntung bisa bersekolah di sini. Selain lingkungan belajarnya enak, fasilitasnya lengkap, teman-temanku sangat kompak. Juga… karena sekolah di sinilah aku bisa bertemu dengan Wie.
Waktu itu tanggal 2 Februari, kelas dua SMU semester awal. Sekolahku mengadakan study tour ke Yogyakarta. Tentu saja acara jalan-jalan ini kusambut dengan antusias.
Sehari sebelumnya sudah kupersiapkan dengan matang. Baju ganti, kamera, jaket dan perlengkapan lainnya kumasukan jadi satu dalam tas ransel ukuran sedang. Aku janjian sama Dona memakai T-shirt kembar biar kompakan. T-shirt itu sengaja kami beli di Ramayana seminggu sebelumnya. Rencananya, sepanjang study tour nanti akan kami isi dengan foto-foto dan berbagai hal seru. Tak perduli dengan tugas yang wajib diserahkan setelahnya. Pikiran kami lebih fokus ke senang-senang dan jalan-jalan.
Dona selalu menjadi sahabat yang menyenangkan bagiku. Kemana-mana kami berdua, se-bus berdua, kamar pun berdua. Kami menginap di hotel kelas melati tepat di pinggir pantai Parangtritis dan berebut selimut karena dinginnya. Kurasa aku sudah mengenal baik dirinya, rupanya tidak sepenuhnya benar. Membuatku kaget dan geli di pagi harinya.
“Aww?!” Aku pura-pura histeris saat melihatnya keluar kamar ganti dengan baju renang seksi. Seperti melihat kecoak. Kudorong dia masuk kembali kamar ganti sebelum teman-teman lain melihatnya.
“Kenapa-kenapa?!” Dona panik.
Dasar gadis bule. Persis foto sesion majalah Playboy.
“Kau nggak takut? Nyi Roro Kidul bisa marah melihatmu begini.” Aku mencari akal untuk menakut-nakutinya.
“Oya?” dia bertanya bingung.
Kujelaskan dengan suara horor. “Kau bisa diculik dan nggak kembali. Kau tau kan, prajurit pantai selatan adalah penyuka gadis-gadis cantik. Kau bisa menjadi tumbal. Pakailah baju yang sopan!”
“Ini baju renang tersopan yang kupunya, Cahya.”
“Pakai saja baju olahraga.”
“Tapi… ini bukan bikini?” tanyanya masih bingung.
“Ada corak hijaunya, itu yang nggak boleh. Ganti!”
Dia masih saja bingung. “Lagian hei, gimana aku bisa berenang tanpa baju renang?”
Aku tak mau berdebat, kuserahkan padanya. Dan akhirnya dia menurut dengan cemberut, berganti dengan baju olahraga sebagaimana yang kukenakan. Yang penting dia menurut.
Aku lebih mengenal Dona sekarang, bahwa dia adalah gadis bule yang sedang menyesuaikan diri. Meskipun dia tinggal di sini, pemikirannya masih seorang bule. Kurasa dia hanya butuh pemakluman dari orang-orang di sekelilingnya. Buktinya, dia selalu menuruti kata-kataku. Dan kami tak membahasnya lagi soal baju renang itu.
Dona membuatku jadi foto model dadakan setelahnya. Sambil bermain ombak, ada-ada saja pose yang dia punya. Paling tidak satu foto harus berbeda gaya dan latar belakang, begitu dia bilang. Kami pun segera mencari latar belakang yang bagus, menemukan sebuah batu karang berdiri kokoh di ujung pantai. Kalian tau siapa yang akhirnya diculik? Itu aku.
Mungkin terkena tulah. Mungkin karena terlalu bersemangat, aku terpeleset jatuh dan terbawa ombak hingga beberapa meter. Dona menjerit-jerit ketakutan saat gapaian tangannya tak menjangkauku. Aku panik dan berusaha sekuat tenaga melawan arus, tapi tak berhasil. Ombak terus menyeretku hingga menenggelemkan badanku. Air tertelan dan aku tak bisa bernapas. Lalu sepi.
Saat sebuah tangan menarik badanku, kuduga itu adalah prajurit pantai selatan yang telah menculikku (seharusnya adegan ini direkam dalam slow motion!).
Setengah pingsan. Dibawanya aku ke pinggir pantai sebagaimana tim SAR menyelamatkan korban dengan cekatan. Liat dan hangat badannya! Ketika kubuka mata, cowok bermata sipit itu melihatku dengan pandangan geram. Hidungnya bangir, tapi matanya sipit.
"Mau bunuh diri?" Cowok itu melihatku tegang. “Kan sudah ada papan peringatan di situ jangan melanggar batas?”
Aku bergidik menyadari kecerobohanku. Sepi di sini. Dona pun pergi entah kemana. Jadi kalaupun aku tenggelem dan Dona satu-satunya temanku tak bisa menyelamatkanku bisa jadi aku mati di sini.
Tak berapa lama Dona datang bersama beberapa guru dan teman. Rupanya dia pergi mencari bantuan. Dona langsung menubrukku dan menangis sejadinya. Teman-teman mengerubungiku, bertanya ini-itu. Dan cowok itu pun menghilang sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih. Prajurit pantai selatan kah?
Selanjutnya, acara ke Borobudur kuikuti dengan trauma yang masih membayang. Penjelasan pemandu wisata kucatat dengan asal. Dona juga tak sesemangat tadi. Dia masuk ketakutan.
Masuk di pelataran candi membuatku takjub. Aku berpikir, bagaimana orang-orang jaman dahulu bisa membuat bangunan yang begitu megah hanya dengan alat-alat seadanya? Tak mudah membuat relief-relief yang rumit dari ukiran batu. Dengan penjelasan yang sangat detail mengenai kehidupan di dunia sampai di akhirat. Mereka pastilah orang-orang sakti.
Tiba-tiba aku terusik melihat kerumunan orang menjulur-julurkan tangan ke sebuah stupa. Sedang apa mereka?
Kudapat penjelasan bahwa di sini, di Borobudur terdapat sebuah arca yang dapat mengabulkan setiap permintaan bagi siapa saja yang berhasil menyentuhnya – dialah Kunto Bimo, arca favorit yang dikerumuni banyak orang. Bagi laki-laki akan terkabul keinginannya bila berhasil menyentuh bagian tangan, sedang wanita akan terkabul keinginannya bila berhasil menyentuh bagian kaki. Benarkah?
Karena penasaran aku pun mencobanya. Kupanjatkan sebuah do’a yang konyol. Aku meminta supaya dipertemukan jodohku di sini. Ketika tanganku berhasil menyentuh tumitnya, kubuka mata dan blash! Seperti jin yang tiba-tiba muncul di depanku. Dia lagi? Tidak lain dan tidak bukan dialah cowok bermata sipit yang menyelamatkanku di pantai Parangtritis tadi pagi. Si Prajurit Pantai Selatan!
Aku tergugu. Manusiakah dia….
Galaknya hilang berganti dengan senyum tengil yang tak kumengerti. Untuk selanjutnya aku tak tau apakah mitos itu benar adanya. Nyata-nyata dia berseragam sama denganku – putih abu-abu. Rupanya dia anak SMU yang juga study tour, tujuan wisatanya pun sama denganku. Benarkah Kunto Bimo telah menjodohkan kami?
Sesudahnya, dia seperti cowok yang terkena pelet olehku. Menguntitku kemanapun aku pergi sampai aku jadi ketakutan sendiri. Anehnya, tiap melihatnya hatiku pun jadi berdebar-debar.
“Cahya, cowok itu dari tadi ngikutin kita terus deh.” Dona mulai curiga.
Di sepanjang rute di Borobudur, dia terus-terusan membuntuti kami. Tiap aku menoleh, dia tertunduk. Ketika aku jalan dia pun ikutan jalan di belakangku. Aku jadi merinding. Apa maunya ya? Akhirnya aku pun memberanikan diri menyapanya. Meskipun dia sudah menyelamatkanku tak sepantasnya dia mengutitku.
“Hai.” Kuhampiri dia dengan dada berdebar.
Dona mengawasiku dari kejauhan, takut aku diapa-apain.
Cowok bermata sipit itu terlihat kikuk. "Kamu, mm… “ Dia garuk-garuk kepala. “… anak Pribadi Bangsa ya?" tanyanya kemudian to the point.
Aku mengangguk kecil. Sudah pasti dia membaca baju olahraga yang kupakai di Parangtritis tadi pagi.
“Kenalkan, namaku Ping Wie. Panggil saja Wie.”
Ehh, dia malah ngajak kenalan. Kusambut uluran tangannya tanpa menyebutkan namaku.
“Aku sekolah di St. Carolus, nggak jauh kok dari sekolahmu.”
“Oh, Arema juga?” Aku baru ngeh kalau dia berasal dari kota yang sama denganku. Mitos Kunto Bimo terlintas lagi. Sebuah kebetulan jika dia berasal dari kota yang sama denganku. “Thanks ya. Kamu sudah menyelamatkanku tadi pagi. Aku nggak tau apa jadinya kalau nggak ada kamu saat itu.” Rasanya tak sopan jika aku tak berterima kasih padanya.
Cowok itu mengangguk. Namanya Wie. “Maaf.” Kurasa dia tau kalau aku mencurigainya. “Jangan takut ya. Aku nggak berniat jahat kok. Sebenarnya dari tadi aku ingin menyampaikan sesuatu sama kamu.” Dia telihat jengah.
Ramalan Kunto Bimo, Kunto Bimo….
Membuatku berpikir,
“Aku menunggu saat yang tepat. Tapi temanmu terus berada di sampingmu sih.”
“Dona?”
“Ya, yang bule itu. Aku takut membuatmu malu atau tersinggung jika kusampaikan di depan temanmu. Tapi janji ya, kamu jangan marah atau malu.”
“Ya?” Hatiku dag-dig-dig, gerangan apa yang akan disampaikannya?
Wie celingak-celinguk, memastikan tak ada orang yang mendengar. Dona menjadi mengintai amatir. Saat Wie melihatnya, dia pura-pura menawar sebuah gelang manik-manik di pelataran Borobudur.
“Itu,” Wie berbisik sambil menunjuk sesuatu dengan matanya kearahku.
“Hmm?”
“Resleting rokmu kebuka.”
Aku blank!
Seperti itulah Tuhan mengatur pertemuan kami.
*****
Meski mitos Kunto Bimo sempat tercoreng oleh insiden memalukan itu, hatiku tetap berbunga-bunga. Aku meyakini mitos itu benar adanya. Karena, selanjutnya pertemuan kami diwarnai dengan hal-hal yang indah.
Sangat kuhargai bahwa dia tak mengungkitnya lagi. Dia bilang hal memalukan bisa terjadi pada siapa saja dan aku setuju. Dua hari setelah study tour dia menjemputku di gerbang sekolah. Kusebutkan namaku dengan wajah berbinar.
Jujur, aku mulai menyukainya karena dia blak-blakan, tidak dibuat-buat. Dan dia menyukaiku karena aku gadis yang manis – katanya, meskipun sedikit teledor tapi aku lucu -katanya.
Seperti itulah pertemuan kami. Secepat kilat kami berinteraksi. Terhitung 10 hari setelah pertemuan pertama kami dia menyatakan rasa sukanya padaku dan aku pun langsung menerima cintanya. Tepatnya tanggal 12 Februari akhirnya kami pacaran.
Sejak itu Wie sering mengantar-jemput aku setiap hari. Merajut cerita dengan kebersamaan yang indah. Membuat romansa-romansa konyol. Perjalanan cinta kami mengalir begitu indah.
Seperti pagi ini, seperti pagi sebelumnya dan sebelumnya lagi….
(seharusnya diiringi dengan lagu pop remaja yang keren layaknya sinetron-sinetron di televisi)
Wie melarikan motornya dengan kecepatan 100/km perjam, seharusnya aku sudah terbiasa. Meskipun sedikit ngeri karena kami berdua tidak memakai helm. Memang, gara-gara ini nih kami tadi dikejar polisi. Pakai motor balap, dengan seragam sekolah masuk ke jalan raya nggak pakai helm = nyari penyakit. Mana polisinya berwajah galak lagi. Bisa dikeplaki kalau ketangkap.
Untung yang mengemudikan motor adalah pembalap profesional yang sangat kupercaya. Sehingga kami bisa lolos dari kejaran polisi. Memang, Wie selain hobi kebut-kebutan juga sering main roda gila di pasar malam yang sering singgah di kota kami. Tak jarang aksinya itu membuat kepalaku berdenyut sakit.
Aku pernah melihat atraksinya. Motor balapnya berputar-putar di dalam Tong Setan yang berbentuk kerucut terbalik., berputar dan terus berputar sambil sesekali mengambil uang saweran dari para penonton. Hasil yang didapat tak sebanding dengan resiko yang ditanggungnya. Tapi apa mau dikata, itu adalah hobi yang ditekuninya jauh sebelum mengenal aku.
Dari hobinya itu dia bisa mencukupi kebutuhannya sendiri meski dia bukan tergolong dari keluarga kurang mampu. Kemauannya banyak. Aksesoris motor balapnya berganti setiap saat karena Wie akan sangat gengsi mengendarai motor yang begitu-begitu saja – motornya haruslah menjadi tren setter di Malang. Untuk itulah setiap saat dia butuh duit, lumayanlah buat gonta-ganti pernak-pernik motor. Jadi tak ada alasan buatku untuk melarangnya.
Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya (dia selalu kesiangan bangun pagi), ditebusnya dengan mempercepat laju motornya supaya kami tidak terlambat sekolah. Jam tujuh kurang lima menit dia sudah menurunkanku di gerbang sekolah. Seperti biasa sekolah sudah ramai dan hampir saja Pak Sardi, satpam sekolahku menutup gerbang.
"Hati-hati ya Wie." Aku melambaikan tanganku.
Wie tersenyum, memamerkan giginya yang putih bersih. Matanya jadi semakin sipit yang sering membuatku gemas bila melihatnya. Setelah meraung beberapa saat motor itupun melaju lagi dengan kencang.
*****
Dona sang Primadona
Prang…!
Belum sepuluh detik. Tiba-tiba aku tersentak oleh suara kaca pecah. Bukan, itu bukan suara motor Wie. Hatiku lega meskipun masih deg-degan. Kulihat motor Wie sudah berbelok arah, berarti bukan Wie.
Dengan langkah tergesa segera kususuri koridor untuk mengetahui apa yang terjadi. Ternyata memang terjadi keributan di kelas sebelah. Dua orang cowok yang kukenal adu jotos tepat di depanku. Teman-teman tak ada yang melerai, justru mereka saling menyoraki. Dua-duanya dari kelas sebelah. Ada apa ini?
Untung yang membentur kaca adalah siku Bonar, bukan kepala kribonya. Dengan garang Huri mengacungkan tinjunya, sambil menarik kerah baju Bonar.
"Cuk, jo macem-macem kon karo kera ngalam. Ajur kon…." Huri mengancam Bonar. Artinya begini, 'Jangan macam-macam sama orang Malang. Bisa babak belur, kau!'.
Bonar tak gentar sedikitpun. Perawakan Batak itu pun meludah, "Kera ngalam, kera ngalam apa kau bilang? Kau pikir aku takut sama kau? Monyet!"
Mereka berdua adu jotos lagi, saling gebuk, saling tarik, saling tendang, dan baru berhenti ketika Pak Sardi memisahkan keduanya dengan pentungan. Keduanya digiring ke kantor Kepala Sekolah.
Aku segera tau penyebabnya setelah kulihat Dona ketakutan di dalam kelas.
*****
Bapak Kepala Sekolah yang biasanya sabar dan murah senyum itu memasang wajah serius. Huri dan Bonar tak berkutik di depannya. Di samping Bapak Kepala Sekolah ada Pak Sardi dengan pentungannya, siaga satu mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi. Ruangan menjadi senyap.
"Coba ceritakan dari awal!" Bapak Kepala Sekolah memulai pembicaraan.
Sepi. Tak ada yang buka suara.
"Kamu, Huri!"
Huri mendengus. Setelah beberapa saat meredam amarahnya barulah dia buka suara. "Dia menggoda pacar saya, Pak," kata Huri sambil melihat kesal ke arah Bonar.
"Hah, apa kau bilang?!" Bonar tak terima. Setelah mengaduh sebentar atas luka di sikunya Bonar melanjutkan bicara. "Wah, tak benar itu Pak. Justru dia yang pegang-pegang pacar saya, Pak. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, Pak."
"Jok ngawur kon, jangan ngawur kamu!"
"Kemaren kau rayu pacar aku. Tadi, pagi-pagi sekali kau goda dia lagi. Sengaja kau rupanya bikin masalah sama aku."
"Dia itu pacarku!"
"Pacarku!"
"Pa-car-ku!!"
Bonar mencibir, "Sejak kapan Dona mau pacaran sama Monyet?"
"Cuk…!"
Brakk! Pentungan Pak Sardi menggebrak kaki meja. Bapak Kepala Sekolah ikutan kaget.
"Bicara yang sopan di depan Bapak Kepala Sekolah!" bentak Pak Sardi, terutama ditujukan buat Huri.
Huri dan Bonar terdiam. Bapak Kepala Sekolah mengangguk-angguk, mulai mengerti duduk permasalahannya.
"Oo, jadi masalah cewek?" Bapak Kepala Sekolah mengangguk-angguk lagi, "Saya bisa mengerti…. Dua hari yang lalu ada kejadian yang sama. Dan saya kira penyebabnya pun sama."
Huri dan Bonar saling pandang tak mengerti.
Lalu Bapak Kepala Sekolah bicara dengan Pak Sardi, "Pak Sardi?"
"Siap, Pak!"
"Tolong panggilkan Rachel Primadona ke sini!"
Huri dan Bonar kaget oleh sasaran Bapak Kepala Sekolah yang sangat tepat.
"Yang kalian maksud dengan Dona tadi Rachel Primadona kan? Cewek bule pindahan dari Jakarta itu kan?"
Tak ada yang menyangkal, berarti dugaan Bapak Kepala Sekolah benar. "Iya Pak Sardi, cepat panggilkan Dona ke sini!"
Pak Sardi menegapkan badannya, "Siap Pak!"
"Tapi Pak?" Langkah Pak Sardi terhenti oleh protes Huri. "Ini kan tidak ada sangkut-pautnya dengan Dona. Ini murni masalah laki-laki, Pak."
"Betul, Pak." Kali ini mereka kompak. Bonar setuju juga dengan pendapat Huri. "Menurut saya, Pak… sebaiknya memang Dona itu tak perlu lah di bawa ke sini. Ini masalah kami berdua, Pak. Biarlah kami selesaikan berdua, secara jantan."
"Betul, betul Pak. Jangan sangkut-pautkan masalah ini dengan Dona, Pak." Huri mulai memohon.
"Kenapa kalian yang bingung? Saya mau memanggil Rachel Primadona karena ingin tau apa yang terjadi sebenarnya." Bapak Kepala Sekolah tak mengindahkan protes Huri dan Bonar, menyuruh Pak Sardi bergegas melaksanakan perintahnya.
Pak Sardi pun segera keluar memanggil Dona.
Tak berapa lama Dona masuk ke ruangan kepala sekolah. Wajah indonya terlihat semakin putih. Dona duduk di kursi yang telah disediakan.
“Dona… Dona… dan Dona lagi…..” Bapak Kepala Sekolah terlihat gemas.
Dona tertunduk diam.
"Dona, kamu kenal kan sama mereka berdua?" Bapak Kepala Sekolah bertanya dengan nada yang bijaksana.
Huri dan Bonar dua-duanya tertunduk. Dona mengangguk tegang.
"Kamu tau kenapa mereka berdua berkelahi tadi, Dona?"
Dona masih terdiam.
Bapak Kepala Sekolah menghela napas panjang, lalu melanjutkan bicara, "Seperti yang sudah-sudah. Mereka bertengkar karena memperebutkan kamu, Dona. Lagi-lagi, siswa-siswa di sini bertengkar karena memperebutkan kamu. Ckckck, kamu sudah menjadi kurikulum favorit di sekolah ini rupanya! Mereka berdua itu mengaku, dua-duanya itu mengaku sebagai pacar kamu."
Dona tersedak kecil, mungkin dadanya menjadi sesak.
Huri dan Bonar terdiam, masih dengan wajah bermusuhan.
"Sekarang begini saja. Berhubung kalian bertiga sudah berkumpul di sini, Bapak tanya sama kamu, Dona. Lagi dan lagi. Di antara mereka berdua itu siapa yang sebenarnya menjadi pacar kamu?"
Dona menggigit bibirnya. 'Mampus deh, gue!' Dona memejamkan matanya seakan-akan ada benda yang mencekik lehernya.
"Huri, … atau Bonar?" Bapak Kepala Sekolah menegaskan pertanyaannya.
Dona terdiam.
*****
Yang kutau akhirnya masalah itu bisa diselesaikan dengan baik. Syukurlah. Karena Dona tak mengakui satupun dari mereka sebagai pacarnya - Bapak Kepala Sekolah beserta Pak Sardi adalah pemenangnya - tentu saja Huri dan Bonar melongo. Lagi dan lagi – seperti yang dikatakan Bapak Kepala Sekolah.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka berdua saat itu. Terutama Huri yang sering curhat padaku betapa cinta-matinya dia pada Dona. Dona adalah cinta pertamanya, tambatan hatinya yang kan selalu dipuja dan dimanja, weleh-weleh… ternyata hanya menganggapnya sebagai teman. Tentu saja hati Huri hancur berkeping-keping.
Dona bilang, dia memang sayang sama Huri - juga Bonar, tapi hanya sayang sebatas teman. Weleh-weleh…. mudahnya gadis bule bilang sayang. Untungnya Bapak Kepala Sekolah memberi nasehat yang sangat jitu.
“Huri, Bonar… ingat baik-baik nasehat Bapak ya?!"
Aku mengintip dari balik jendela kantor. Waktu itu Bapak Kepala Sekolah memasang wajah serius. "Jadi anak laki-laki itu tidak perlu modal besar sebenarnya. Cukup dengan ini, ya… dengan ini!" Bapak Kepala Sekolah menunjuk ke keningnya.
Huri dan Bonar sama-sama tertunduk, diam.
"Sebenarnya masalah cewek itu masalah kecil. Kalau kalian sedikit pintar tidak mungkin tertipu seperti sekarang ini, justru banyak gadis-gadis yang mengejar kalian. Tidak hanya Dona… bisa jadi seluruh gadis-gadis di sekolah ini akan mengidolakan kalian. Itu kalau kalian pintar. Jadi kalian harus pintar dulu. Dan untuk pintar diperlukan tekun belajar, supaya kalian berprestasi… dan ada sesuatu yang bisa kalian banggakan. Bapak yakin, jangankan gadis indo seperti Dona, gadis Meksiko atau Italia sekalipun bisa kalian dapatkan seperti Andrea Hirata yang bisa ke Prancis dengan beasiswa."
Gubraaak! Mana nyambung mereka diajak ngomong begitu? Tapi boleh juga motivasinya Bapak Kepala Sekolah…. masuk akal!
"Paham maksud saya, kalian?"
Syukurlah. Akhirnya mereka mengangguk dan saling berbaikan – mungkin merasa senasib karena merasa sama-sama dikecewakan Dona.
Dona… Dona sendiri sampai kapanpun akan tetap menjadi primadona karena dia adalah bintang, pusat perhatian bagi semua yang ada di dekatnya.
*****
Investigasi Mama
Hari ini terasa lama sekali. Tak ada alasan bagiku untuk menolak ajakan Mama membenahi taman bunganya, karena sudah tiga minggu berturut-turut di bulan yang sama aku selalu keluar dengan Wie. Pagi tadi sudah kujalani dengan perasaan malas. Dua jam setelahnya sungguh membosankan.
"Cahya, rumputnya tuh sudah acak-acakan!" bahasa Mama jika menyuruhku memotong rumput. Sebenarnya malas sekali. Mama sih enak. Sambil bernyanyi-nyanyi kecil, merangkai bunga-bunga cantik ke dalam vasnya. Mempercantik taman adalah hobi Mama.
Biasanya jam-jam segini Papa juga menjalankan hobinya – curhat sama burung piaraannya. Sedang Mas Keling, seperti biasa tebar pesona di dunia maya. Mereka sibuk dengan keasyikannya masing-masing. Yang paling semangat adalah Mama. Apalagi sore nanti akan diadakan arisan ibu-ibu. Wah, bisa seharian nih Mama merapikan taman bunganya. Biasa, taman bunganya akan dipamerin ke teman-teman arisannya, jadi harus diset secantik mungkin.
Dengan malas aku mengerjakan perintah Mama. Kupotong rumput itu dengan asal tanpa perasaan, karena anganku terus melayang memikirkan Wie.
'Duhh, lagi ngapain ya Wie sekarang? Jangan-jangan dia ke Tong Setan lagi? Sebenarnya sih aku lebih tenang kalau dia berada di bengkel. Jangan-jangan benar dia pergi ke Tong Setan? Kenapa dia nggak nelpon ya?'
Hape-ku berbunyi ketika aku sedang memasukan potongan rumput ke bak sampah. Wie?! Aku terlonjak senang.
Memang, kalau jodoh takkan kemana…
"Hai, Wie!" cepat kujawab panggilan hape-ku.
"Lagi ngapain, Cantik?" suara dari seberang menghadirkan debar halus di hatiku.
Aku tersipu meski Wie tidak berada di depanku. "Sedang memotong rumput."
"Kacian… boleh kubantu? Bantu do’a?”
Aku geli mendengar reaksinya. "Yee, enak saja bantu do’a,” gerutuku. “Ke sini dong, bantuin!”
“Memang boleh?”
“Boleh lah. Kalau kamu bantuin kan motong rumputnya jadi cepat selesai? Biar cepat rapihnya."
"… ohh."
"Kenapa, ohh?"
Wie tak segera menjawab. "Nggak jadi ah, takut item!"
“Ihh…” gurauan Wie membuatku gemas. Memang, dibanding kulitnya yang Cina sudah pasti kulitku lebih hitam.
"Nggak lah. Justru matahari pagi itu segar dan menyehatkan." Aku tak mau kalah.
“Iya juga sih…”
“Apalagi kalau rumputnya sudah rapi, tamannya pasti lebih indah.”
“Nggak juga. Tanpa dipotong pun tamanmu sudah terlihat cantik kok. Kan ada kamu?" Gombalnya kumat. “Pasti di pagi hari taman bungamu bersinar oleh senyummu, siang hari mekar oleh tawamu, malam hari bersinar oleh tatapan matamu. Kan ada kamu?”
“Gombal banget sih”
"Namanya juga usaha…” Wie terkekeh.
Aku cekikikan.
"Cahya…." Wie memotong gombalannya dan berkata serius.
"Hmm?"
"Kita ketemuan yuk! Kangen nih…."
Ada debar halus lagi di hatiku. Jujur, sebenarnya aku juga kangen. Tapi masak iya, baru sehari nggak ketemu sudah kangen? Norak banget ya kalau lagi kasmaran? Sudah tau Wie tukang ngegombal….
"Nggak bisa, Wie. Kan sudah kubilang, aku harus bantuin Mama sore ini, ada arisan. Tiap Minggu sudah keluar, nggak enak sama orang rumah? Kelayapan tiap hari…."
"Sebentar saja, ke alun-alun? Kangen nih…."
Bibirku manyun tanda tak percaya.
"Beneran!"
Si perayu ini…. "Mau ngapain sih?"
"Ada deh…."
Aku mencibir, "Main rahasia-rahasiaan segala. Mau ngapain dulu dong?"
"Pokoknya, ada deh…. Nanti malam, ya? Ya?!"
Wie terus mendesakku. Belum sempat kujawab. Aku baru menyadari bahwa Mama memperhatikanku sejak tadi. Salah tingkah juga jadinya. Aku merendahkan suaraku, setengah berbisik, "Sstt, Wie. Udahan dulu ya. Mama mulai curiga nih. Nanti kutelpon balik.” segera kumatikan hape-ku sebelum Wie ngoceh ngalor-ngidul lagi.
Mama menuju ke arahku. Mungkin reaksiku tadi berlebihan sehingga Mama justru curiga padaku. Aku buru-buru memotong rumput lagi, seolah tak terjadi apa-apa.
"Telepon dari siapa, Cahya?"
Tuh kan benar, Mama curiga. Aku tak berkutik. Kulempar senyum semanis mungkin, nada bicaraku kubuat senormal mungkin. "Dari Wie, Ma."
"Wie?" Mama menghela napas panjang. Lalu ikutan jongkok, tepat berada di depanku. Mama terlihat ragu sebelum bertanya dengan nada serius, "Cahya, kamu nggak pacaran kan dengan Wie?"
Deg! Jantungku rasanya mau copot.
Aku sungguh tak berdaya kalau Mama sudah begini. Tanpa kusadari alam bawah sadarku telah bertindak dengan benar. Spontan kepalaku menggeleng. Ini demi kebaikan semuanya.
“Syukurlah….” Kulihat Mama tersenyum lega.
"Memang kenapa, Ma?" Aku berusaha menutupi kegugupanku.
"Enggak…. Mama lihat kamu diantar-jemput terus sama dia. Trus, hubungan kalian juga sangat dekat akhir-akhir ini. Begini lho Cahya…." Mama merengkuh pundakku, kami duduk berdampingan layaknya dua orang sahabat yang saling bertukar pikiran. Jujur, justru sikap Mama membuatku ketakutan. "Mm, sebenarnya Mama dan Papa tuh nggak ngelarang kok kamu bergaul dengan siapa saja, asal… anaknya bener…."
"Maksud Mama?" Aku mengernyit.
"Soalnya, Mama perhatikan sepertinya Wie itu nggak pernah sholat ya?"
Deg! Jantungku berpacu lebih kencang.
"Dia Tionghoa kan?"
Aku terpaku, diam. Nggak menyangka bahwa Mama yang biasanya praktis akan bertanya sedetail ini.
"Trus, agamanya?"
Aku tak menjawab.
Mama tersenyum lembut sebelum aku sempat menjawabnya. "Tapi nggak apa-apa kok. Mama percaya kok sama kamu, Cahya. Anak Mama yang satu ini pasti lebih pintar memilih teman, iya kan? Lagipula Mama dengar sekarang banyak juga orang Tionghoa yang masuk Islam. Jadi nggak masalah kamu bergaul dengan Wie."
Mama meninggalkanku sebelum persediaan oksigen di otakku benar-benar habis. Dadaku terasa sesak dan sakit.
*****
Mekar
Ternyata Wie mengajakku ke pasar malam. Setelah melalui perjuangan panjang, harus mencari berbagai alasan plus bantuan dari Mas Keling meyakinkan Mama dan Papa akhirnya aku berhasil keluar rumah, untuk bertemu dengan Wie.
"Memang mau ngapain sih, Wie?" aku penasaran. “Kalau tau ke sini sih mendingan aku pulang saja deh.”
“Eit, tidak bisa!” Wie mencekal tanganku. “Aku mau menunjukan sesuatu yang kereeen.”
Tanganku ditarik ke arah tempat yang sangat kubenci, Tong Setan. Tempat yang pernah membuatku trauma.
"Jangan mulai deh, Wie. Ini nggak lucu!" Aku mulai marah. "Kamu pikir bagus apa, aku bela-belain membohongi orang tuaku hanya untuk melihatmu jumpalitan menentang maut? Kirain mau ngasih kejutan apa…," aku ngomel-ngomel sendiri.
Wie cengengesan.
"Nggak lucu tau nggak?!" Aku berniat meninggalkan tempat itu.
Tapi tangan Wie mencekalku lagi. Lalu dia berkata serius, "Aku janji, Cantik. Ini adalah atraksi terakhirku."
Aku tercenung. Atraksi terakhirnya? Apa maksudnya? Ihh, aku suka membayangkan yang nggak-nggak tiap Wie menyebutkan kata-kata yang berbau-bau ‘terakhir’. Dia tuh suka sekali bermain-main dengan nyawa, soalnya.
"Makanya kamu harus melihatku," katanya lagi.
Di sepanjang permainan Tong Setan itu kepalaku berdenyut sakit. Terlebih ketika motor Wie meraung kencang, jantungku sepertinya ikut melayang. Bagaimana jika motor Wie terpeleset, atau roda-roda itu tidak kembali ke tempat yang semestinya. Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi pada kepala Wie yang tidak memakai helm itu….
Kupejamkan mataku untuk menepis segala kemungkinan buruk. Tak henti-hentinya aku berdo’a. Roda gila itu pasti melaju dengan sangat kencang memutari tong setan, kupingku sampai pekak mendengarnya. Satu kali, dua kali, tiga kali… untuk selanjutnya aku tak berani menghitung lagi. Badanku sudah lemas. Sampai kudengar raungan motor itu melemah dan tepuk tangan membahana. Barulah aku merasa lega.
"Bagaimana?" Wie menghampiriku dengan senyum kemenangan. “Gaya menukik seperti itu kuberi nama patukan King Kobra. Ciaawww!” Dia menirukan gerakan Bruce Lee. “Kupelajari selama dua bulan dan aku yakin atraksiku tadi disukai banyak orang. Hebat kan?”
“Hebat, gombalmu mukiyo?” aku gondok tak terkira.
Dipeluknya pinggangku dari belakang. Terus terang aku masih gemetaran, tapi aku kesal setengah mati. Meski Wie berusaha merayuku, tetap saja aku masih kesal. Kutinggalkan Wie dan turun dari area tong setan dengan hati kesal.
"Jangan ngambek dong, Say!" Wie mengejarku.
“Nggak ngerti banget sih kamu?”
Wie malah cengengesan. "Maksudku, seharusnya kamu tuh sebagai pacarku sudah terbiasa dengan hobiku, seharusnya sudah kebal. Masak melihat begini saja takut?"
Darahku mulai naik lagi. "Kamu pikir lucu? Melihat orang yang kita sayangi bermain-main dengan maut, di depan mata kita? Yang sewaktu-waktu hal buruk bisa terjadi sama dia?"
"Ckckck, segitu khawatirnya ya…," Wie cengengesan lagi.
Kutinggalkan Wie begitu saja.
Wie mengejarku, "Iya-ya, itu tandanya kamu sayang sama aku. Ngerti…."
"Ingat, Wie! Kamu sudah janji bahwa ini adalah atraksi terakhirmu!" Aku menagih janjinya.
"Trus?!"
“Ya tepatin dong!”
"Kan kamu yang bilang, aku tukang ngegombal? Mana bisa tukang ngegombal dipercaya? Haha, ketipu lagi….”
Kucubit perut Wie dengan marah. Tuh kan, dia bohong lagi? Dan Wie tertawa senang karena berhasil mengelabuiku. Mungkin ini sudah yang kesepuluh kalinya, dan anehnya aku selalu mempercayainya. Sebelumnya dia pernah berjanji, tidak akan main kebut-kebutan lagi, tidak akan balap liar lagi, selalu membawa helm kemanapun dia pergi. Ternyata tak satupun ditepatinya.
"Eh, kita naik kincir angin, yuk!" Wie sudah menarik tanganku sebelum aku membahas janjinya lebih lanjut. "Nggak mau, aku gendong nih!” Wie mengancamku.
Aku menyerah sebelum Wie membopongku beneran. Dia itu pemuda nekat. Bocah tua gila! Reaksinya tak terduga. Dan sungguh tak tau malu. Aku ‘terpaksa’ naik dengan suka-rela. Mendahului Wie yang tertawa-tawa senang masuk tanpa karcis. Seluruh penjaga stand di pasar malam ini adalah temannya. Dia lebih berkuasa daripada pemkot yang melegalkan pasar malam keliling ini.
Ketika kincir angin mulai berputar dengan suara derit yang sedikit mengganggu, kurapatkan badanku ke dalam pelukan Wie. Wie balas memelukku, masih dengan senyum khasnya - tanda kemenangan. Lalu berubah manis. Kekesalanku melumer.
Malam menjadi sangat indah. Dengan lampu warna-warni dan segala pernak-perniknya, baru kusadari ternyata kemarahanku pada Wie tak bisa berlangsung lama. Pasar malam ini terasa lain, mungkin karena ada Wie di sampingku.
Sebenarnya masih banyak permainan lain. Selain tong setan dan kincir angin masih ada alap-alap, komedi putar, rumah hantu dan berbagai stand yang menjual berbagai macam barang atau pernak-pernik. Tapi Wie selalu mengajakku naik kincir angin. Nyaman dan hangat di sini. Duduk berdua, di dalam keranjang sempit untuk kemudian berputar naik-turun. Angin membuat rambutku meriap. Tiba-tiba kutakutkan sesuatu. Mungkin inilah saat yang tepat untuk membahasnya.
"Wie…."
"Hmm?"
Ragu. Kupejamkan mataku untuk mendengar debar di dada Wie. Aku tak segera mengutarakan kekhawatiranku.
"Sampai kapan ya kita begini?" pancingku, pelan-pelan.
Wie mengelus rambutku - mesra. Lalu menatapku serius. "Maksudmu?"
"Kita sudah kelas tiga dan sebentar lagi lulusan. Aku tak tau ke arah mana hubungan kita akan berjalan."
Wie tak paham. "Ada masalah?” tanyanya serius. “Kalau kau ingin menyampaikan sesuatu, katakan saja.”
“Bukan, mm… bukan masalah kita sih. Tapi menyangkut kita juga sih.” Aku bingung bagaimana memulainya. “Itu!” Kutunjuk kalung salib yang dikenakannya.
“Ini?” Wie meraba kalung salibnya. Barulah dia menangkap arah pembicaraanku. Sinar matanya resah. Kurasa dia sudah memikirkannya berulang kali. Meski kami tak pernah membahasnya.
“Tadi Mama menanyakanmu.”
“Trus?”
“Aku mesti jawab apa. Terpaksa aku berbohong.”
“Kamu bohong terus ya?”
Selanjutnya blank, kami terperangkap dalam situasi bingung. Dia sih enak. Aku tau bagaimana penerimaan keluarganya terhadapku. Mama-papanya yang tionghoa sedikit longgar untuk masalah yang satu ini. Wie sudah mengenalkanku pada keluarganya. Dan mereka teramat baik menerimaku. Fine-fine saja. Aku disambut dengan baik. Tapi tidak dengan keluargaku. Pandangan mereka menjadi berbeda setelah mengetahui Wie non muslim.
“Baiklah.” Akhirnya Wie bicara setelah menarik napas panjang. "Bagaimana kalau begini saja. Untuk kamu, Cahya…," Wie berusaha meyakinkan. "Aku mau kok nikah di masjid. Kalau itu melegakan hati mereka. Apapun yang orang tuamu mau."
Membuatku bengong. Bisa segampang itu? “Ah, nggak-nggak ah.” Aku tak setuju.
Semudah itu dan Wie tak perlu minta pendapat orang tuanya? Ini bukan lelucon yang bisa diputuskan secara gampang. Masalah keyakinan bukan masalah sembarang. Apakah orang tuaku bisa percaya begitu saja? Belum lagi orang tuanya. Apakah orang tuanya rela anaknya berpindah agama dengan gampang?
Kata Wie, meskipun dengan restu ataupun tanpa restu orang tua, Wie akan terus memperjuangkan cinta kami. Menurut Wie, masa depan kami cuma kami-lah yang berhak menentukan, bukan orang tua kami. Masalah keyakinan bisa diatur.
Aku jadi bingung. Benarkah, masa depan kami cuma kami yang berhak menentukan? Setauku Mama dan Papa justru mendidikku dengan sebaliknya. Justru di tangan merekalah masa depan kita akan ditata sebaik mungkin. Tidak ada orang tua yang akan menjerumuskan anaknya, begitu Papaku dulu bilang. Semua orang tua selalu menginginkan yang terbaik buat anaknya.
"Aku mencintaimu, Cahya," bisik Wie lembut. "Aku tidak mau kita berpisah hanya karena ini. Ayolah. Kita pasti bisa melaluinya.”
Membuatku bimbang. Sebesar apa Wie mencintaiku?
'Melebihi cinta orang tuaku padaku? Melebihi cintanya pada orang tuanya? Ah, tapi bukankah cinta mereka punya makna yang berbeda, tidak adil bila dibanding-bandingkan?'
"Ini bukan salah kita. Aku tidak pernah minta dilahirkan sebagai Khonghucu atau Nasrani? Bukan salahku jika aku dilahirkan Khonghucu untuk kemudian pindah menjadi Katolik. Atau di kemudian hari menjadi Muslim, siapa yang tau? Dan aku tidak mau hal ini menjadi batu sandungan kita."
Mungkin benar.
Secara praktis dia memutuskan masa depan kami.
“Besok, lusa… kita akan dihadapkan pada masalah yang sama. Okey, supaya kamu tenang. Toh sebentar lagi juga lulusan? Bagaimana kalau kita married? Supaya jelas masa depan kita.”
Blep!
Lampu warna-warni di kereta kami padam. Tepat di puncak putaran, diesel kincir angin mati, bertepatan dengan ikrar suci Wie. Dan kami : aku dan Wie terayun-ayun di puncak angkasa seperti nasib kami yang belum jelas masa depannya. Wie mendekatkan wajahnya hingga kereta kami berderit. Wajahku mungkin memucat. Dengan lembut bibir Wie menyentuh bibirku, di puncak keheningan Wie membuat wajahku yang kurasa memucat menjadi memerah.
Napasku tersengal sesudahnya. Dan ciuman pertamaku itu telah merubah segalanya. Karena setelah itu aku menjadi sangat percaya pada tukang ngegombal ini.
*****
Tentang Wie
Cinta kami bukan cinta yang biasa, aku sangat menyadari itu. Bahwa Wie seorang Tionghoa dan aku pribumi totok, aku juga menyadarinya. Dengan segala keterbatasan dan latar belakang yang berbeda, aku merasa kami bisa saling melengkapi. Bahwa aku mencintainya, itu tak perlu diragukan lagi.
Awalnya tak ada yang salah dan aku merasa enjoy menjalaninya. Tapi di tahun kedua hubungan kami, kami dihadapkan pada suatu masalah yang mau tak mau harus kami putuskan bersama. Rencananya setelah kelulusan nanti Wie akan meneruskan kuliah di Singapura, mengambil teknik otomotif supaya dia bisa memperbesar bengkel Papanya. Kami tak mau berpisah, makanya Wie mengajakku kawin.
Sementara, untuk menghadap ke orang-tuaku, aku yang melarangnya. Aku masih belum siap karena aku berkeyakinan akan fatal akibatnya. Untungnya orang tua Wie menyambut baik kehadiranku. Mereka tidak keberatan karena dulunya mereka juga menikah muda. Ketika Wie menyampaikan keinginannya mereka justru maklum, katanya mereka bangga punya anak yang berpendirian seperti Wie. Pembicaraan itu mengalir begitu saja.
Untuk tahap yang lebih serius, mengenai pernikahan kami nanti Wie bilang tak masalah mau menikah cara Islam atau cara Katolik. Tapi menurutku sih akan susah sekali. Ke gereja satu kali seminggu saja Wie sering bolong-bolong, apalagi disuruh sholat lima waktu? Dan jalan akhir jika orang tuaku masih tidak merestui hubungan kami, kata Wie, ada gereja kecil di pinggiran kota Malang yang bersedia menikahkan pasangan beda agama. Itu jika aku tak mau melepaskan agamaku. Tentu saja aku tak mau menjadi murtad. Jadi aku akan menikah di dalam gereja?
Sampai di sini aku bingung. Aku harus bertukar-pikiran dengan seseorang.
"Don…." Setelah bel istirahat berbunyi kutarik tangan Dona ke pojok kantin yang sepi. Lalu kuceritakan semuanya.
Mata indah Dona mengerjap tak percaya mendengar penuturanku. Mata yang sudah membius seluruh cowok di sekolah ini, karena dia adalah primadona. "Wow!" Reaksinya diluar dugaanku. “Selamat ya, Cahya.”
"Selamat apa?" Aku tak mengerti.
"Demi Bapa Pengembala yang baik," Dona memutar tangannya membentuk salib. "Kalau saja aku menemukan cowok se-gentle itu, Cahya…"
"Maksudmu?"
"Aku rela menggantikan posisimu."
"Ngaco!" Aku manyun.
Dan Dona tertawa. "Serius, Cahya…," katanya lagi. "Dia itu cowok baik. Jaman sekarang mana ada cowok seperti itu. Yang ada maunya cuman seneng-seneng, suka ngegombal…. Dia melamarmu, itu tandanya dia sangat serius sama kamu. Dia pastilah cowok yang sangat mencintai kamu. Swear! Kamu harus menerima lamarannya, Cahya."
"Apa ini tidak terlalu cepat?"
Jujur aku bilang, sebenarnya ini sangat berat bagiku. Aku ingin sekali melanjutkan kuliah. Mewujudkan cita-citaku menjadi seorang guru TK atau membangun sebuah playgroup yang berbasis agama. Seharusnya Wie bukan halangan. Aku bisa kuliah setelah menikah. Seharusnya aku tidak risau.
"Percayalah, Cahya…." Dona menggenggam tanganku dengan wajah serius. "Waktu akan membuktikan bahwa kamu tidak salah pilih. Dia pastilah cowok yang akan membahagiakan kamu."
Rupanya kejadian beberapa bulan yang lalu telah memberi pelajaran berharga bagi Dona. Kuperhatikan banyak perubahan pada sikapnya. Setelah Huri dan Bonar menjauhinya, juga beberapa teman cewek yang memusuhinya dan bahkan merendahkannya, Dona menjadi sedikit pendiam. Tapi itu bagus. Dona menjadi selektif memilih cowok. Katanya, dia kapok berurusan dengan cowok-cowok Malang dan berjanji tidak akan pacaran lagi sampai menemukan cowok pujaan hatinya. Dona sedikit arif sekarang, makanya aku mengajaknya bertukar pikiran.
"Trus Don, bagaimana aku ngomong dengan orang tuaku?"
"Bicara aja terus-terang!"
"Kalau mereka tidak setuju?"
"Yang penting kamu sudah minta ijin. Oya," Dona seperti teringat sesuatu. "Aku punya Om dan Tante yang menikah beda agama."
"Oya?" Aku menjadi bersemangat. "Trus, trus?"
Dona menggedikan bahunya. "Ya… nggak ada yang aneh dengan mereka. Memang sih, sebelum menikah mereka mendapat banyak sekali halangan. Termasuk, tidak mendapat restu dari salah satu orang tua mereka. Ya, seperti kamu. Tanteku yang beragama Islam itu ditentang habis-habisan oleh orang tuanya. Tapi karena terus nekat, toh akhirnya mereka menerima Omku yang Katolik itu. Apalagi setelah melihat cucu-cucu mereka yang lucu-lucu itu. Omku sampai sekarang masih Katolik dan Tanteku itu masih Islam. Habis gimana ya, masalah keyakinan sih, jadi nggak bisa dipaksakan."
Aku tergugu. Serumit itukah hubunganku dengan Wie nanti? Bagaimana kalau Papa atau Mama nanti bertanya, imam seperti apakah yang akan menuntun rumah tanggaku kelak? Siapkan aku menjadi istri dengan segala problematikanya di usia semuda ini? Pernikahan semacam apakah yang akan kubuat nanti?
"Jadi menurutmu sebaiknya aku menerima lamaran Wie? Meskipun tanpa restu dari kedua orang tuaku?" aku bertanya dengan ragu.
"Coba dulu. Siapa tau mereka merestui. Tapi kalau mereka tetap tidak merestui… ya iya dong," Dona meyakinkanku. "Kamu harus menerima lamaran, Wie. Cahya, cinta itu harus diperjuangkan. Kesempatan datangnya cuman satu kali. Kalau dia memang jodohmu, kamu nggak boleh melepaskan cowok sebaik Wie. Aku akan membantumu Cahya, aku janji!”
Nasehat Dona mengembalikan keyakinanku yang sempat hilang. Jadi begitu? Jadi aku harus memperjuangkan cintaku? Meski konsekwensinya harus menentang kedua orang tuaku? Tanpa sadar kepalaku mengangguk pelan.
*****
PT. Dua Intan Motors,
Pertengahan Februari di musim hujan
Sepulang sekolah seperti biasa Wie menghabiskan waktunya di bengkel. Hari ini tak banyak pelanggan yang datang. Lagi hujan, mungkin orang-orang malas keluar rumah. Tampak sebuah mobil, Mitsubishi Lancer MG 1.6 memasuki area parkir ketika Wie baru menyelesaikan makan siangnya. Jendela belakang mobil itu terbuka, menyembulkan seraut wajah cantik pemiliknya.
"Ping Wie!" sapanya.
Wie mengernyit dan mendekat ramah, "Hai?"
Setelah berbicara sebentar dengan sopirnya, gadis itu keluar dari mobilnya dan mendekati Wie. Seorang gadis tinggi semampai, berkulit putih dan berwajah indo. Berbolero rajut warna hijau tua menutupi bed baju seragamnya. "Hm, sibuk terus ya. Hebat. Di usia semuda ini sudah punya bisnis sebesar ini? Apa kabar?” Dona mengangsurkan tangannya.
"Baik," Wie menyambut uluran tangan Dona dengan canggung. Agak mengagetkan kedatangannya. “Yuk, masuk yuk, di sini panas.”
Dona celingak-celinguk memperhatikan bengkel yang lumayan besar ini. Mata bulatnya sibuk mengamati. Selain menjual oli, bensin dan berbagai sparepart, bengkel ini juga dilengkapi dengan sebuah steam cuci mobil besar yang diletakan di ujung kanan dan sebuah single post lift disebelahnya lagi. Dona duduk di ruang tunggu, sementara Wie duduk di sebelahnya sembari mengangsurkan minuman ringan.
“Mau service?”
“Oh, enggak. Saya ada perlu sama kamu. Bisa ganggu sebentar?” tanya Dona.
“Oh, boleh-boleh….” Wie mempersilahkan.
“Bengkelmu besar juga ya?” Dona tak segera mengutakan niatnya.
“Bengkel keluarga….”
“Oh….” Dona mengangguk-angguk.
“Bagaimana, kerasan di sini?” Kali ini Wie yang bertanya.
“Ya… begitulah.”
“Tak ada kota seindah Malang. Di sini banyak sekali tempat wisata yang bisa kau kunjungi. Tempatnya berjejer, bisa kau pilih sesuka hati.”
“Sayang tak ada seorang pun yang memperkenalkan kota ini padaku.” Dona menyahut dan tersenyum kecut. “Yang kenal aja pura-pura sibuk terus. Mana sempat ngajak aku jalan-jalan?”
Wie nyengir.
Dona tersenyum manis untuk kemudian bicara serius dengan Wie. “Wie, aku sengaja datang ke sini karena ada yang ingin aku bicarakan sama kamu. Ya… sebenarnya sih aku tau, aku nggak berhak ngomong ini sama kamu. Tapi gimana ya? Mm, … aku janji akan membantu sahabatku, Cahya.”
Wie mendadak diam.
“Kamu serius dengan dia?” tanya Dona kemudian.
Kali ini Wie mengernyit. “Maksudnya?”
“Kalian serius akan menikah?”
Wie melongo. Tentang rencana pernikahannya itu, karena menurutnya itu adalah masalah yang serius dan rahasia, jadi nggak sembarang orang boleh tau. Wie khawatir dia berbicara pada orang yang salah.
"Jangan khawatir. Aku bisa jaga rahasia kok. Cahya itu sahabatku, Wie. Jadi aku harus memastikan bahwa dia akan baik-baik saja nanti. Habis gimana ya?” Dona terlihat kehilangan akal. “Cahya sepertinya lagi stress berat. Ya… sebagai sahabatnya aku ingin membantunya. Kamu cowok yang baik dan cowok yang paling tepat buat Cahya. Aku tau aku nggak berhak ngomong gini sama kamu. Aku orang luar. Tapi kurasa aku punya solusi buat kalian.”
Wie tergugu, tak mengira ada pihak ketiga yang mengetahui masalah pribadinya sejauh ini. “Kupikir masalah ini cuman kami berdua yang tau,” gumamnya gerah.
“Sorry….”
“Bahkan orang tuanya Cahya pun belum tau masalah ini."
"Aku nggak bermaksud mencampuri urusan kalian. Cahya sharing dan aku ingin membantunya. Percaya deh, aku nggak akan membocorkannya pada siapa-siapa. Gini lho, Wie….”
Dona melanjutkan. Wie gerah karena merasa asing dengan gadis ini.
“Cahya tuh sekarang lagi bingung-bingungnya. Aku sudah meyakinkannya. Aku punya kok keluarga yang punya permasalahan seperti kalian, Om dan Tanteku. Mereka menikah beda agama. Kalau kalian kukenalkan dengan mereka, pasti kalian akan diberi jalan supaya lebih mudah melalui ini semua. Kenalan Om-ku banyak untuk permasalahan seperti ini. Pokoknya kalian jangan khawatir deh."
"Oya?" Wie tak tau harus berkata apa.
"Aku yakin, setelah menikah lambat-laun orang-tuanya Cahya pasti akan merestui hubungan kalian. Om dan Tanteku juga begitu, akhirnya mereka direstui. Dan menurutku langkahmu ini sudah benar, Wie."
Wie terdiam.
"Wie, kamu adalah cowok gentle, cowok hebat! Aku kagum atas keberanianmu. Aku yakin siapapun akan bahagia hidup dengan kamu, itu yang sering kukatakan pada Cahya."
Dona beranjak setelah memberikan kartu namanya pada Wie. Kartu nama dengan desain apik, warna pink bergambar dirinya. Sopirnya membunyikan klakson. Sebelum masuk ke mobilnya Dona berkata lagi, "Aku serius akan membantumu!" teriaknya dari dalam mobil.
Mobil berwarna silver itu meluncur keluar bengkel. Dan gadis itu menghilang. Wie tergugu. Gadis aneh, pikir Wie. Muncul di siang bolong, di tempat yang tak semestinya lalu mengajaknya bicara tentang sesuatu yang sangat rahasia. Entah apa maksudnya. Wie justru tak tau bahwa Cahya punya sahabat sereponsif Dona.
*****
Alternative ABC
Rumah ini adalah rumah impian bagi setiap hati yang tinggal di dalamnya karena dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang. Dengan anggota keluarga yang lengkap : Papa, Mama, Mas Keling… mereka selalu ada bila dibutuhkan, saling memotifasi, memberi dukungan atau bahkan saling menasehati bila salah satu dari kami melakukan kesalahan. Di rumah inilah aku tumbuh dan dibesarkan dengan cara yang sangat kusukai.
Sebenarnya Papaku tidak otoriter, apalagi Mamaku yang masih menganggapku seperti gadis kecil sampai aku sebesar ini. Mereka selalu mendukungku dan memberi kebebasan penuh padaku untuk melakukan apapun yang kusuka. Untuk Mas Keling… dia cenderung usil dan menyenangkan, pun begitu ulahnya justru membuat orang semakin sayang sama dia. Kira-kira begitulah gambaran tentang keluargaku.
Menurutku keluarga Wie juga begitu. Aku pernah duduk satu meja makan dengan mereka. Dalam beberapa kunjungan, dalam suatu kesempatan mereka sengaja menyambutku dengan sambutan yang luar biasa. Semacam peresmian bahwa aku diterima dalam keluarganya sebagai seorang menantu. Mereka luar biasa baik, luar biasa ramah dan luar biasa hangat. Papanya Wie berkata saat itu, dialeknya sedikit aneh karena orang Tionghoa tak pandai mengucapkan huruf 'r',
"Kami kelua'r'ga besar. Kalau kamu menikah dengan Wie, kamu ha'r'us bisa be'r'bau'r' tidak saja dengan kami, tapi juga dengan kelua'r'ga yang lain. Ada Apek, Kho Tio bahkan Lai Khong dan Lai Ma di Tulungagung sana. Kamu ha'r'us bisa menempatkan di’r’i menjadi bagian da’r’i me'r'eka."
Ucapan Papa Wie membuatku tersipu. Yang kutau Lai Khong dan Lai Ma adalah sebutan untuk kakek dan nenek, selebihnya aku bingung. Warga Tionghoa mempunya sebutan yang aneh-aneh untuk keluarganya.
Wie menggenggam lembut tanganku waktu itu. Sedang Mamanya mengangguk-angguk setuju dengan kalimat Papanya tadi. Empat adiknya yang lain tak kalah ramainya. Jumlah empat ini dulu sempat mengagetkanku. Tapi aku segera maklum karena kutau orang Tionghoa memang tak takut punya banyak anak. Justru semakin banyak anak mereka akan semakin bangga dan merasa diberkahi, itu kepercayaan mereka. Dan aku menyukai keluarga yang besar ini. Apalagi adik-adik Wie itu lucu dan menyenangkan. Ada saja ulah mereka yang membuatku tertawa. Tapi sewaktu Papanya bicara tadi mereka semua terdiam.
"Papa akan menjadi tua. Kelak Wie yang akan menggantikan Papa, menjadi tulang punggung kelua'r'ga, mene’r’uskan usaha bengkel Papa, juga mengatu'r' adik-adiknya…. Kamu ha'r'us menge'r'ti keadaan Wie."
Keluarga Wie saja mau menerimaku, kenapa keluargaku tak bisa menerima kehadiran Wie? Aku bisa duduk dan merasa nyaman dengan mereka, kenapa Wie tidak? Ini membuatku menjadi sedih.
Jarum jam menunjukan pukul 01.05 ketika aku bersimpuh di hadapan-Nya. Di atas bentangan sajadah yang telah basah oleh air mataku. Kusyu aku memohon. Semoga yang terbaik yang diberikan kepadaku.
Sudah pasti dia bukan imam yang baik bagiku. Karena kami tidak seiman, karena kami sangat berbeda. Tapi dia adalah hambamu yang sangat mencintaiku. Dan aku mencintainya sebagaimana dia mencintaiku. Satukanlah kami ya, Allah dalam selimut cinta-Mu. Supaya kami bisa saling berbagi kebahagiaan dalam cinta.
Kututup lantunan do'aku dengan uraian air mata. Hatiku sedikit lega. Tepat setelah aku melipat sajadahku, Mas Keling menghampiriku.
"Ckckck, istikharah ya?"
Aku kaget karena tak menyangka Mas Keling belum tidur selarut ini. Si tengil ini. Buru-buru kuhapus air mataku.
"Ehh, nangis ya?" Mas Keling kaget melihatku menangis. Lalu seperti biasa, dia mulai cengengesan. "Cyeee, sampai segitunya sholat malam sampai nangis-nangis segala. Pasti habis berbuat dosa."
Aku menjadi sewot. Kupercepat merapikan mukena untuk kembali ke kamar. Hatiku menjadi gondok.
"Kamu pacaran dengan Ping Wie ya?"
Sampai di situ aku berhenti. Aku tergugu. Kutatap lekat-lekat wajah Mas Keling mencari keseriusan dalam kalimatnya barusan. Rupanya Mas Keling memang sedang serius. Wajahnya bersungguh-sungguh.
Giliran aku menjadi panik. "Jangan mengada-ada deh." Aku berusaha mengelak.
Mas Keling mencibir. "Nggak usah bohong. Nanti dosanya tambah lagi." Lalu dia duduk di ruang tengah, mungkin untuk memancingku dan aku memang terpancing karena aku mendekatinya. "Jangan dikira bahwa Mas-mu ini tidak memperhatikan gerak-gerik adiknya. Orang kalau lagi jatuh cinta itu kelihatan dari sorot matanya, Cahya."
"Sok tau."
"Sikapmu itu nggak bisa membohongi Mas, bahwa kamu jatuh cinta sama Ping Wie. Iya kan?"
Jadi Mas Keling memata-mataiku? Aku menunjukan wajah tak suka.
"Bukan saja Mas, semua orang juga tau bahwa kamu itu sedang jatuh cinta. Apalagi Mas… Mas-mu ini kan pakarnya dalam hal percintaan? Jadi nggak usah bohong deh kalau sama Mas Keling. Mendingan kamu jujur saja, siapa tau Mas Keling bisa bantu masalahmu?"
Kalau semua orang bisa mengartikan sikapku bahwa aku menyukai Wie, berarti alangkah dasyatnya rasa sukaku itu? Padahal aku sudah mati-matian menutupinya, berusaha bersikap seolah tak ada apa-apa di antara kami. Meskipun capek dan melelahkan bersikap seperti itu. Tapi kenapa masih terbaca juga ya? Benar kata Mas Keling, mata adalah jendela hati dan tidak bisa menipu. Apakah aku harus memakai kacamata hitam supaya Mama dan Papa tidak mencium hubungan kami? Atau jangan-jangan, justru mereka sudah tau?
Sampai di sini aku panik. Kulihat Mas Keling justru kalem. Aku jadi menyimpulkan lain. Apakah Allah mendengar do'aku barusan dan mengirim Mas Keling sebagai malaikat penyelamatku? Karena memang aku tak punya malaikat penolong. Lebih-lebih waktuku sempit, sebentar lagi kelulusan sekolah jadi aku harus berpikir cepat. Mungkin salah satu dari tiga alternative ini bisa dipilih :
Alternative pertama : aku bicara baik-baik sama Mama dan Papa mengenai hubunganku dengan Wie, dengan resiko terburuk mereka tidak merestui hubungan kami dan aku terpaksa berpisah dengan Wie (dan sepertinya mereka memang tidak akan merestui kami).
Alternative kedua : aku menikah secara diam-diam dengan Wie. Sementara Wie pergi ke Singapura akupun bisa melanjutkan kuliahku di sini. Sampai waktu memungkinkan kami untuk bersatu, mungkin empat atau lima tahun lagi, barulah kami mengumumkan pernikahan kami itu pada Papa dan Mama (wah-wah, sebenarnya ini adalah cara yang paling aman. Tapi menurutku sangat tidak manusiawi).
Alternative ketiga : aku kawin lari dengan Wie, terlepas Papa dan Mama menyetujui atau tidak. Yang penting kami sudah menikah. Mungkin Papa dan Mama akan marah di tahun pertama atau kedua. Tapi sesudahnya kami berharap mereka akan merestui hubungan kami. Dan kami bisa hidup tenang sesudahnya.
Sepertinya alternative ketiga inilah yang akan kami lakukan. Tapi nggak ada salahnya aku bertukar pikiran dengan Mas Keling, bagaimana pendapatnya mengenai hal ini.
"Menurut Mas?" Setelah menceritakan secara detail rencana-rencana kami itu, akhirnya kuakui aku memang butuh bantuan Mas Keling.
Mas Keling melongo. Wajahnya kaku.
"Mas?!" Kugoyang-goyang bahu Mas Keling.
"Astagfirullah… " Mas Keling menarik napas panjang, mungkin tak menyangka bahwa aku sudah berjalan sejauh itu dengan Wie. "Bercanda kamu?"
"Aku serius Mas."
Mas Keling menggeleng tak percaya.
"Wie sangat mencintaiku dan aku sangat mencintainya, Kami pasti akan hidup bahagia. Menurut Mas bagaimana?"
Mas Keling tak menjawab. Baru kali ini kulihat wajah Mas Keling tegang. Setelah beberapa saat, "Aku nggak ikut-ikutan deh." Dia ngeloyor ke kamarnya dengan wajah yang tak bisa kutebak kesimpulannya.
*****
Pengkhianatan Mas Keling
Keesokan harinya Papa membuat kamarku digedor lebih pagi dari biasanya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku melihat Papa sedemikian marah seperti orang kerasukan. Aku menggigil. Terlebih ketika Papa mendudukanku tepat di hadapannya untuk diinterogasi. Membuatku sangat ketakutan karena tak mengenalinya.
"Jadi benar kamu pacaran dengan Ping Wie?"
Alam bawah sadarku menyuruhku untuk mengangguk karena sebenarnya aku belum pulih benar dari tidurku. Ini mimpi?! Aku baru membuka mataku ketika itu. Kepalaku mulai berdenyut.
"Bagus! Jadi benar kamu mau kawin lari dengan pemuda kurang ajar itu? Menganggap kami orangtuamu sendiri sudah mati sampai-sampai kamu bertindak senekad itu?"
Aku baru menyadari kalau Mas Keling mengkhianatiku. Badanku lemas. Dia ada di ujung pintu, wajahnya tertunduk tak berani menatapku. Kalau saja Mas Keling ada di dekatku pasti sudah kucakar mukanya. Sementara Mama berdiri di belakang Papa, mengusap-usap punggung Papa agar darah tingginya tidak kumat.
"Mau-maunya kamu diperlakukan seperti itu. Tak punya harga diri! Mau jadi apa kamu, he? Gadis pinggir jalan yang bisa dilarikan seenak udelnya? Dia itu pemuda sinting, belum-belum sudah ngajarin kamu nggak bener!"
Tak sepatah katapun keluar dari mulutku.
"Jangan konyol kamu!" suara Papa menggelegar.
Papa menganggapnya lain, bahwa aksi diamku itu adalah wujud klimak dari sikap membangkangku. Hatiku sakit.
"Sadar Cahya, istighfar…! Kamu dan Wie itu berbeda…." kali ini Mama buka suara dengan sikap kalut.
Aku diam tapi geram di dalam hati, 'Apa salahnya kalau kami berbeda?’ Aku ingin sekali menentang Papa, menyanggah omongan Mama. ‘Memang Wie ke gereja dan aku ke mesjid, cuman beda tempat dan jalan, tujuannya sama. Kami sama-sama hamba Allah yang penuh dengan cinta dan bisa saling mengasihi. Kenapa kami harus dipisahkan? Meskipun Wie bermata sipit, berambut lemas, berkulit kuning pucat, toh itu tak merubah pandanganku tentang Wie, bahwa dia adalah cowok terbaik di muka bumi ini? Aku memcintainya!'
"Kamu masih terlalu muda untuk mengenal apa itu cinta, apalagi menikah. Masa depanmu masih panjang, Cahya… Masih banyak pemuda-pemuda yang lebih baik daripada Ping Wie. Ini hanya masalah waktu karena kamu belum cukup dewasa untuk mengerti semua ini."
Papa mengangkat tangannya menghentikan kalimat Mama, suaranya geram, "Kalau kamu masih menganggap Papa sebagai orangtuamu, lupakan Ping Wie detik ini juga!"
Aku menangis sejadinya.
Aku ingat… dulu – bahkan sampai sekarang pun, sebelum insiden ini – separah apapun aku melakukan kesalahan tak pernah Papa semarah ini. Aku adalah anak gadis yang selalu dibanggakannya, berbeda dengan Mas Keling yang selalu bikin ulah. Dibanding Mas Keling aku lebih dimanja. Tapi hari ini Papa menyumpahiku, tak sudi menganggapku sebagai anaknya lagi hanya dikarenakan aku mencintai orang yang salah di mata Papa. Padahal menurutku aku benar.
Ya, apa salahnya dengan Wie? Kenapa tak satupun dari mereka melihat hubungan kami sebagai sesuatu yang suci? Kenapa harus yang buruk-buruk penilaian mereka terhadap Wie? Coba mereka melihat dari sudut pandang yang berbeda, menanggalkan segala atribut Wie dan murni menilai hatinya sebagaimana aku menilai Wie selama ini: anaknya baik, sopan, punya masa depan, dia juga dari keluarga baik-baik karena jelas orang tua dan silsilahnya, bahkan di usianya semuda itu Wie mengajakku kawin yang kuartikan sebagai wujud keseriusannya padaku. Wie memenuhi banyak kriteria, seharusnya mereka menghargai itu. Tak adil rasanya kalau aku dihukum separah ini.
Mama, Mas Keling, keduanya diam terpaku di tempatnya. Aku kesal karena tak ada yang membelaku. Orang-orang yang mengaku menyayangiku itu tak bisa berbuat apa-apa atas kemarahan Papa yang telah menghancurkan impian terbaikku.
Setelah itu Papa keluar dari kamar, diikuti berturut-turut Mama lalu Mas Keling yang tadinya bermaksud memberi penjelasan padaku tapi aku sudah membuang muka tak mau menerimanya. Hari itu aku menangis sejadinya, lagi dan lagi.
*****
Ruang gerakku menjadi sempit. Semua aktivitasku dipantau oleh Papa dibantu Mas Keling. Dari bangun tidur, berangkat sekolah, selama di sekolah sampai pulang sekolah dan kembali ke rumah lagi aku selalu ditunggui. Gerah rasanya menjadi orang yang selalu diawasi.
Aku mati-matian menjaga konsentrasiku agar tidak buyar karena aku harus fokus ke ujian. Ini adalah bulan April yang mendebarkan dan dua bulan lagi adalah kelulusan. Bagaimanapun aku tak mau mengecewakan Papa yang selalu mematok nilai tertinggi di sekolah ini. Dengan harapan, setelah melihat hasil ujianku nanti Papa bisa sedikit lumer. Paling tidak Papa akan beranggapan bahwa pergaulanku dengan Wie tidak merusak semangat belajarku, bahkan semakin memotivasiku untuk giat belajar. Aku tak mau jalinan asmaraku dengan Wie itu disebut sebagai cinta monyet.
Hari ini adalah hari terakhir ujianku. Lega rasanya karena aku bisa menyelesaikannya dengan baik. Setelah mengumpulkan lembar jawaban aku keluar kelas, tapi aku tak mau buru-buru pulang. Aku menunggu Dona di sini, di lahan sekolah yang paling ujung dan tersembunyi – lapangan volley. Aku tau Mas Keling sudah menungguku di gerbang sana, sengaja kubikin kesal karena aku masih marah sama dia.
Tak berapa lama Dona menghampiriku dengan wajah berbinar.
"Bisa ujiannya?" tanyaku.
Dona mengangguk mantap. Aku lega melihatnya.
"Tenang, kamu pasti lulus kok Don.” Hatiku senang karena bimbingan belajarku berhasil. “Kamu kan rajin belajar, jadi pasti kamu mendapatkan nilai yang baik."
“Iya sih, aku yakin lulus.” Tak pernah kulihat Dona sepede ini tentang mata pelajaran. Berarti dia memang bisa mengerjakan soal-soal ujian. Kemajuan pesat buat Dona. “Itu berkat kamu. Thanks ya.”
Aku jadi malu mendengarnya.
“Tapi… berarti sebentar lagi kita pisahan dong…." Dona tiba-tiba menjadi bete.
Iya juga sih. Aku jadi terbawa dengan suasana sekolah yang penuh dengan gosip-gosip menyeramkan, seputar perpisahan, perguruan tinggi favorit, antara kerja dan meneruskan kuliah, atau menikah, bla-bla-bla….
"Gini saja," aku punya ide. “Bagaimana kalau kita cari perguruan tinggi yang sama nih?”
“Bukannya kamu mau married?” Dona meledekku.
Aku gengsi. “Enggak lah. Aku mau meneruskan kuliah dulu. Tapi, kalau Wie mengajakku menikah, ya… nggak apa-apa juga sih.”
“Serakah.”
Aku geli melihat reaksi Dona. Jujur, sebenarnya aku sendiri tak tau rencana apa yang akan kujalani untuk masa depanku nanti. Rencana A, rencana B, atau rencana C? Rencanaku berantakan karena kepergok duluan. Sialan Mas Keling!
“Kita cari perguruan tingginya bareng-bareng saja.”
“Ya nggak bisa, Cahya….”
Aku manyun.
Dona mantap dengan pendiriannya. “Kan sudah aku bilang, setelah kelulusan aku akan kembali ke Jakarta untuk sekolah acting. Di sini aku nggak berkembang Cahya, habisnya kota kecil. Di Jakarta aku bisa ikut ribuan casting untuk mengasah kemampuanku.”
“Serius?”
“Ya iyalah!”
Dona memang pernah bercerita kalau dia berkeinginan – yang menurutku adalah impian yang spektakuler – menjadi bintang film yang dikenal banyak orang! Pertama mendengarnya aku geli bukan kepalang. Tapi masuk akal juga. Menurutku dia memang cocok dengan cita-citanya itu. Selain wajahnya cantik, postur tubuhnya juga menunjang. Dengan bakat akting dan kepandaiannya berbicara di depan banyak orang menurutku tak sulit baginya meraih cita-citanya itu. Apalagi dia supel, kenalannya banyak dan dia memang sering mengikuti berbagai ajang lomba semacam itu.
Pertimbangannya masuk akal. Di sini memang kota kecil. Dona tak akan berkembang jika masih di sini.
“Trus aku gimana dong?” Aku seperti anak bebek kehilangan induknya.
“Tunggu saja tanggal mainnya.” Dona tersenyum geli. “Nanti, kalau aku sudah jadi bintang film terkenal, nama orang yang pertama aku sebut saat jumpa pers adalah nama kamu. Karena kamu adalah sahabat terbaikku, Cahya.”
Kuberika senyum terbaikku. Mataku berkaca-kaca. Kami berpelukan. Aku merasa bahwa kami akan segera berpisah meski waktu kelulusan belum juga tiba.
"Oya, bagaimana Wie?" Aku mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan khabar Wie.
Semenjak insiden itu sudah pasti aku tak bisa kemana-mana. Papa dan Mas Keling mengawasiku dengan ketat. Bahkan hanphone-ku disita oleh Mama. Satu-satunya harapanku adalah Dona, supaya aku dan Wie bisa terus berkomunikasi sengaja kusuruh Dona sesekali untuk mengunjungi Wie.
"Keberangkatannya dipercepat."
"Hah?!" Aku menjadi panik.
"Sstt, jangan khawatir." Dona mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah handphone. "Ini dari Wie. Katanya kalau terjadi sesuatu sama kamu, kamu bisa telpon dia."
Kuterima handphone pemberian Wie dengan hati berbunga. Tapi aku jadi kepikiran. "Dia masih marah ya? Apa dia masih kesal?”
Dona mengangguk kecil.
Wajar kalau Wie kesal. Pasti Wie mulai meragukan kesetiaanku. Beberapa hari yang lalu Wie nekat menjemputku di sekolah, berseberangan dengan Papa. Tanpa ba-bi-bu lagi Papa menghampirinya dan langsung menamparnya tanpa ampun. Dia menjadi tontonan seisi sekolah dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak membela Wie, cuma menangis waktu itu. Besoknya aku bilang melalui handphone Dona, 'Kesabaran kita sedang diuji, Wie.' Tanpa jawaban dari Wie meski aku yakin Wie mendengar penuturanku itu. Wajar bila Wie marah.
"Lagian, kamu jadi cewek plin-plan banget sih." Dona ikut-ikutan kesal. "Kasihan kan Wie, terus digantung begitu."
"Kamu bisa ngomong seperti ini karena kamu tidak berada di posisi aku, Don." Aku mencoba membela diri.
"Ya enggaklah. Kalau aku ada di posisi kamu Cahya, aku pasti akan kawin lari sama Wie. Secepatnya malah."
"Oya?" aku mencibir.
"Serius. Aku pasti akan memperjuangkan cinta sejatiku. Menurutku sih Cahya, kamu berhak memutuskan masa depanmu sendiri. Kalian nggak salah. Lagian, kalau kalian sudah kawin mereka bisa apa coba? Nggak mungkin mereka akan terus membenci kamu, apalagi kamu memilih cowok yang tepat seperti Wie. Aku yakin deh, Wie pasti bisa mengambil hati kedua orangtuamu."
Enteng sekali Dona bicara. Jelas, karena dia seorang bule. Ikatan emosional anak dan orang tuanya jelas berbeda dengan budaya timur. Pemikirannya terlalu maju dan bebas.
Tapi benar juga kata Dona. Aku sudah memperlakukan Wie dengan tidak adil. Apa yang kuperbuat selama ini? Wie mati-matian memperjuangkan cinta kami, sedang aku tak bergeming selangkah pun – masih saja menunda-nunda.
Di sepanjang perjalanan pulang, dalam boncengan Mas Keling aku bungkam. Bahkan sesampainya di rumah, ketika kudapati semua berkumpul dalam suasana tegang, aku masih saja ragu.
"Papa akan mengirimmu ke Semarang!" Papa berkata pelan.
Sampai di sini kesadaranku jalan. Aku terhenyak. Ini keputusan sepihak. Aku tak sudi divonis sekejam ini.
Aku segera berlari ke kamar dan memencet satu-satunya nomor yang ada di dalam hape pemberian Wie. "Wie, cepat jemput aku!"
Sekarang tekadku sudah bulat. Semua tampak jelas di depanku. Benar kata Dona, aku berhak memutuskan masa depanku sendiri tanpa campur tangan kedua orang tuaku.
Sambil menunggu Wie segera kusiapkan segala-sesuatunya. Dompet, hape, jaket, dua buah baju ganti, semuanya kumasukan ke dalam tas ransel dengan asal. Tak kurang dari seperempat jam motor balap Wie sudah meraung di depan rumah.
Dengan sekali miscall, aku melompat lewat jendela dan kami meluncur. Sempat kudengar teriakan Mama, lalu ribut-ribut Mas Keling dan Papa. Kami seperti begundal yang siap dikeroyok massa. Sedang Papa keluar sambil mengacung-acungkan parang siap membacok Wie.
*****
Kasih senyum dulu donk buat para Bloggers yang sudah mampir di 'halaman' saya :)
Semoga karya kecil saya bisa menghibur kalian semua yaa... Niatan awal sih, novel Borobudur Masih Menunggu saya kirim ke penerbit dan tertolak (hiks, sakitnya tuh di sini #unjuk dada), daripada-daripada... teronggok di tempat sampah. Kalau dikirim ke penerbit lain, nunggu lagi, butuh waktu lagi, proses ini-itu lagi, ahh... gak sabar saya. Secara, saya menulis kan buat dibaca ya? Makanya saya share di sini. Semoga bisa menghibur kalian semua.
Ditunggu lho koment, kritik dan sarannya, supaya saya lebih baik dan lebih semangat lagee nulisnya :)
Tidak ada komentar: